Mitigasi bencana Aceh masih rapuh. Selama ini mitigasi bencana jangka pendek atau berbasis proyek. Seharusnya mitigasi bencana harus didesain untuk kebutuhan jangka panjang.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Provinsi Aceh butuh master plan atau rencana induk mitigasi bencana banjir. Jika tidak ditangani secara menyeluruh, bencana banjir akan semakin sering dan intensitasnya menjadi jauh lebih besar.
Hal itu disampaikan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Ahmad Shalihin dalam konferensi pers catatan akhir tahun, Kamis (30/12/2021), di Banda Aceh. Shalihin mengatakan, selama ini banjir ditangani secara reaktif, artinya saat terjadi banjir baru ada penanganan.
”Seharusnya penanganan banjir dilakukan secara proaktif. Karena itu, Aceh butuh master plan,” kata Shalihin.
Shalihin mengatakan, bencana banjir kian sering terjadi. Apalagi saat musim hujan, beberapa kabupaten, seperti Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, dan Aceh Utara, menjadi langganan.
Seharusnya penanganan banjir dilakukan secara proaktif. Karena itu, Aceh butuh master plan. (Ahmad Shalihin)
Shalihin menuturkan, rencana induk penting untuk mengatur tentang pengelolaan kawasan hulu, sungai, hingga penyadartahuan warga.
”Kita seharusnya belajar dari setiap bencana. Penyusunan rencana induk menjadi komitmen pemerintah menekan risiko bencana banjir,” kata Shalihin.
Catatan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) pada 2020, banjir, longsor, dan banjir bandang terjadi 113 kali dengan nilai kerugian Rp 155,4 miliar.
Shalihin mengatakan, nilai kerugian karena bencana bukan hanya berbentuk materi, melainkan juga terhambatnya pengembangan sumber daya manusia. Anak-anak terpaksa libur sekolah dan aktivitas ekonomi terhambat.
Kepala Seksi Kedaruratan Amarullah menuturkan, banjir menjadi bencana rutin yang belum mampu ditanggulangi secara menyeluruh.
”Perlu review kembali rencana tata ruang wilayah agar pemanfaatan kawasan sesuai dengan fungsi,” kata Amarullah.
Selama ini BPBA banyak melakukan penanganan di hilir, seperti membangun gedung penyelamatan, peralatan evakuasi, menangani korban, dan melatih kesiapsiagaan warga.
Namun, kata Amarullah, selama kawasan hutan di hulu tidak dipulihkan, banjir tidak akan tertangani sampai tuntas. ”Jangan lagi ada pembalakan liar. Hutan sangat perlu untuk ketahanan lingkungan,” ujar Amarullah.
Amarullah mengatakan, draf dokumen rencana penanggulangan bencana sedang dibahas, tetapi final. Pandemi Covid-19 membuat sejumlah kegiatan tidak bisa dikerjakan karena ada kebijakan penyesuaian anggaran.
Sementara itu, dosen Kebencanaan Universitas Syiah Kuala, Nazli Ismail, mengatakan, mitigasi bencana Aceh masih rapuh. Selama ini mitigasi bencana jangka pendek atau berbasis proyek. Seharusnya, kata Nazli, mitigasi bencana harus didesain untuk kebutuhan jangka panjang.
”Kalau kita bilang hujan, itu kehendak Tuhan yang tidak bisa dicegah. Namun, pengurangan risiko bencana bisa dicegah dengan mitigasi menyeluruh,” kata Nazli.