Kasus Tengkes Turun, Anak Balita Indramayu Paling Kurus Se-Jabar
Meski kasus tengkes menurun, prevalensi anak balita atau kurus di Kabupaten Indramayu tercatat paling tinggi di Jabar, yakni 12,6 persen. Idealnya, prevalensi anak balita kurus di bawah 5 persen.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS — Prevalensi anak balita yang mengalami tengkes atau stunting di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, menurun sekitar 50 persen dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Meski demikian, kasus anak balita kurus di daerah lumbung padi itu tercatat paling banyak di Jabar.
Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia yang dirilis Kementerian Kesehatan, Senin (27/12/2021), prevalensi tengkes di Indramayu 14,4 persen atau terbaik ketiga di antara 27 daerah di Jabar. Adapun rata-rata prevalensi tengkes di provinsi itu sejumlah 24,5 persen. Idealnya, kasus tengkes di bawah 20 persen.
Tengkes adalah kondisi kurang gizi kronis sejak bayi dalam kandungan yang berakibat terganggunya tumbuh kembang anak. Anak balita tengkes tak hanya pendek, tetapi juga mengalami defisit kognitif. Saat beranjak dewasa, anak itu memiliki risiko tinggi terkena penyakit tidak menular.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu Deden Bonni Koswara, Rabu (29/12/2021), mengatakan, kasus tengkes di Indramayu menurun hingga 50 persen dibandingkan dengan 2019. Saat itu, prevalensi tengkes tercatat 29,19 persen berdasarkan hasil Studi Status Gizi Balita Terintegrasi Susenas 2019 oleh Kemenkes.
Dengan prevalensi 29,19 persen dan jumlah anak balita sekitar 129.000 jiwa, kasus tengkes mencapai lebih dari 37.655 anak balita. Namun, menurut dia, data itu belum diperbarui dengan catatan hasil bulan penimbangan anak balita di puskesmas. Hingga Oktober 2021, pihaknya mengklaim kasus tengkes 6.120 anak balita.
Meski kasus tengkes menurun, SSGI mendata, prevalensi anak balita wasted atau kurus Indramayu paling tinggi di Jabar, yakni 12,6 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata prevalensi anak balita kurus di provinsi itu, 5,3 persen. Idealnya, prevalensi anak balita kurus kurang dari 5 persen.
Selain tengkes, kasus anak balita kurus juga menjadi indikator menilai kondisi gizi di daerah. SSGI mencatat, gizi daerah termasuk baik jika kasus tengkesnya di bawah 20 persen dan anak balita kurus kurang dari 5 persen.
Adapun kategori gizi akut apabila kasus tengkes di bawah 20 persen dan angka anak balita kurus sama atau di atas 5 persen. Artinya, kondisi gizi anak balita di Indramayu dalam kondisi akut. Situasi gizi anak balita terparah jika masuk dalam kategori kronis dan kronis-akut.
Kondisi gizi anak balita di Indramayu dalam kondisi akut.
Padahal, Indramayu menjadi lumbung padi nasional. Tahun lalu, lebih dari 1,3 juta ton gabah kering giling dihasilkan dari wilayah pantura itu. Bahkan, Indramayu juga memasok beras untuk daerah lain di Jabar dan luar Jawa.
Sebelumnya, Pemkab Indramayu telah berupaya meningkatkan cakupan gizi pada anak balita. Salah satu caranya dengan membentuk tim Gesit atau Gerakan Penurunan Stunting Indramayu Terpadu pada akhir Oktober lalu. Tim dibentuk di tingkat kabupaten, kecamatan, hingga desa.
Tim itu melibatkan berbagai organisasi perangkat daerah, seperti petugas gizi dan bidan desa. ”Tim Gesit ini untuk mempermudah koordinasi dan penanganan kasus stunting dari hulu ke hilir,” ucap Bupati Indramayu Nina Agustina saat meluncurkan tim Gesit.