Selama 31 tahun mengajar, Ch Dwi Anugrah (56) intens menulis sendiri modul yang menjadi bahan ajar untuk murid-muridnya. Bahan yang menjadi materi diambilkan dari muatan lokal Magelang.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Tiga puluh satu tahun menjadi guru, Dwi Anugrah (56) berkomitmen menyusun sendiri modul dan materi bahan ajar untuk para siswanya. Dia mengangkat seni budaya Magelang serta mengajak siswa melihat pertunjukan seni secara langsung dan berdiskusi dengan para seniman.
Dwi mengatakan, cara mengajar yang berbeda sengaja dilakukannya agar para siswa mudah belajar dari kesenian lokal di tanah kelahirannya sendiri di Kota dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. ”Materi pelajaran akan sulit diterima jika siswa dipaksa untuk membayangkan sendratari Pasundan, ataupun tarian-tarian dari Sumatera. Anak-anak akan lebih mudah memahami jika mereka belajar dari kesenian di lingkungan terdekat yang biasa dilihat atau bahkan dimainkannya sendiri,” ujar Dwi pada Jumat (10/12/2021).
Dwi adalah guru seni budaya. Dia mengajar selama 10 tahun di Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan, dan sejak tahun 2001 hingga sekarang menjadi guru di SMK Wiyasa, Kota Magelang, Jawa Tengah.
Dalam upaya menggali ide dan muatan materi pembelajaran, Dwi berkeliling menonton pentas-pentas kesenian, beranjangsana dan berdialog dengan para seniman. Dia mendatangi para seniman di kawasan Borobudur dan kelompok seniman Komunitas Lima Gunung. Sebelumnya, Dwi merupakan pelaku seni, aktif menari dan menciptakan tarian sejak semasa kuliah hingga sekarang.
Selain itu, Dwi juga menambah sumber bahan ajar dari kumpulan artikel media massa yang terkait dengan seni budaya. Setiap semester, semua materi diperbarui sesuai dengan perkembangan terkini. ”Saya selalu berusaha membuat materi pelajaran yang sesuai dengan isu, dan situasi kondisi terkini,” ujarnya.
Modul bahan pembelajaran yang disusun Dwi juga dilengkapi foto-foto hasil bidikannya atau mengkliping foto dari media massa. Setiap modul yang dibuatnya setebal 50 halaman. Tak jarang, modul buatan Dwi memicu bahan diskusi para siswa.
”Setelah beberapa kali menonton pentas kesenian dari Komunitas Lima Gunung, salah seorang murid pernah berkata, modal dasar untuk tetap setia berkesenian seperti para seniman yang ditontonnya adalah kecintaan dari masing-masing pribadi terhadap kesenian itu sendiri,” ujarnya.
Modul menarik
Lulus kuliah dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta di tahun 1990, Dwi kemudian diterima mengajar di Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan. Ketika itu, dia melihat materi dalam buku-buku pelajaran memuat kesenian dari berbagai daerah, tetapi jarang dari Magelang. Lalu, dia berinisiatif membuat modul bahan pembelajaran sendiri. ”Semua bahan saya rangkum kemudian saya ketik dengan mesin ketik manual,” kenangnya.
Hingga tahun 1996, dia menyusun materi dengan menggunakan mesin tik. Memasuki tahun 1997, barulah dia mengetik menggunakan komputer. Aktivitas menyusun modul tersebut biasa dilakukannya saat libur panjang akhir semester. Modul itu kemudian diserahkan kepada ketua kelas untuk diperbanyak oleh para siswa.
Materi yang disusun oleh Dwi banyak membahas kesenian-kesenian lokal khas daerah Magelang dan sekitarnya, seperti kesenian topeng ireng, soreng, dan trunthung. Dengan mengangkat budaya lokal, modul itu memancing reaksi dari murid-muridnya yang sebagian besar berasal dari desa-desa di Kabupaten Magelang. ”Ketika membahas tentang topeng ireng, misalnya, sesekali beberapa murid langsung otomatis berkomentar tentang pentas topeng ireng yang baru saja ditontonnya,” ujarnya.
Para siswa yang merasa dekat dengan kesenian yang dibahas, kemudian justru tertarik untuk membahasnya lebih dalam. Mereka meminta penjelasan lebih banyak dari Dwi, perihal sejarah lahirnya kesenian tersebut dan makna filosofis dari setiap gerakan tarinya.
Baca juga: Yustina Bulu D Ona: Pengabdian Guru Tanpa Henti
Dwi juga kerap memberi tugas kepada murid-muridnya untuk membuat laporan dari pementasan kesenian yang dilihatnya beserta wawancara dengan seniman. Bisa juga laporan hasil wawancara dengan sesepuh atau tokoh seniman yang ada di kampung masing-masing. Tugas yang dimaksudkan biasa disebutnya sebagai proyek yang wajib dikerjakan tiap tengah atau akhir semester. ”Murid-murid harus tahu betul kondisi aktual yang ada di lapangan,” ujarnya.
Dwi mengatakan, semua upayanya mengangkat kesenian lokal sebagai materi pelajaran semata-mata dilakukan agar murid-muridnya lebih mencintai dan bangga kesenian khas di kampung halamannya sendiri. Kecintaan ini, menurut dia, penting untuk ditumbuhkan karena sebagian besar murid-muridnya berasal dari desa-desa yang kental dengan kesenian daerah, dari berbagai tempat di Kabupaten Magelang, Temanggung, dan Wonosobo.
Namun, upaya mengenalkan dan mengembangkan rasa bangga akan kesenian lokal diakuinya tidak mudah. Di tengah kuatnya pengaruh budaya luar sehingga kesenian tradisional yang kerap dilupakan. Dwi biasanya harus terlebih dahulu menampilkan tayangan video tentang kesenian lokal di kelas. Beberapa tayangan video menjadi pendahuluan sebelum akhirnya murid-murid diajak mendalami materi melalui modul yang telah dibuatnya.
Dwi memastikan akan terus menulis modul bagi murid-muridnya. Selain itu, dia juga ingin terus menulis artikel tentang seni dan budaya.
Sejak kuliah hingga sekarang, Dwi telah menulis ratusan artikel. Hal itu dilakukannya sebagai upaya mendokumentasikan seni pertunjukan agar tidak lekang tergerus zaman. Dengan upaya tersebut, dia pun berharap agar dokumentasi yang dilakukannya bisa menjadi sarana belajar kesenian bagi murid-muridnya, atau bagi siapa pun juga yang tertarik dengan seni dan budaya.
Ch Dwi Anugrah
Lahir: Magelang, 4 Desember 1965
Karier: Guru SMK Wiyasa Magelang dan pemilik Sanggar Seni Ganggadata
Pendidikan terakhir: Magister Manajemen Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta