Setiap mengambil air, Wheny selalu dilanda kecemasan. Bukan lantaran harus menenteng ember berisi air dan jalan bolak-balik lima kali, melainkan karena ia kerap digoda dan dilecehkan oleh para lelaki hidung belang.
Oleh
Budi Suwarna
·5 menit baca
Setelah menanti bertahun-tahun, akses air minum akhirnya bisa mengalir ke puluhan rumah warga. Inilah buah kegigihan Wheny Susianti (38) dan warga lainnya yang tergabung dalam KSM Mojo Waras. Kisah ini tidak terjadi nun jauh di pelosok Indonesia, tapi di Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Wheny Susianti dengan bersemangat mengajak dua tamunya dari Jakarta untuk keliling melihat-lihat lingkungan tempat tinggalnya di Kampung Mojo, RT 1 RW 3, Kelurahan Mojo (dulu Kelurahan Semanggi), Kecamatan Kliwon, Kota Surakarta. Sebuah permukiman padat di mana rumah-rumah saling berimpitan. Akses keluar masuk kampung berupa jalan sempit dan gang-gang yang meliuk-liuk seperti ular. Jaringan got tampak enggan mengalirkan air limbah rumah tangga yang berwarna hitam.
”Beginilah keadaan kampung kami. Sanitasi masih buruk dan air minum masih susah,” ujar Wheny, awal September 2021. Ia menambahkan, air tanah di kampungnya tidak bisa dimanfaatkan sama sekali. Warnanya kebiru-biruan dan beraroma tajam. Warga yang tidak mampu berlangganan air bersih, akhirnya bergantung pada pasokan air bersih di hidran umum.
Kampung Mojo, dulunya masuk kawasan lokalisasi Silir. Seperti kawasan prostitusi lainnya, Silir mendapat stigma negatif dan cenderung diabaikan keberadaannya. Dulu, hanya ada satu hidran umum dan fasilitas mandi cuci kakus yang tersedia untuk begitu banyak warga. Akhirnya sebagian besar warga terpaksa lari ke bantaran Sungai Bengawan Solo atau kebun yang tersisa, untuk buang hajat.
Keadaan mulai berubah ketika pemerintah menutup Lokalisasi Silir pada 1998 dan mulai menata kawasan miskin di sana lewat beberapa program. Namun, menata perkampungan miskin dengan berbagai persoalannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sampai sekarang persoalan dasar seperti akses air minum dan sanitasi masih belum selesai seluruhnya.
Wheny menghabiskan masa kecilnya di ”zaman kegelapan” Silir . Ia ingat, ketika remaja, ia punya tugas membantu orangtua membeli air minum di hidran umum yang berjarak sekitar 150 meter dari rumahnya. Ia mesti berjalan kaki menjinjing ember berisi air di kedua tangannya. Itu dilakukan lima kali bolak-balik. ”Kalau telapak tangan lecet, saya panggul air dengan jeriken,” cerita Wheny.
Mereka menawar saya. Ada yang mengikuti saya sampai ke rumah. Saya sembunyi di kamar, masih ditungguin. Kegiatan mengambil air jadi sangat menyiksa buat saya.
Setiap mengambil air, ia selalu dilanda kecemasan. Bukan lantaran harus menenteng air dan jalan bolak-balik lima kali, melainkan karena ia kerap digoda dan dilecehkan oleh para lelaki hidung belang. ”Mereka menawar saya. Ada yang mengikuti saya sampai ke rumah. Saya sembunyi di kamar, masih ditungguin. Kegiatan mengambil air jadi sangat menyiksa buat saya,” cerita Wheny.
Balas dendam
Wheny berasal dari keluarga sangat sederhana. Ibunya mencari nafkah sebagai pedagang nasi di kawasan Silir, sedangkan ayahnya tidak bekerja. Kondisi perekonomian keluarganya bisa dibilang pas-pasan. Itu sebabnya Wheny putus sekolah saat duduk di Kelas II SMK. Kini, perempuan tangguh ini bekerja sebagai juru parkir di Pasar Klithikan Notoharjo.
Sebagaimana keluarga miskin lainnya di kawasan itu, keluarga Wheny tidak memiliki akses air minum. Mereka mesti membeli air minum seharga Rp 2.000 per jeriken di hidran umum. Dalam sepekan, mereka mesti mengeluarkan uang sekitar Rp 20.000 hanya untuk membeli air mium. Jumlah uang yang cukup besar untuk keluarga Wheny.
Kemiskinan dan pengalaman traumatik diganggu laki-laki setiap membeli air, membuat Wheny berpikir bagaimana caranya agar keluarga miskin bisa mendapatkan akses air minum. Beberapa tahun pikiran itu terus mengganggunya, sampai akhirnya, pada 2014, ia nekat mendatangi Kelurahan Semanggi untuk mencari bantuan akses air minum. Usahanya sia-sia.
Setelah beberapa kali mendatangi kelurahan, suatu hari pada 2018, pihak kelurahan mempertemukannya dengan Sudrajat, penggerak KSM Drabagsari Makmur yang telah berhasil menjalankan program sanitasi dan air bersih di kampungnya. Oleh Sudrajat, ia disarankan untuk mengumpulkan 50 keluarga sebagai syarat minimal untuk mengajukan bantuan akses minum.
Wheny langsung bergerak mendata warga. Wheny yang ketika itu sedang mengandung enam bulan, mendatangi rumah-rumah warga di RT 001 RW 003. Hasilnya, hanya 25 warga yang mendaftar. Ia tidak putus asa. Ia lantas keliling ke RT lain. Akhirnya, ada puluhan warga di RT 009 RW 002 yang menyambut tawaran Wheny.
Kegigihannya mengusahakan air minum mempertemukan Wheny dengan program USAID IUWASH PLUS. Di situ, ia mengikuti banyak pelatihan tentang perilaku hidup bersih, lingkungan sehat, partisipasi publik, hingga pemberdayaan masyarakat. Aktivitasnya dalam program itu mendorong Wheny dan warga Mojo mendirikan Kelompok Swadaya Masyarakat Mojo Waras yang menjadi wadah gerakan warga untuk mengusahakan air minum dan sanitasi sehat.
Wheny yang sehari-hari bekerja sebagai juru parkir bertambah sibuk. Pukul 05.00-09.00 ia bekerja menjaga sepeda motor di Pasar Klithikan, lalu mengurus keluarga. Siang hingga sore ia keliling kampung untuk sosialisasi tentang pengadaan air minum, sanitasi, dan perilaku hidup sehat.
Usaha Wheny dan warga mulai terlihat pada 2020 ketika pemerintah daerah membangun water meter di Mojo. Sayangnya, saluran ke rumah-rumah warga belum dibangun lantaran pemerintah belum mengalokasikan anggarannya. Warga sempat dipertemukan dengan pihak perbankan untuk pengajuan kredit. Namun, warga menolak karena hitung-hitungannya dianggap terlalu mahal.
Wheny dan kawan-kawan kembali putar otak. Saat itulah, KSM Drabagsari Makmur yang dipimpin Sudarajat bersedia memberi pinjaman tanpa agunan sebesar Rp 40 juta. Uang itu dipakai untuk membangun saluran air minum ke 40 rumah warga. Pinjaman itu telah dikembalikan oleh warga yang mendapat pinjaman secara mengangsur selama delapan bulan. Tetapi, masih tersisa 60-an keluarga yang belum mendapat saluran air minum.
Belakangan dengan perantara USAID IUWASH PLUS, KSM Mojo bertemu dengan Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK). DKK setuju menyalurkan donasi dari pembaca Kompas untuk membiayai saluran air minum ke 60 rumah dengan skema dana hibah bergulir pada akhir November 2021.
”Sampai hari ini sudah 20 sambungan yang selesai,” ujar Wheny melalui telepon, Rabu (8/12) siang. Ia rajin mengirimkan foto-foto perkembangan pembangunan saluran air minum melalui grup-grup Whatsapp.
”Dendam” lama saya dan warga tidak mampu untuk mendapatkan akses air minum sudah terbayar.
Wheny mengaku kini hatinya lega. ”’Dendam’ lama saya dan warga tidak mampu untuk mendapatkan askes air minum sudah terbayar. Sekarang saya mulai berpikir untuk mengusahakan perbaikan sanitasi lingkungan, termasuk pembangunan septic tank sehat,” katanya.
Perjalanan mengusahakan air minum selama bertahun-tahun membawa Wheny dan warga pada pengalaman baru. ”Kami warga yang kurang berpendidikan dan dari kecil tinggal di tengah lokalisasi, ternyata bisa berpartisipasi membangun kampung, bisa berorganisasi, dan suara kami didengar. Dulu mana pernah kepikiran. Kami sekarang seperti burung yang keluar dari sangkar dan terbang," tutup Wheny.
Wheny Susianti
Lahir: Surakarta, 8 Oktober 1987
Suami: Ariyanto
Anak: 3
Pendidikan:
SMPN 6 Surakarta
SMK sampai kelas 2
Aktivitas: Koordinator Pengadaan Barang dan Jasa Kelompok Swadaya Masyarakat Mojo Waras