Tuntunan Ilmu dan Kearifan dalam Laku Santri Pondok Leteh
Pondok Leteh didirikan KH Bisri Mustofa pada 1950-an. Sejak awal didirikan, Pondok Leteh tetap bertahan sebagai ponpes ”salafiyah” atau tradisional, yang mengaji kitab-kitab kuning atau kuno.
KH Bisri Mustofa merintis Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin di Rembang, Jawa Tengah, menjadi taman belajar yang mendidik santri agar cerdas memanfaatkan ilmu agama dalam berbagai keadaan hidup. Dari tempat ini, muncul ulama-ulama yang terus menegaskan sumbangsih Nahdlatul Ulama dalam peradaban bangsa.
Tirai bambu bercat merah dan putih menutup akses utama Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Kabupaten Rembang, Jumat (24/12/2021) sore. Sejumlah wali santri membukanya sedikit dari sisi tirai. Kepada pengurus ponpes di balik tirai, mereka minta putranya dipanggilkan.
Melalui pengeras suara, pengurus memanggil nama santri yang ditunggu orangtuanya. Lewat pengeras suara yang tersebar, pengumuman terdengar hingga penjuru kompleks Pondok Leteh. Santri yang dipanggil pun keluar dan diberi tahu hendak ditemui walinya.
Sejumlah santri pun bertemu wali mereka di teras aula utama dengan lawang terbuka ke arah jalan. Di teras, orangtua berbincang-bincang dengan putra mereka. Menanyakan kondisi, pelajaran, hingga memberi sangu atau uang saku. Sekitar 10 menit, sang santri menyudahi pertemuan dengan menyalami orangtua.
”Para santri kami izinkan bertemu wali mereka, setiap Jumat sore, tetapi harus di luar pondok. Itu pun tak lama-lama, sesuai keperluan saja. Misal untuk mengasih bekal, ya sudah itu saja. Sejak pandemi Covid-19, kami memang lebih ketat untuk keluar-masuk,” ujar Muhammad Yusuf (25), salah seorang pengurus Pondok Leteh.
Selama pandemi Covid-19, Pondok Leteh memang relatif ketat. Apabila sejumlah ponpes di Jateng sudah memulai kembali aktivitas sejak Mei-Juni 2021, Pondok Leteh baru melakukannya November 2021. Sebelumnya, sekitar 400 santri dipulangkan ke rumah masing-masing sebagai bagian dari pencegahan penularan Covid-19.
Baca juga : Santri, Kitab Kuning, dan Bahasa Arab
Barulah pada November 2021, pengurus mengonfirmasi satu per satu santri apakah akan kembali atau tidak. Jumlah santri menyusut lebih dari separuhnya. Kini, tersisa sekitar 200 santri, serta 150 santriwati yang lokasi pondoknya terpisah. Sebagian yang tak melanjutkan memutuskan pindah ke ponpes lain.
Kepala Asrama Ponpes Raudlatut Thalibin Mochamad Hanies Cholil Barro’ mengatakan, sebelumnya memang belum mendapat izin dari para kiai untuk memulai kembali ponpes. ”Baru diperbolehkan kemarin karena akses vaksin sudah mudah. Bahkan, sekarang sudah dimulai untuk 6-11 tahun. Sebelum-sebelumnya, kan, masih sulit,” ujar Gus Hanies, sapaannya.
Tahun ini, Ponpes Raudlatut Thalibin, yang berarti ”Taman Pelajar Islam”, telah berjalan sebulan. Sejumlah pengetatan lebih terkait keluar-masuk santri guna mencegah penularan Covid-19. Termasuk akses yang tadinya ada dua kini hanya satu. Pengurus, yang juga merupakan para santri yang senior, sekitar 30 orang, juga lebih sering berjaga di akses keluar-masuk pondok.
Adapun pengajian, baik metode sorogan (individu) maupun bandongan (kelompok besar) yang diampu para pengasuh ponpes, terus dilakukan. Sejumlah pengasuh Pondok Leteh antara lain KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, KH Yahya Cholil Staquf, KH Syarofuddin IQ, dan KH Bisri Adib Hattani.
Dari Kasingan
Pondok Leteh didirikan KH Bisri Mustofa pada 1950-an, di atas tanah wakaf dari ibunya. Ponpes itu percabangan dari ponpes di Kasingan yang diasuh KH Cholil Harun. KH Bisri Mustofa merupakan menantu KH Cholil Harun. Sejak dulu, Pondok Kasingan dikenal akan spesialisasi pada ilmu alat, khususnya nahwu-sharaf atau gramatika bahasa Arab.
Di Leteh, semula KH Bisri Mustofa hanya mengajar tak lebih dari 10 santri, tetapi kemudian terus berkembang. Pada 1977, KH Bisri wafat sehingga Pondok Leteh diteruskan putranya, KH Cholil Bisri dan Gus Mus. Pada akhir 1980-an, jumlah santri pernah mencapai sekitar 1.000 orang.
KH Cholil Bisri, yang juga seorang politisi, wafat pada 2004 saat masih menjabat sebagai Wakil Ketua MPR. Sepeninggalnya, Pondok Leteh diasuh Gus Mus. Juga dibantu sejumlah kiai lain, salah satunya KH Yahya atau Gus Yahya, yang merupakan putra KH Cholil Bisri. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, serta Gus Hanies, yang kini menjabat Wakil Bupati Rembang, ialah adik Gus Yahya.
”Nilai mendasar dari KH Bisri Mustofa ialah bahwa santri dituntut tak hanya menjadi alim (memiliki pengetahuan), tetapi harus menjadi seorang yang aqil (memiliki kecerdasan) sehingga tahu bagaimana cara memanfaatkan ilmu itu dalam berbagai keadaan yang dihadapi dalam hidup,” ujar Gus Yahya pada akun Youtube Pondok Leteh.
Ilmu tersebut, kata Yahya, bukan ilmu mati, tetapi harus terus-menerus didialogkan dengan kenyataan sehingga dapat menuntun santri dalam menanggapi kenyataan, sesuai dengan ilmu yang dimiliki. Yang ideal, santri dapat menjadi apa saja, tanpa harus menjadi tokoh besar, tetapi senantiasa hidup dituntun oleh ilmunya.
Baca juga : Gus Yahya Jadi Ketua Umum PBNU, Santri Senang Sekaligus Sedih
Selain pengajian rutin bagi para santri, di Pondok Leteh, secara turun-temurun, digelar pengajian Selasa-Jumat, pada pagi hari, untuk masyarakat umum. Pada Selasa digelar kajian Tasawuf oleh KH Cholil Bisri yang kemudian diteruskan Gus Yahya. Adapun pada Jumat diadakan Tafsir Al-Ibriz, karya KH Bisri Mustofa, yang diampu oleh Gus Mus.
Jemaah pengajian Selasa-Jumat berasal dari beragam kalangan, dari pegawai negeri sipil, wiraswasta, hingga nelayan dan petani. Mereka tinggal di Rembang dan sekitarnya, termasuk Blora. Pengajian itu digelar di aula utama Pondok Leteh. Sebelum pandemi, pengajian itu banyak diikuti jemaah. Saban Jumat, saat pengajian Gus Mus, misalnya, diikuti hingga ribuan orang, hingga ke jalan di luar aula.
Nilai mendasar dari KH Bisri Mustofa ialah bahwa santri dituntut tak hanya menjadi alim (memiliki pengetahuan), tetapi harus menjadi seorang yang aqil (memiliki kecerdasan).
Akan tetapi, selama pandemi Covid-19, pengajian Selasa-Jumat hanya diikuti para santri. Ponpes belum membolehkan orang luar masuk. ”Para kiai belum mengizinkan. Kalau jemaahnya sendiri sudah kangen dan kepengin. Mungkin tahun depan kami coba matur lagi,” kata Gus Hanies.
Kendati demikian, Pondok Leteh menggunakan Youtube dalam menyiarkan pengajian secara langsung. Tercatat akun Youtube Pondok Leteh memiliki 1.180 pengikut (subscribers). Sementara Gus Mus menggunakan akun Youtube sendiri, yakni GusMus Channel, yang telah memiliki 130.000 subscribers.
”Salafiyah”
Sejak awal didirikan, Pondok Leteh tetap bertahan sebagai ponpes salafiyah atau tradisional, yang mengaji kitab-kitab kuning atau kuno. Hingga kini, Pondok Leteh juga belum memiliki lembaga pendidikan formal seperti madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah. Artinya, terfokus bagi santri yang mau mondok atau mengaji.
Namun, santri yang hendak bersekolah formal tetap dipersilakan. Saat ini, ada sebagian santri yang tetap bersekolah formal. Selain itu, Pondok Leteh mempunyai madrasah diniyah yang nonformal. Para santri yang bersekolah formal, pada sore harinya tetap mengikuti madrasah di pondok.
Santri di Pondok Leteh berasal dari berbagai daerah di Jateng, bahkan luar Jateng dan Pulau Jawa. Irwan Thofir (16) dan Azam Paus Paus (17), misalnya, santri asal Malawele, Kota Sorong, Papua Barat. Sejak 2019, mereka menjadi santri, membaur, serta mengikuti segala ketentuan di dalam pondok.
Keduanya ke Rembang setelah ada alumnus Pondok Leteh yang kemudian mengajar di Malawele. ”Saya memang didukung orangtua, terutama ayah saya, karena diharapkan memegang yayasan di kampung halaman. Saat ini masih madrasah diniyah, tetapi rencananya mau dibuat pondok,” ujar Azam.
Yusuf, pengurus Pondok Leteh, mengatakan, saat pendaftaran pertama, biaya sekitar Rp 300.000. Adapun selanjutnya, biaya SPP sebesar Rp 30.000 per bulan. Di pondok, santri menginap di ruangan sekitar 6 meter x 6 meter, yang dihuni beberapa santri. Makan sehari-hari santri dikelola oleh pengurus.
Sehari-hari, selepas shalat Subuh, santri mengaji. Pukul 07.30, mereka berangkat ke madrasah diniyah maupun sekolah formal hingga sekitar pukul 11.00. Setelah itu istirahat, hafalan-hafalan, kemudian sorogan pada sore hari. Setelah Maghrib, santri kembali mengaji. Pukul 20.00, mereka mengaji di aula utama bersama Gus Mus.
Pada pukul 21.00 hingga pukul 23.00, semua santri, tanpa terkecuali, wajib berkumpul di aula. ”Belajar bersama. Mau belajar apa pun, yang penting kumpul di situ. Setiap setengah jam atau sejam, ada patroli untuk membangunkan jika ada yang tertidur. Belajar bersama ini sudah dari dulu. Ini efektif untuk melatih konsentrasi,” kata Gus Hanies.
Sebagai kepala asrama, Gus Hanies lebih pada menata organisasi di Pondok Leteh. Adapun kebijakan penting terkait ponpes tetap berasal dari para kiai. Para pengurus, yang juga merupakan para santri, dirotasi setiap dua tahun. Selain ilmu agama, santri juga diajarkan berwirausaha, organisasi, dan kepemimpinan.
Selain itu, beliau (Gus Yahya) salah satu cita-citanya adalah mengonsolidasi kepengurusan NU, dari tingkat atas hingga tingkat ranting. Saya yakin beliau mampu.
Nilai-nilai toleransi di lingkungan Pondok Leteh tertanam dengan sendirinya. Tanpa dibuat-buat. Bahkan, persis di depan ponpes merupakan tempat tinggal seorang pastor. Mereka menghormati dan menghargai satu sama lain.
”Dulu, kan, di rumah itu suka ada kegiatan. Misal berbarengan kami saat ada keplok atau menghafal kitab Alfiyah (syair), kan itu gaduh, maka anak-anak pindah ke dalam. Namun, saat ini pastor itu sudah meninggal, sekarang tinggal anaknya, tetapi jarang di sini. Jadi, toleransi itu sudah otomatis dan sendirinya,” kata Yusuf.
Memotivasi santri
Sejak Jumat (24/12/2021) atau setelah terpilihnya Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU 2021-2026, karangan bunga berupa ucapan selamat berderet di sekitar rumahnya, yang juga dekat Pondok Leteh. Gus Yahya terpilih setelah mengungguli KH Said Aqil Siroj dalam pemilihan pada Muktamar Ke-34 NU di Bandar Lampung, Lampung.
Kegembiraan bercampur kebanggaan tampak pada raut wajah para santri. Sebagai pengasuh, Gus Yahya selama ini dikenal sebagai kiai berwawasan luas. Ia juga memiliki jiwa kebapakan serta memotivasi para santri untuk membangun jiwa rahmah atau berbelas kasih dan bermurah hati.
Yusuf menuturkan, setiap mengaji tafsir jalalain dan menceritakan tragedi kemanusiaan di Palestina dan konflik Suriah, Gus Yahya pasti menangis. ”Keinginan beliau itu mewujudkan perdamaian dunia. Selain itu, kalau diceritakan Pak Yahya, santri ini seperti sedang bertamasya di dunia,” katanya.
Santri lainnya, Achmad Akhid (23), mengungkapkan ia senang sekaligus sedih setelah Gus Yahya menjadi Ketua Umum PBNU. Pasalnya, intensitas mengajar para santri kemungkinan akan berkurang dari sebelumnya.
Gus Hanies juga yakin kakaknya akan tetap mengisi pengajian di Pondok Leteh, terutama untuk pengajian Selasa. Ia teringat saat abahnya, KH Cholil Bisri, tetap mengisi pengajian Selasa meski telah menjadi anggota DPR serta kemudian Wakil Ketua MPR. Kala itu, KH Cholil Bisri kerap pulang pada Senin malam, lalu kembali ke Jakarta pada Selasa setelah mengisi pengajian.
PBNU 2021-2026, dengan nakhoda baru, diharapkan bisa membawa NU mendunia. ”Selain itu, beliau (Gus Yahya) salah satu cita-citanya adalah mengonsolidasi kepengurusan NU, dari tingkat atas hingga tingkat ranting. Saya yakin beliau mampu,” ucap Gus Hanies.
Ponpes Raudlatut Thalibin mengajarkan tuntunan agar para santrinya menjadi orang yang berilmu sekaligus berakal dalam agama. Meski menyumbang pemimpin-pemimpin besar dalam kehidupan bangsa, sesungguhnya, sumbangan terbesar diemban para santri yang terus berikhtiar dalam laku kebersahajaan di kehidupan bermasyarakat sehari-hari.