UMKM di Sumsel Berlomba Meraup Rezeki di Lokapasar
Pelaku UMKM di Sumatera Selatan terus merambah lokapasar untuk memasarkan produknya. Pelanggan terus bertambah dan tidak hanya dari Sumsel. Cuan lebih besar pun didapat.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Keterbatasan mobilitas akibat pandemi Covid-19 memunculkan beragam ide cemerlang, termasuk dalam hal pemasaran produk. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah tidak lagi bergantung pada pasar konvensional, tetapi kian merambah ke dunia virtual melalui pasar digital. Keberadaannya membantu mereka untuk menjangkau pelanggan lebih luas, alhasil rezeki pun kian mengalir deras.
Kiki Wulandari (32) bersiap mengenakan pakaian dan jilbab berwarna senada. Setelah merasa penampilannya pantas, Kiki mengambil tripod dan memasang ponsel di atasnya. Dia duduk setara dengan ponsel dan Kiki pun mulai beraksi menawarkan dagangannya via Facebook.
”Assalamualaikum bunda, jilbab murah kita ada lagi nih. Harga mulai Rp 15.000, dibantu share, dibantu tes komentarnya ya bunda,” ujar Kiki memulai penawaran dari rumahnya di Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Sabtu (27/11/2021).
Tanpa naskah maupun catatan kecil, Kiki bercuap-cuap tak henti sembari menggonta-ganti jilbab yang dia pakai dan menjadikan diri sebagai model. Setiap menit, jumlah penonton bertambah, pesanan pun mengalir. Proses tawar-menawar secara virtual pun terjadi.
Dalam waktu satu jam, Kiki menerima 20 pesanan. Suami Kiki yang tidak masuk dalam layar membantu memilah jilbab yang dipesan oleh konsumen untuk kemudian dikirim melalui kurir yang sudah bermitra.
Hampir dua tahun terakhir Kiki menjual jilbab secara daring dengan mengandalkan lokapasar yang ada di Facebook dengan nama merek Tokokiki Hijab. Sebelumnya, Kiki menjual pakaian secara konvensional di tempat publik hingga ke rumah-rumah.
Namun, sejak Palembang melakukan pembatasan mobilitas pada Maret 2020, dia memutuskan untuk berjualan secara daring. Sebagai langkah awal, Kiki bergabung dengan di sebuah komunitas lokapasar dan komunitas jual-beli dengan cukup membayar sekitar Rp 50.000.
Strategi itu pun membuahkan hasil. Usaha ibu tiga anak ini kian berkembang. Pelanggan terus datang dari berbagai kota di Indonesia, seperti Bengkulu, Jambi, Bangka Belitung, Lampung, Bandung, bahkan sampai kota-kota di Pulau Kalimantan. Omzet Kiki meningkat pesat, hingga mencapai Rp 30 juta per bulan dengan keuntungan sekitar Rp 5 juta per bulan.
Menjual via pasar daring bukan tanpa risiko. Kiki pernah ditipu konsumen iseng yang hanya memesan, tetapi tidak jadi beli. Hal ini tentu sangat merugikan di tengah tipisnya keuntungan yang diperoleh dari setiap jilbab yang ia jual.
Untuk mengantisipasi hal itu, dia memutuskan untuk meminta deposit kepada pelanggan. Ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar.
Dalam proses pengiriman, dia bekerja sama dengan perusahaan kurir. Ongkos kirim ditanggung oleh pembeli. Adapun untuk pengiriman luar Palembang, dia mengandalkan perusahaan pengiriman logistik yang ditentukan sendiri oleh para pelanggan.
Hal serupa dilakoni Hendra Susanto (40), warga Kecamatan Ilir Timur II, Palembang. Ia menjual kopi olahan melalui lokapasar. Meski begitu, dia tidak meninggalkan sistem perdagangan secara konvensional.
Dalam satu hari, Hendra dapat menjual sekitar 60 kilogram biji kopi. Dari jumlah itu, sekitar 5 persen di antaranya adalah penjualan secara daring. Pelanggannya pun beragam, ada yang bahkan dari Papua. Sisanya dia pasok ke sejumlah kafe di Palembang yang sudah bermitra dengannya.
Bagi Hendra, lokapasar merupakan alternatif untuk mempromosikan produk agar bisa dikenal lebih luas. Menjual produk melalui pasar daring jauh lebih efisien dan dapat memangkas biaya promosi. Di sisi lain, cara ini juga dapat digunakan untuk memperkenalkan kekayaan kopi Sumsel.
Selain menjual biji kopi hasil racikan sendiri, Hendra juga membina para petani di kawasan Semendo, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Mereka diajak untuk menghasilkan biji kopi berkualitas.
”Dengan kopi yang berkualitas, pelanggan akan terus memesan produk kita,” kata Hendra yang menamakan produknya Beskabean Coffee Roastery.
Memperluas peluang
Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Sumsel Amiruddin mengungkapkan, digitalisasi merupakan cara yang paling jitu untuk memangkas panjangnya rantai pasok di sektor perdagangan. Para pelaku UMKM bisa langsung terhubung dengan konsumennya tanpa harus punya toko atau lapak.
”Cukup bekerja dari rumah saja, produk bisa terjual,” katanya.
Kemudahan inilah yang membuat UMKM banyak beralih menggunakan lokapasar. Fenomena ini pun disokong dengan banyaknya program dari sejumlah instansi baik swasta maupun pemerintahan, yang membina para pelaku UMKM. Tujuannya agar peluang pelaku usaha dalam memasarkan produknya, terbuka lebar. Pemerintah Provinsi Sumsel juga membuat aplikasi Sumsel Mall untuk menghubungkan UMKM lokal dengan konsumen.
Cukup bekerja dari rumah saja, produk bisa terjual. (Amiruddin)
Jumlah UMKM di Sumatera Selatan mencapai 2,2 juta. Dari angka tersebut, sekitar 90 persen di antaranya adalah pelaku usaha mikro dengan modal usaha di bawah Rp 1 miliar.
”Mereka inilah yang perlu terus dibina agar bisa naik kelas,” kata Amiruddin.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumsel Hari Widodo memaparkan, pasar digital di Sumatera Selatan semakin hari kian berkembang pesat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya transaksi perdagangan elektronik dan transaksi nontunai.
Bank Indonesia mencatat, sistem pembayaran nontunai di Sumsel pada triwulan III 2021 mencapai Rp 1,68 triliun atau tumbuh 27,97 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara transaksi perdagangan elektronik di Sumsel pada triwulan III 2021 mencapai Rp 1,9 triliun atau tumbuh 89,72 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Akses pasar digital jauh lebih luas dibanding konvensional karena sekarang siapa pun sudah bisa mengakses internet. (Hermansyah Mastari)
Hari menyatakan, ekonomi dan keuangan digital memiliki potensi yang besar untuk menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi baru, bersama sektor UMKM dan ekonomi keuangan syariah. Karena itu, ia berharap semua pihak harus bersinergi untuk melakukan akselerasi keuangan digital di Sumsel sehingga pertumbuhan ekonomi di daerah dapat terus terpacu.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sumatera Selatan Hermansyah Mastari mengungkapkan, perkembangan pasar digital sudah mulai terlihat sejak tahun 2015 lalu. ”Akses pasar digital jauh lebih luas dibanding konvensional karena sekarang siapa pun sudah bisa mengakses internet,” kata dia.
Bukti lain adalah dari jumlah orang terkaya di dunia, jajaran paling atas adalah pengusaha di bidang teknologi dan pengembangan usaha digital. Karena itu, pengembangan kapasitas pelaku UMKM harus dikedepankan agar mereka tidak tertinggal. Pelatihan yang dimaksud adalah bagaimana pelaku usaha dapat mengemas produknya lebih menarik karena dunia digital erat kaitannya dengan tampilan produk.
Selain itu, diperlukan juga legalitas usaha sehingga para UMKM yang secara digital dapat terhubung langsung dengan konsumen dapat diakui. ”Legalitas bagai ijazah bagi para pelaku usaha. Jangan sampai karena tidak ada legalitas usaha, konsumen mengalihkan pesanannya ke pihak lain,” ungkapnya.
Kapasitas pelaku UMKM untuk berselancar di pasar digital perlu ditingkatkan. Mereka harus bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, jika tidak mereka akan tertinggal dengan kompetitor lain.
”Pilihannya tinggal dua, yakni mau berubah atau mati,” kata Hermansyah.