Modernisasi Alat Pemantauan untuk Perkuat Mitigasi Semeru
Sistem mitigasi bencana Gunung Semeru diperkuat menyusul terjadinya peningkatan status dari waspada menjadi siaga. Masyarakat yang bermukim dan beraktivitas di kaki gunung agar mendapatkan informasi akurat dan cepat.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
LUMAJANG, KOMPAS — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperkuat sistem mitigasi bencana Gunung Semeru, salah satunya dengan melengkapi sistem pengamatan yang telah ada di Pos Pemantauan Gunung Api Semeru. Hal itu dilakukan menyusul kenaikan status gunung dari Waspada ke Siaga dan pemetaan baru kawasan rawan bencana Gunung Semeru. Masyarakat diimbau untuk mematuhinya.
”Ada perluasan kawasan rawan bencana (KRB) Gunung Semeru. Oleh karena itu, masyarakat agar tidak beraktivitas di sektor tenggara di sepanjang Besuk Kobokan, sejauh 13 kilometer (km) dari puncak,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam kunjungannya ke Pos Pemantauan Gunung Semeru di Gunung Sawur, Kecamatan Candipuro, Jumat (17/12/2021).
”Beberapa peralatan akan ditambah dan dimodernisasi. Kalau sekarang ini memang standar,” kata Arifin. Pihaknya akan menambahkan di beberapa titik. Sebagai contoh, menambahkan kamera pengukur suhu atau thermal camera sehingga, saat ada luncuran awan panas, langsung ketahuan temperaturnya berapa.
Themal camera salah satunya akan dipasang di area Besuk Kobokan. ”Kita sedang cari jalan, bagaimana caranya bisa ke titik pengamatan yang lebih dekat,” kata Arifin.
Badan Geologi Kementerian ESDM menaikkan status Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, dari Level II atau Waspada menjadi Level III atau Siaga terhitung mulai Kamis (16/12) pukul 23.00. Kebijakan itu diambil karena tingginya aktivitas vulkanik dan telah terjadi peningkatan jarak luncur awan panas guguran serta aliran lava.
Aktivitas awan panas guguran masih berpotensi terjadi karena adanya endapan aliran lava (lidah lava) dengan panjang sekitar 2 km dari pusat erupsi. Aliran lava tersebut masih belum stabil dan berpotensi longsor, terutama di bagian ujung alirannya, sehingga bisa mengakibatkan awan panas guguran.
Selain berpotensi terjadi awan panas, potensi terjadinya aliran lahar juga masih tinggi mengingat curah hujan yang cukup tinggi di Gunung Semeru. Berdasarkan data BMKG, diperkirakan musim hujan masih akan berlangsung selama 3 bulan ke depan. Secondary explosion juga berpotensi terjadi di sepanjang aliran sungai apabila luncuran awan panas masuk atau kontak dengan air sungai.
Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh melakukan aktivitas pada jarak 500 meter dari tepi sungai atau sempadan sungai di sepanjang Besuk Kobokan karena berpotensi terlanda perluasan awan panas dan aliran lahar hingga jarak 17 km dari puncak.
Selain itu, warga juga tidak boleh memasuki dan beraktivitas dalam radius 5 km dari kawah atau puncak Gunung Api Semeru karena rawan terhadap bahaya lontaran batu (pijar).
Arifin mengatakan, setelah erupsi Gunung Semeru pada Sabtu (4/12), terdapat sekitar 8 juta kubik pasir yang turun dan menyumbat aliran sungai. Jalur sungai tersebut, yaitu Besuk Kobokan, adalah jalur aliran lahar ketika terjadi erupsi. Apabila jalur ini tersumbat, jika terjadi banjir, lahar akan meluas ke daerah di sekitarnya.
Terkait sistem peringatan dini atau early warning system (EWS), menurut Arifin, kondisinya telah berjalan sesuai mekanisme di setiap titik pemantauan gunung api. Apabila terdapat indikasi atau kenaikan aktivitas gunung api, akan selalu terpantau dan hasil pemantauan tersebut disampaikan kepada masyarakat melalui saluran komunikasi, yaitu grup Whatsapp yang beranggotakan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, camat, kepala desa, tokoh masyarakat setempat, dan sukarelawan.
Mekanisme peringatan dini melalui grup Whatsapp yang berjalan di Gunung Semeru saat ini dinilai yang paling cepat. Mekanisme ini dilakukan di seluruh gunung api, seperti di Gunung Sinabung dan Gunung Merapi.
Belum optimal
Wakil Bupati Lumajang Indah Amperawati Masdar mengatakan, pihaknya sependapat apabila alat pemantauan Semeru diperbanyak dan dimodernisasi. Menurut dia, peran Pos Pemantauan Gunung Api Semeru selama ini belum optimal. Dia mencontohkan, thermal camera baru dipasang setelah kejadian awan panas guguran pada Sabtu (4/12).
Indah membandingkan kondisi alat pemantauan gunung api antara yang ada di Semeru dengan di Merapi. Dari sisi jumlah, misalnya, selisihnya sangat jauh, bahkan 1 banding 10. Adapun dari sisi kecanggihan teknologi dan kemampuan peralatan, dia meragukan alat pemantauan yang ada di Semeru.
Adapun dari sisi kecanggihan teknologi dan kemampuan peralatan, dia meragukan alat pemantauan yang ada di Semeru.
”Thermal camera yang hanya satu alat perlu ditambah. Demikian halnya dengan alat lain, seperti kamera pemantau atau CCTV yang idealnya dipasang di beberapa tempat yang rawan terdampak erupsi,” ucap Indah.
Indah menambahkan, pihaknya juga meminta agar dipasang sirene atau alarm sebagai bagian dari sistem peringatan dini bencana Semeru. Hal itu penting supaya masyarakat mendapat informasi akurat dalam waktu cepat. Masyarakat yang beraktivitas di kaki gunung, seperti petani, petambang pasir, dan peternak, mayoritas tidak membawa telepon genggam.
Dia tidak menampik, erupsi gunung api sulit diprediksi. Namun, para ahli memiliki kemampuan mengenali gejalanya. Gejala akan bisa dikenali dengan kuat apabila didukung alat pemantauan yang memadai. Apabila gejalanya terindikasi menguat, masyarakat segera diberi peringatan melalui sirene atau alarm.
Menurut dia, sistem peringatan dini melalui sebaran informasi di grup Whatsapp tidak maksimal. Dengan bunyi sirene, masyarakat akan lebih mudah diperingatkan. Setelah itu, mereka disosialisasi agar tidak beraktivitas sementara waktu hingga situasi benar-benar aman.