Kasus MPA merupakan potret kurangnya dukungan keluarga pada remaja perempuan. Korban terjerumus pada kondisi yang membahayakan jiwa dan fisiknya. Akar masalah ini harus diatasi setegas penindakan hukum terhadap pelaku.
Oleh
Vina OKtavia
·4 menit baca
Duka masih menggelayut di wajah Nanang (40), ayah MPA, remaja putri di Bandar Lampung yang menjadi korban kekerasan seksual dan pembunuhan. Perantau yang baru pulang dari Jambi sebulan lalu itu baru saja melepas rindu dengan putri sulungnya. Kini, ia harus kehilangan MPA (15) untuk selamanya.
Selasa (14/12/2021) siang, keluarga Nanang masih sibuk menyiapkan acara doa bersama tujuh hari kematian MPA. Para tetangga juga masih berdatangan untuk menyampaikan belasungkawa. Acara yasinan untuk mengenang MPA itu digelar di rumah bibi korban, Selasa malam.
Kepergian MPA, yang ditemukan tewas pada 5 Desember 2021 di sebuah rumah kosong di Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, itu membuat hati Nanang dan keluarganya hancur.
Putrinya yang ia sayangi direnggut kehormatan dan nyawanya dengan cara yang sadis. Keluarga besarnya semakin sedih saat mengetahui otak pembunuhan itu adalah S (17), teman MPA sekaligus tetangga mereka.
Sebagai ayah kandung, Nanang menyadari kesibukannya mencari uang membuatnya tak bisa sepenuhnya memberikan perhatian pada MPA. Apalagi, sejak satu tahun terakhir, rumah tangganya berantakan. Nanang berpisah dengan istrinya yang kini sudah menikah lagi.
Kami kaget setelah tahu bahwa pelaku pembunuhan yang ditangkap polisi itu ternyata berinisial MT. Nama itu sama seperti pengirim papan bunga.
Kondisi ekonomi yang semakin sulit selama pandemi juga membuat buruh bangunan itu memilih merantau ke Jambi. MPA dititipkan di rumah neneknya. Tak jarang, MPA tidur berpindah-pindah di rumah bibi atau temannya.
Selama ini, MPA sering membantu neneknya berjualan pecel lele dari malam hingga subuh. MPA juga sering tidak pulang. Kepada Nanang, MPA mengaku menginap di rumah kos temannya.
Saat MPA pergi pada Selasa (30/11/2021), Nanang sebenarnya sudah berusaha mencari putrinya. Dia mencari anaknya ke rumah pacar dan teman-temannya, termasuk S yang kini menjadi tersangka pembunuhan.
Ia juga tidak melapor ke polisi karena mengira MPA menginap di rumah salah satu temannya. ”Saya tidak mengira pergaulan anak saya sudah sejauh ini,” ucapnya penuh sesal.
Karangan bunga
Pengungkapan kasus kematian MPA oleh Polres Lampung Selatan yang menyeret MT (34), seorang buruh bangunan di Bandar Lampung, juga mengagetkan keluarga. Hal ini karena selama ini, tak ada satu pun keluarga korban yang mengenal sosok MT.
Keterlibatan MT dalam kasus itu justru mengingatkan mereka pada kiriman papan bunga misterius, 8 Desember 2021, bertepatan pada hari pemakaman korban. Saat itu, keluarga menerima papan bunga berisi ucapan belasungkawa. Di papan bunga itu tertulis nama pengirim ”MT dan Kawan-kawan”.
Ernawati (45), bibi korban, menuturkan, keluarga tidak pernah tahu siapa pengirim papan bunga itu. Namun, setelah kasus ini terungkap, keluarga menduga, papan bunga itu dikirim oleh pelaku pembunuhan.
”Kami kaget setelah tahu bahwa pelaku pembunuhan yang ditangkap polisi itu ternyata berinisial MT. Nama itu sama seperti pengirim papan bunga,” kata Ernawati.
Menurut dia, keluarga memang pernah melarang MPA bergaul dengan S. Pasalnya, dari informasi para tetangga, S pernah terlibat dalam kasus prostitusi.
Kasus MPA merupakan potret kurangnya dukungan keluarga pada remaja perempuan.
Saat dikonfirmasi, Kepala Polres Lampung Selatan Ajun Komisaris Besar Edwin membenarkan bahwa S telah ditetapkan sebagai tersangka dan otak pembunuhan tersebut. Namun, ia belum bisa memberikan keterangan lebih rinci karena masih melakukan penyelidikan lebih lanjut.
S masih sulit memberikan keterangan secara jujur. Saat diperiksa, ia juga sempat membantah melakukan pembunuhan. ”Motif sementara pelaku kesal pada korban karena tidak mau tinggal bersamanya,” ujar Edwin.
Dari hasil penyelidikan, perkenalan S dengan MT yang merupakan eksekutor pembunuhan juga berkaitan dengan kasus dugaan prostitusi daring. MT diduga merupakan orang yang pernah memesan jasa S. MT mengaku melakukan pembunuhan atas perintah S dengan imbalan uang Rp 500.000.
S juga diduga yang berperan mengenalkan MT pada korban. Mereka kemudian berkomunikasi lebih intens melalui media sosial. Selama berkenalan, MT juga sempat memberikan perhatian dan hadiah pada korban, antara lain kosmetik dan pakaian.
Menurut dia, para pelaku akan dijerat dengan pasal berlapis. Mereka dijerat Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP subside Pasal 80 Ayat 3 dan Pasal 81 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Tersangka terancam hukuman paling ringan 20 tahun dan paling berat hukuman mati.
Secara terpisah, psikolog yang juga dosen bimbingan konseling di Universitas Lampung, Diah Utaminingsih, menilai, pelaku sangat mungkin memiliki perasaan sakit hati sejak lama pada korban. Dendam itulah yang kemudian mendorongnya melakukan pembunuhan.
Ia menambahkan, kasus MPA merupakan potret kurangnya dukungan keluarga pada remaja perempuan. Dalam kasus ini, MPA tidak mendapat model yang baik dan kasih sayang yang cukup dari orangtuanya.
Padahal, kata Diah, orangtua berperan sebagai pelindung bagi anak agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas. Remaja yang kurang perhatian orangtua cenderung mudah dirayu untuk melakukan hal-hal negatif.