Investigasi Kekerasan Seksual, Menag Janji Benahi Sekolah Asrama
Kementerian Agama berjanji menginvestigasi kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah asrama berbasis agama. Pembenahan izin operasional juga dilakukan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·2 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Kementerian Agama bersama sejumlah lembaga menginvestigasi kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah asrama berbasis agama. Selain mengungkap kasus itu, pemerintah juga berjanji membenahi mekanisme operasional sekolah berasrama. Meski demikian, upaya itu dinilai belum cukup.
”Saya sudah memerintahkan kepada seluruh jajaran untuk melakukan investigasi kepada sekolah-sekolah seperti ini (berasrama), yang kita sinyalir terjadi kekerasan seksual,” ujar Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas saat berkunjung ke Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (14/12/2021).
Pernyataan itu terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan Herry Wirawan, pemimpin sekolah berasrama di Bandung, terhadap belasan santriwati. Tindakan pelaku mengakibatkan sejumlah korban hamil dan melahirkan. Saat kejadian, korban yang berasal dari keluarga tak mampu itu masih berusia 13-16 tahun.
”Tentu ini tidak baik bagi anak bangsa dan agama. (Apalagi) karena ini mengatasnamakan agama lembaga pendidikannya,” ujar Yaqut. Pihaknya mengklaim, investigasi yang dilakukan sejak kasus tersebut mencuat juga melibatkan kepolisian, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, serta sejumlah pihak terkait lainnya.
Yaqut tidak menyebutkan berapa banyak sekolah berasrama yang akan diinvestigasi. Namun, berdasarkan data Kemenag, terdapat 34.075 pesantren di Indonesia. Pihaknya khawatir, kasus di Bandung hanya merupakan puncak gunung es kekerasan seksual di sekolah berasrama. Pihaknya berkomitmen menyelesaikan kasus itu.
Kasus kekerasan seksual, lanjutnya, tidak hanya merugikan umat Islam, tetapi juga merenggut masa depan korban yang masih anak-anak. Yaqut meminta investigasi dilakukan secepatnya agar hasilnya bisa menjadi bahan evaluasi Kemenag.
Yaqut juga berjanji segera memperbaiki mekanisme izin operasional sekolah berasrama berbasis agama untuk mencegah kasus kekerasan seksual. Ia tidak merinci detail pembenahan operasional dimaksud. ”Tidak boleh rekomendasi (izin operasional) yang muncul dari Kemenag hanya berupa kertas. (Kemenag) harus datang melihat, saksikan, baru keluar izin,” ungkapnya.
Saat ditanya perlunya kurikulum terkait pencegahan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama, Yaqut mengatakan, kurikulum merupakan kewenangan sekolah. ”Kita hanya punya kurikulum yang terkait pendidikan formal. Di luar itu bukan urusan kami,” ucapnya.
Faqihuddin Abdul Kodir, aktivis jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, menilai, pembenahan izin operasional tidak cukup mencegah kasus kekerasan seksual di sekolah berasrama. ”Mempermasalahkan izin sekolah hanya mengaburkan kasus ini. Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja. Di pesantren, sekolah, kampus, bahkan instansi pemerintah,” ucapnya.
Itu sebabnya, lanjutnya, pelaku kekerasan seksual harus diproses sesuai hukum yang berlaku. ”Tak kalah penting adalah pendekatan kultural. Selama ini, korban takut melapor karena menganggap aib dan khawatir dipersalahkan. Masyarakat harus sadar, siapa pun tidak ingin jadi korban kekerasan seksual,” ungkapnya.