Optimalkan Bandara, Daerah-daerah di Jateng Didorong untuk Kreatif
Bandara-bandara diharapkan meningkatkan ekonomi daerah. Bandara Jenderal Besar Soedirman untuk kawasan Banyumas Raya atau selatan-barat Jateng. Sementara Ngloram Blora, Rembang-Blora, juga untuk mendukung Kedungsepur.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Transportasi udara di Jawa Tengah berpotensi menggeliat dengan beroperasinya sejumlah bandara baru, seperti Bandara Jenderal Besar Soedirman di Purbalingga dan Ngloram di Cepu, Blora. Kini menjadi tantangan bagi daerah untuk menangkap peluang tersebut. Improvisasi dan kreativitas diperlukan.
Bandara Jenderal Besar Soedirman (BJBS) sudah beroperasi melayani penerbangan komersial pada Juni 2021. Presiden Joko Widodo juga telah meninjau bandara tersebut. Sementara Bandara Ngloram mulai beroperasi pada November 2021. Selain itu, Bandara Dewadaru di Kepulauan Karimunjawa, Jepara, juga telah dikembangkan untuk menopang pariwisata.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan Jateng, Henggar Budi Anggoro, Sabtu (11/12/2021), mengatakan, pembangunan dan pengembangan bandara-bandara tersebut merupakan sinergi pemerintah pusat, provinsi, dan daerah. Pemprov Jateng berkontribusi membebaskan sejumlah lahan untuk pembangunan.
Kini, dengan telah terbukanya aksesibilitas, ia berharap daerah-daerah bisa memacu daya tarik sehingga bandara teroptimalkan. ”Seharusnya sektor-sektor lain memanfaatkan, baik itu pariwisata, UMKM, maupun lainnya. Ini jadi perhatian dan harus ada improvisasi dari berbagai sektor untuk menangkap peluang ini,” katanya.
Terkait hal ini, pihaknya selalu mengomunikasikan baik dengan pemerintah kabupaten maupun pemerintah pusat. Ini penting untuk keberlanjutan operasional bandara, yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Kami sangat berharap bandara-bandara ini menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi.
”Kami sangat berharap bandara-bandara ini menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi. Bandara Jenderal Besar Soedirman untuk kawasan Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen) atau selatan-barat Jateng. Sementara Ngloram untuk Wanarakuti-Banglor (Juwana, Jepara, Kudus, Pati, Rembang , dan Blora), sekaligus penyangga Kedungsepur ( Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, dan Purwodadi)," ujarnya.
Adapun BJBS memiliki landas pacu sepanjang 1.600 meter dan Bandara Ngloram 1.500 meter. Keduanya dapat didarati oleh pesawat jenis ATR-72 dengan kapasitas penuh. Sementara Bandara Dewadaru memiliki landas pacu 1.400 meter sehingga pesawat jenis ATR-72 dapat mendarat hanya dengan kapasitas terbatas, yakni 55 orang (dari kapasitas penuh 72 orang).
BJBS dikelola oleh badan usaha bandar udara, yakni PT Angkasa Pura II (Persero). Sementara Bandara Ngloram dan Dewadaru dikelola Unit Penyelenggara Bandar Udara, Ditjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan.
Sebelumnya, pada Jumat (26/11/2021), Bandara Ngloram beroperasi komersial untuk pertama kalinya. Sebelumnya, bandara dikhususkan mendukung industri minyak dan gas di Cepu dan sekitarnya serta puluhan tahun tidak aktif. Pada 2018, aset milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu dialihkan ke Kemenhub untuk dibangun.
Bandara itu melayani penerbangan ke Halim Perdanakusuma, Jakarta, dengan maskapai Citilink, dua kali dalam sepekan, yakni Jumat dan Senin. Begitu pun rute sebaliknya, Halim Perdanakusuma-Ngloram.
Guna mengoptimalkan pemanfaatannya, Bupati Blora Arief Rohman terus berkomunikasi dengan daerah-daerah di sekitar Blora, antara lain Rembang (Jateng), Bojonegoro, Tuban, dan Ngawi (Jawa Timur). ”Kami sudah berkomunikasi dengan daerah-daerah sekitar dan responsnya sangat baik. Sebab, ini soal kawasan. Blora tak bisa sendiri," katanya.
Alternatifluar Jawa
Peneliti transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno menuturkan, bandara di satu daerah harus didukung berbagai pihak maupun bisnis lainnya.
Selain itu, ia mendorong agar layanan penerbangan tak hanya ke Jakarta, tetapi sebagai alternatif, perlu dibuka rute ke Kalimantan. Pasalnya untuk transportasi antardaerah di Jawa, warga memiliki opsi lain, yakni kereta api. Namun, ke Kalimantan, hanya ada opsi kapal laut yang memakan waktu tempuh lebih lama dibandingkan pesawat.
”Banyak orang-orang Jawa di Kalimantan. Contohnya saja penerbangan dari Semarang ke Pangkalan Bun yang setiap hari ada. Itu dari dulu bahkan. Banyak kota di Kalimantan untuk tujuan penerbangan. Jadi, arah pengembangannya bisa ke sana,” kata Djoko.