Penuhi Hak Pendidikan Pengungsi, Sekolah Darurat Disiapkan
Sekolah darurat segera disiapkan bagi anak-anak yang terkena dampak erupsi Gunung Semeru. Langkah itu menjadi upaya pemenuhan hak pendidikan anak.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
LUMAJANG, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Lumajang segera menyiapkan sekolah darurat bagi anak-anak yang terkena dampak erupsi Gunung Semeru. Langkah itu menjadi upaya pemenuhan hak pendidikan anak, baik anak-anak yang tengah mengungsi maupun anak-anak yang tidak bisa bersekolah akibat sekolahnya digunakan sebagai pos pengungsian.
”Nanti akan kami buat tenda-tenda sebagai sekolah darurat. Kami sudah menyiapkan, jumlahnya sekitar 15 unit. Tenda akan dipasang di tempat-tempat strategis di antara pengungsian,” kata Kepala Dinas Pendidikan Lumajang Agus Salim saat ditemui di posko pengungsian SMP Negeri 1 Candipuro di Kecamatan Candipuro, Lumajang, Jawa Timur, Sabtu (11/12/2021).
Adapun nanti pihak yang bisa mengikuti pembelajaran merupakan semua anak yang terdampak erupsi. Tidak hanya anak-anak yang tengah mengungsi, tetapi juga anak-anak yang tidak bisa bersekolah akibat bangunan sekolah mereka dimanfaatkan menjadi posko pengungsian.
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Lumajang, ada tujuh sekolah yang dijadikan tempat pengungsian ataupun markas sukarelawan. Sekolah-sekolah itu ialah SDN Penanggal 01, SDN Penanggal 02, SM N 2 Pasirian, SMPN 1 Atap Jarit, SDN Sumbermujur 01, dan SDN Sumberejo 03.
Agus mengatakan, metode pembelajarannya nanti bakal kolaboratif. Pasalnya, anak yang memerlukan sekolah terentang dari berbagai usia, mulai dari TK hingga SMP. Mekanisme pelaksanaannya masih dalam pembahasan.
”Nanti gurunya akan kami atur. Yang penting jangan sampai anak kehilangan haknya buat belajar. Pembelajaran tidak boleh berhenti, apa pun kondisinya,” ujar Agus.
Bagi anak-anak yang bermukim di pengungsian terpusat, pengaturannya akan lebih mudah. Sebab, mereka tinggal dalam satu kawasan. Namun, tidak semua anak ikut mengungsi di pengungsian terpusat. Ada sejumlah anak yang mengungsi secara mandiri di rumah-rumah saudaranya.
Lokasi pengungsian mandiri itu tersebar di 102 titik. Tidak hanya di daerah yang dekat dengan pengungsian terpusat, ada yang mengungsi hingga ke Kecamatan Lumajang. Waktu tempuh ke lokasi pengungsian terpusat bisa mencapai satu jam.
Nanti gurunya akan kami atur. Yang penting jangan sampai anak kehilangan haknya buat belajar. Pembelajaran tidak boleh berhenti, apa pun kondisinya.
Dengan temuan itu, Agus meminta, koordinator wilayah dari Dinas Pendidikan Lumajang mendata pengungsi anak yang tinggal di titik-titik jauh dari lokasi pengungsian terpusat. Anak-anak itu nanti akan diminta untuk mengikuti pembelajaran di sekolah-sekolah terdekat dengan tempat tinggal sementara mereka. Setiap sekolah diwajibkan untuk menerima anak-anak tersebut.
”Mereka berangkat dari tempat asalnya barangkali tidak membawa apa-apa karena konteks sebenarnya, kan, mereka tengah mengungsi. Maka, mereka boleh tidak berseragam atau bersepatu. Anak-anak itu wajib diterima dengan baik. Nanti akan kami siapkan keperluan sekolahnya,” kata Agus.
Sementara itu, Bupati Lumajang Thoriqul Haq mulai memikirkan relokasi bagi para pengungsi. Menurut dia, para pengungsi sudah sepakat untuk tinggal di tempat baru pascaerupsi. Calon titik relokasi pun telah diusulkan kepada Perum Kehutanan Negara Indonesia atau Perhutani.
Adapun total luas lahan yang diajukan mencapai 6 hektar. Salah satu lokasi tersebut adalah Lapangan Desa Penanggal di Kecamatan Candipuro, yang saat ini masih menjadi pos pengungsian terpusat. Beberapa titik lain berada di Desa Oro-Oro Ombo dan Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo.
”Saya berharap ini bisa diwujudkan tidak terlalu lama. Saya akan terus berkoordinasi dengan BNPB supaya ada percepatan. Saya juga akan bekerja keras untuk memastikan rencana ini terwujud secepat-cepatnya,” ujar Thoriqul.