Jejak "Onthel" Meronai Keramahan Yogyakarta
Penggunaan sepeda di DI Yogyakarta memiliki sejarah panjang sejak masa kolonial. Julukan Kota Sepeda pun pernah disandang. Marak digunakan pada 1950 hingga 1970-an, sepeda terpinggirkan setelah hadirnya sepeda motor.
Penggunaan sepeda sebagai alat transportasi di Daerah Istimewa Yogyakarta punya sejarah panjang sejak masa kolonial. Julukan Kota Sepeda bahkan pernah disandang. Kendati terpinggirkan seiring hadirnya motor, upaya menghidupkan semangat bersepeda terus menggema.
Benedictus Gerilyadi (71) masih mengingat jelas pengalamannya bersepeda di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekitar 1970-an. Pada 1972, Gerilyadi mulai kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI”, Yogyakarta. Sejak itu, sepeda terus menemaninya beraktivitas. Adapun ontel dalam bahasa Jawa berarti kayuh.
“Kalau kuliah saya nyepeda. Waktu itu, banyak teman kuliah yang juga pakai sepeda,” ujar Gerilyadi yang kini bekerja sebagai pengelola perpustakaan SMP Kanisius Gayam, Kota Yogyakarta, Senin (6/12/2021).
Di Yogyakarta, sepeda sering disebut pit atau onthel. Pit, kemungkinan diserap dari Bahasa Belanda untuk sepeda yakni fiets. Adapun onthel berarti kayuh. Menurut Gerilyadi, pada 1970-an, masih banyak warga Yogyakarta ngonthel untuk aktivitas sehari-hari. Saat itu, lalu-lalang warga mulai dari mahasiswa, pekerja, hingga mbok-mbok pasar bersepeda di jalanan Yogyakarta adalah pemandangan biasa.
Baca juga : Memahat Aksara Jawa di Ruang Fisik dan Virtual
“Waktu itu, banyak orang masih memakai sepeda meskipun sepeda motor sudah mulai banyak. Jalan waktu itu juga belum seruwet sekarang,” kenang Gerilyadi.
Sejak 1976 hingga sekarang, Gerilyadi yang memulai pekerjaan sebagai guru seni rupa itu masih setia menggunakan sepeda untuk pergi-pulang kerja. Termasuk setelah pensiun pada 2006 dan diminta mengelola perpustakaan SMK Kanisius Gayam.
“Dulu saat awal mengajar, saya tak punya motor, makanya naik sepeda. Setelah punya motor pun saya tetap pakai sepeda karena motor dipakai istri. Kebiasaan ini membuat saya enggak terampil naik motor. Jadi, ke mana-mana pakai sepeda,” ungkap dia
Sepeda pertama Gerilyadi adalah model jengki yang dibelikan ayahnya. Sepeda itu digunakannya selama 47 tahun dan baru “pensiun” pada 2019 setelah anaknya membelikannya sepeda baru.
Nostalgia bersepeda lain diungkapkan Indra Rukmana (40), pelaku usaha kuliner di kawasan Gedongkuning, Yogyakarta. Ia mengingat, akhir 1980-an, setiap hari ia diboncengkan sang ayah dengan pit onthel, berangkat dari rumahnya di Sewon, Bantul menuju sekolahnya di SD Pangudi Luhur, dekat Alun-alun Utara.
“Saat pagi, saya ingat banyak sekali warga Bantul berangkat kerja memakai sepeda menuju tempat kerjanya di Yogya. Sore harinya, mereka beramai-ramai pulang ke Bantul. Ada juga pedagang Pasar Beringharjo. Biasanya berombongan kayak konvoi. Ramai sekali,” tutur Indra.
Saat itu ada guyonan yang menyebut gampang mengenali wajah orang Bantul. Karena belang separuh akibat terpapar sinar matahari saat berangkat atau pulang kerja (Indra Rukmana).
Karena hampir setiap hari berpapasan di jalan, para pengonthel ini tak jarang bertegur sapa dan bersosialisasi. Bahkan, ayah Indra punya banyak kenalan baru dari aktivitas rutin bersepeda Bantul-Yogyakarta.
“Saya ingat, saat itu ada guyonan yang menyebut, gampang mengenali wajah orang Bantul. Karena belang separuh akibat terpapar sinar matahari saat berangkat atau pulang kerja,” seloroh Indra.
Baca juga : Warga Surabaya Ramai Bersepeda di Hari Minggu
Kota sepeda
Cerita Indra dan Gerilyadi hanya sedikit contoh betapa sepeda pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari warga Yogyakarta. Bahkan, tak berlebihan jika dikatakan sepeda memiliki sejarah panjang yang mewarnai peradaban daerah itu.
Peneliti sejarah Puji Rahayu menuturkan, sepeda mulai masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20 setelah dibawa orang-orang Eropa. Pada mulanya, sepeda digunakan untuk alat transportasi prajurit Belanda yang bertugas di Hindia Belanda. “Awalnya sepeda ontel di Yogyakarta itu dikirim orang Eropa untuk kebutuhan tentara perang Belanda,” tutur perempuan yang intens meneliti sejarah sepeda di Yogyakarta itu.
Awalnya sepeda ontel di Yogyakarta itu dikirim orang Eropa untuk kebutuhan tentara perang Belanda (Puji Rahayu).
Dalam tulisan “Romantisme Kereta Angin (Sepeda Onthel) di Yogyakarta Tahun 1970an” yang dimuat di Jurnal Lembaran Sejarah, April 2020, Puji menyebutkan, pada 1902 sudah berdiri sebuah toko sepeda di Yogyakarta. Toko sepeda bernama Wiriosoeseono itu menawarkan sepeda dengan merek Elephant dan Norman.
Beberapa catatan juga menyebutkan toko sepeda lain di Yogyakarta, misalnya toko HWA yang sudah berdiri sejak 1938. Seiring waktu, sepeda mulai digunakan sebagai alat transportasi oleh rakyat pribumi. Namun, pada masa itu, harga sepeda masih mahal sehingga tak semua warga pribumi mampu membelinya.
“Sebelum 1950-an, sepeda bisa dikatakan sebagai lambang status sosial. Kalau diibaratkan, sepeda waktu itu mungkin seperti mobil Alphard sekarang ini,” ujar Puji yang merupakan lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Puji menyebut, golongan bangsawan di Yogyakarta lebih dulu memakai sepeda ontel buatan Eropa dibanding warga biasa. Hal ini karena Keraton Yogyakarta pernah diberi beberapa sepeda ontel oleh orang-orang Eropa. Pada 1947, keluarga keraton telah menggunakan sepeda dengan sejumlah merek, misalnya Serva, Simplex, Eagle, Opel, Dunlop, Groesco, Insulinde, dan Rover.
Memasuki 1950-an, masyarakat Yogyakarta mulai banyak menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Menurut Puji, saat itu, sepeda banyak digunakan para pegawai kantor pemerintahan. Para pegawai itu mampu memiliki sepeda karena menerima subsidi pemerintah daerah. Setiap bulan, para pegawai itu harus membayar angsuran pembelian sepeda melalui pemotongan gaji.
Baca juga : Agar Nyaman dan Menyehatkan, Yuk Kenali Hal-hal Ini Sebelum Bersepeda
Selain itu, sepeda juga mulai digunakan kelompok masyarakat lain, misalnya petani, pedagang, dan mahasiswa. Oleh karena itu, jumlah pengguna sepeda di Yogyakarta pun bertambah signifikan. Bahkan, lanjut Puji, periode 1950-1970-an, Yogyakarta bisa disebut sebagai “Kota Sepeda” karena banyaknya pemakai sepeda di wilayah itu. “Yogyakarta waktu itu bisa dikatakan sebagai surganya pengendara sepeda,” ungkapnya.
Namun, menurut Puji, penggunaan sepeda di Yogyakarta mulai berkurang pada 1980-an hingga 1990-an. Hal itu salah satunya dipicu maraknya penawaran kredit murah pembelian sepeda motor. “Sejak saat itu, keberadaan sepeda ontel mulai tergeser,” ujar dia.
“Sego segawe”
Kebanggaan pada sejarah kota yang pernah diwarnai maraknya penggunaan sepeda itulah yang membuat pada 2008, Pemerintah Kota Yogyakarta mencoba menghidupkan kembali kebiasaan bersepeda di masyarakat melalui gerakan Sego Segawe, kependekan dari sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe (sepeda untuk sekolah dan bekerja). Gerakan tersebut digagas Wali Kota Yogyakarta saat itu, Herry Zudianto.
Untuk mendukung gerakan itu, Herry mengeluarkan surat edaran pada 2009 yang mengatur bahwa setiap hari Jumat, lingkungan Balai Kota Yogyakarta harus bersih dari sepeda motor dan mobil, baik milik pegawai maupun tamu. Aturan itu diharapkan bisa mendorong para pegawai Pemkot Yogyakarta memakai sepeda saat bekerja.
Akan tetapi, setelah Herry tak lagi menjabat pada tahun 2011, gerakan Sego Segawe seolah tenggelam. Aturan yang melarang sepeda motor dan mobil masuk ke kompleks Balai Kota Yogyakarta setiap Jumat juga dicabut. Meski begitu, aktivitas bersepeda di Yogyakarta tak pernah mati karena banyak komunitas sepeda yang terus menjalankan aneka kegiatan di kota itu.
Tahun ini, juga muncul inisiatif dari sejumlah elemen masyarakat untuk menghidupkan kembali semangat Sego Segawe melalui gerakan Sego Segawe Reborn dan Jogja Lebih Bike. Gerakan itu antara lain didukung Herry Zudianto, yang didapuk menjadi penasihat Sego Segawe Reborn. Selain itu, Pemerintah Daerah DIY dan Pemkot Yogyakarta juga mendukung.
Pada 5-11 Juni 2021, Sego Segawe Reborn dan Jogja Lebih Bike menyelenggarakan kegiatan #PekanBersepeda untuk mengampanyekan aktivitas bersepeda. Setelah itu, pada 12 Juni 2021, digelar kegiatan bersepeda bersama dan menanam pohon di kompleks Candi Prambanan, Sleman.
Ketua Pelaksana Sego Segawe Reborn, Herman Dody, dalam kegiatan tersebut mengatakan, selama pandemi Covid-19, jumlah warga yang aktif bersepeda meningkat drastis. Fenomena itu tentu harus disambut baik karena bersepeda punya banyak manfaat, baik dari sisi kesehatan maupun kelestarian lingkungan.
Baca juga : ”Bike Boom” dan Pasang Surut Sejarah Tren Sepeda
Namun, Herman berharap, aktivitas bersepeda tak menjadi sebatas hobi saat akhir pekan. Untuk itu, warga didorong juga memakai sepeda untuk aktivitas sehari-hari, misalnya saat pergi ke kantor.
Menurut Herry Zudianto, sepeda bisa menjadi moda transportasi pengganti bagi kendaraan bermotor saat masyarakat melakukan aktivitas untuk keperluan dan jarak tertentu. Saat bepergian tak terlalu jauh, misalnya, warga bisa memakai sepeda. Mereka diharapkan tidak menggunakan kendaraan bermotor terus-menerus.
“Kami ingin menyadarkan bahwa kita itu bisa kok bersepeda untuk tujuan tertentu dan jarak tertentu. Tidak harus ke mana-mana naik sepeda motor atau mobil,” ujar Herry.
Saat dunia gandrung dengan kecepatan, sepeda menawarkan keberlambatan. Namun, dalam keberlambatan itu, relasi antarmanusia justru menguat. Nilai-nilai kebersahajaan itu yang terus digaungkan demi mengembalikan keramahan Yogyakarta yang pernah berjuluk Kota Sepeda.