Cegah Kekerasan Seksual di Pesantren dengan Keadilan Jender
Pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan acap kali menggunakan dalih ketaatan murid terhadap gurunya. Pemahaman keadilan jender dapat memutus hal tersebut.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pelaku kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan berbasis agama kerap menggunakan dalih ketaatan murid kepada gurunya, meskipun perbuatan tersebut salah. Pemahaman terkait keadilan jender dinilai bisa mencegah kasus kekerasan seksual yang terus berulang.
Pengasuh Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jabar, Nyai Awanilah Amva menilai, pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan acap kali menggunakan dalih ketaatan murid terhadap gurunya. Misanya, kalau santri tidak menuruti permintaan gurunya dianggap tak taat.
”Terus, nanti (diancam) ilmunya tidak bermanfaat. Ini alasan klasik,” katanya, Sabtu (11/12/2021), di Cirebon. Awanilah merupakan perempuan kedua yang memimpin Ponpes Kebon Jambu. Sebelumnya, Nyai Masriyah Amva yang juga kakaknya mengepalai pesantren itu.
Menurut Awanilah, pemahaman tentang keadilan jender kepada santri dan guru bisa mencegah kekerasan seksual. Pemahaman bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang adil dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas jender itu, katanya, akan membangun pikiran kritis tentang ketaatan.
”Santri akan berpikir, ketaatan yang seharusnya seperti apa? Yang pasti bukan seperti itu (kekerasan seksual),” ujarnya. Pondok pesantren pun, lanjutnya, seharusnya tidak alergi dengan pemikiran yang menjunjung hak-hak perempuan.
Menurut dia, kekerasan seksual yang dilakukan HW (36), pemimpin sekaligus guru di sebuah pesantren di Bandung, terhadap santrinya, menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja. ”Tidak terkecuali di pesantren,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan, HW memerkosa belasan santriwati hingga hamil dan melahirkan pada kurun 2016-2021. Saat kejadian, para korban berusia 13-16 tahun. Terdakwa terancam hukuman penjara hingga 20 tahun (Kompas, 11/12/2021).
Untuk mencegah kasus serupa terjadi di satuan pendidikan berbasis agama, pihaknya memasukkan mata kuliah terkait keadilan jender di Mahad Aly Kebon Jambu, satuan pendidikan tinggi di pesantren itu. ”Pemahaman ini juga kami selipkan di pengajian santri,” ucap Awanilah.
Pihaknya juga menyiapkan badan konseling untuk santri melapor tentang kasus perundungan hingga kekerasan seksual. ”Sampai saat ini tidak ada kasus kekerasan seksual. Kami juga berupaya memberikan ruang agar santriwati speakup (bersuara),” katanya.
Ponpes berisi lebih kurang 1.000 santri itu juga kerap menggelar acara yang memuat tentang perempuan. Pada 2017, misalnya, pertama kali dilaksanakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Salah satu rekomendasinya untuk ulama adalah mendorong perspektif keadilan hakiki dalam relasi perempuan dan laki-laki.
Rasulullah mengajarkan, sebaik-baiknya laki-laki adalah yang paling baik akhlaknya terhadap perempuan. (Nyai Masriya)
Pada Jumat (10/12/2021) bertepatan dengan peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Ponpes Kebon Jambu menjadi lokasi acara bertajuk ”Orange the World Ekspress Your Orange”: Panggung Perempuan. Kegiatan itu digelar oleh Jaringan Cirebon Untuk Kemanusiaan, Fahmina Institute, Women Crisis Center Mawar Balqis, dan lembaga lainnya.
Acara itu menyuarakan kepada seluruh elemen masyarakat untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan. Nyai Masriyah Amva dalam pidatonya mengingatkan, ”Rasulullah mengajarkan, sebaik-baiknya laki-laki adalah yang paling baik akhlaknya terhadap perempuan,” katanya.