Yustina Bulu D Ona, Pengabdian Guru Tanpa Henti
Selama 50 tahun, Yustina Bulu D Ona mengabdikan dirinya pada pendidikan anak usia dini di Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Selama lima puluh tahun, Yustina Bulu D Ona (71) mengabdikan dirinya sebagai guru di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Tanpa henti, dia mendidik anak-anak untuk menyongsong masa depan.
Perempuan sepuh itu menghampiri sudut kelas. Di sana, seorang bocah tengah menangis. Perempuan itu merangkulnya, mengusap air mata dengan tangan, sambil menyanyikan lagu anak-anak berjudul ”Adik Jangan Menangis”. Bocah itu berhenti menangis.
Sentuhan Yustina membuat Petrus Demong (5) nyaman. Siswa lain di ruang kelas A, Taman Kanak-kanak Santo Don Bosko, Desa Labalimut, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, pada Senin (29/11/2021) itu, pun ikut senang. Mereka lalu ramai-ramai bernyanyi menghibur Petrus.
Selepas itu, mereka kembali bernyanyi. Kali ini, liriknya adalah mengucapkan angka kemudian nama binatang yang gambarnya menempel di dinding. Yustina terus mengitari ruangan sempit itu sambil menepuk bahu dan mengajak tos 12 muridnya. Seiring usia yang menua, gerakan Yustina tidak selincah dulu lagi.
Belum lagi matanya yang rabun membuatnya harus berjalan mendekat ke dinding saat sambil menunjukkan gambar. Alat bantu kacamata yang dibeli sekitar 20 tahun lalu kini penuh goresan di lensa sehingga tak bisa digunakan. Ia belum sempat pergi ke toko kacamata di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata.
Fisiknya yang kian uzur membuat ia tak bisa duduk berlama-lama di atas truk dengan bak kayu yang melewati jalan rusak berat. Untuk jarak Labalimut ke Lewoleba sejauh hanya 24 kilometer itu, waktu tempuh hampir tiga jam. ”Juga kacamata pasti mahal. Saya belum tentu bisa beli sekarang karena uang saya pas-pasan. Saya tabung dulu,” kata nenek dengan sepuluh cucu itu.
Di sekolah itu, kini ada 12 siswa yang tersebar di kelas A dan B. Kelas A bagi siswa yang baru masuk. Pembelajaran di kelas ini lebih banyak dengan cara bermain. Sementara, di kelas B untuk persiapan masuk ke jenjang sekolah dasar. Dibantu seorang guru muda, Yustina mengajar di dua kelas itu.
Tempat belajar mereka berada dalam sebuah gedung dengan panjang sekitar 10 meter, yang disekat menjadi tiga ruangan. Dua untuk ruang belajar kelas A dan kelas B, sedangkan satu lagi untuk kantor. Ruangan itu masih jauh dari ideal.
Yustina tidak pernah mengenyam pendidikan anak usia dini. Ia hanya lulusan sekolah menengah pertama. Perjalanannya kariernya berawal dari keinginannya menjadi biarawati Katolik. Ia merantau dari kampung ke Maumere, Kabupaten Sikka pada tahun 1971. Untuk menjangkau Maumere, dari Lewoleba ia menumpang kapal motor selama tiga jam disambung bus sekitar empat jam.
Menjadi biarawan, biarawati, atau imam merupakan mimpi banyak anak muda di Labalimut, sebuah perkampungan berhawa sejuk di bawah kaki Gunung Labalekan itu. Jika lulus, mereka bertugas di berbagai wilayah di Indonesia, bahkan hingga ke luar negeri. Setelah pendahulu pensiun, selalu ada lapisan kader penerus. Yustina memilih jalan itu.
Sampai di Maumere, pihak biara memintanya mengajar taman kanak-kanak sambil menunggu proses seleksi. Namun, ia tidak diterima. Yustina terus mengajar demi menambah pengalaman hingga tahun 1972 kembali ke kampung. Berbekal pengalaman itu, ia mendirikan Taman Kanak-kanak Santo Don Bosko.
Memiliki daya tarik
Awalnya, ia membuka kelas di sebuah bangunan darurat milik warga. Bangunan disekat menjadi dua bagian, satu ruangan untuk mengajar dan satu lagi untuk warung. Ruangan itu penuh dengan anak-anak. Tak ada seragam. Ada yang datang tanpa sandal, bahkan bertelanjang dada. Beberapa bulan kemudian, mereka pindah ke kantor desa.
Semangat anak-anak di daerah itu untuk sekolah sangat tinggi. Orangtua mereka bahkan terpaksa nekat menjadi buruh migran ilegal di Malaysia demi mencari uang untuk mengongkosi anak mereka hingga perguruan tinggi. Sebab, komoditas lokal seperti kemiri dan kopi yang musiman tidak banyak membantu ekonomi keluarga.
Yustina terus membawa sekolah itu berkembang dan ikut mengharumkan nama kampung mereka. Desa Labalimut ditetapkan sebagai desa teladan tingkat Provinsi NTT. Pada tahun 1988, Yustina ikut mendampingi istri kepala desa ke Jakarta untuk mengikuti upacara bendera dan bertemu dengan ibu negara, Siti Hartinah (Tien Soeharto).
Ansel Deri, alumnus TK Don Bosko tahun 1974-1975, menuturkan, kala itu Yustina ibarat magnet. Penampilan ibu guru dengan baju dan rok yang bersih menjadi daya tarik tersendiri. Yustina sangat ramah dan menyenangkan. Saat itu, Ansel bermimpi punya baju bagus seperti Yustina. Ia memaksa orangtuanya agar bisa segera masuk TK Don Bosko.
”Kadang saya ke sekolah bermodal celana karet karena tak punya baju. Celana itu kadang diikat karet atau benang hasil pintal untuk pengganti ikat pinggang,” tutur Ansel yang kini bekerja di Jakarta.
Ia mengisahkan, setiap hari mereka diajar bernyanyi dan menulis huruf atau angka. Kertas dan alat tulis sangat minim. Biasanya, kertas disobek lalu dibagi sepotong-sepotong kepada setiap anak. Begitu juga pensil. Kertas dan pensil itu diminta dari biara suster misionaris asal Amerika dan Eropa yang melayani daerah itu.
”Satu hal yang membanggakan, Ibu Yus mengajar kami tanpa gaji. Namun, kami semua selalu diingatkan agar kalau rajin maka akan segera pakai seragam baru yang lebih bagus lagi saat di bangku sekolah dasar di SDK Boto,” katanya.
Baca Juga: Juwita Djatikusumah, Tempang Perjuangan Sunda Wiwitan
Menurut Yustina, kunci menjadi guru anak usia dini adalah sabar dan mau berbaur dengan murid-muridnya. Setiap murid harus dikenal secara dekat. Setiap kali pembelajaran berlangsung, perlu menyapa mereka dan menyentuh mereka secara fisik, seperti orangtua kepada anaknya. Siswa akan merasa nyaman.
Kendati usianya yang kini tak lagi muda, Yustina belum mau pensiun. Ia tidak peduli dengan gaji yang diterima. Lebih sebagian besar masa pengabdiannya dilalui tanpa menerima imbalan. Ia sempat menerima insentif enam tahun sebelum usianya 60 tahun. Saat itu, ia dibayar Rp 1 juta per bulan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata.
Setelah tak ada insentif, ia tetap terus mengajar. Ia ingin terus mengajar hingga tak mampu lagi berdiri di ruang kelas. Dia menjadi tenaga honorer selama setengah abad mengajar dari usia 21 tahun hingga memasuki usia 71 tahun.
Yustina Bulu D Ona
Lahir: Boto, 9 Oktober 1950
Suami: Pankrasius Nuba
Anak: 4
Cucu: 10