Juwita Djatikusumah, Tembang Perjuangan Sunda Wiwitan
Juwita Djatikusumah mengubah stigma menjadi kekuatan. Secuil diskriminasi bagi warga negara sesungguhnya menjadi luka mengangga bagi bangsa ini.
Juwita Djatikusumah (50) tumbuh dalam stigma dan diskriminasi. Lewat tembang, perempuan Sunda Wiwitan ini berjuang menyuarakan indahnya keberagaman. Perjuangan itu bukan hanya untuk generasinya, tetapi juga demi keutuhan bangsa Indonesia.
Letih sudah merintih
Lelah sudah terjajah
Saatnya bangkit bersama
Agama bukan penghalang
Adat bukanlah penghambat
Kita tetap satu Indonesia…
Petikan lagu ”Pusaka Negeri” itu dilantunkan Juwita di kediamannya, di Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jabar, Minggu (28/11/2021). Dengan mata tertutup penuh penghayatan, Juwita membawakan kidung yang menggambarkan isi hatinya, juga para penghayat Sunda Wiwitan lainnya.
Ia mencipta tembang itu ketika sengketa tanah adat 2017 lalu. ”Waktu itu kasusnya ke pengadilan. Terus ada sekelompok orang berjubah mau menyerang kami yang berpakaian adat. Kami dibilang PKI (Partai Komunis Indonesia),” ungkap Juwita yang siang itu membiarkan rambut sebahunya terurai, menyentuh bajunya bermotif batik coklat.
Lagu itu kembali menggema lewat Kiara Anjar Candrakirana dan Laura Syafrezzya Alkhanza di laman Youtube, pertengahan tahun lalu. Kedua anak perempuan berbeda agama itu mengenakan pakaian putih dengan syal merah putih. Video itu dibuat di tengah penyegelan bakal makam sesepuh Sunda Wiwitan yang juga orangtuanya.
Jauh sebelumnya, anak keenam Pangeran Djatikusumah (89) dan Ratu Emalia Wigarningsih (79) ini berkali-kali dihantam diskriminasi. Ia masih ingat ketika kelas 2 sekolah dasar (SD), aparat mencabut umbul-umbul upacara adat Seren Taun. Peringatan adat ini dilarang pemerintah pada 1982-1999. Mereka bahkan merengsek ke dapur, membatalkan acara itu.
Stigma negatif merambat ke lembaga pendidikan. Ketika upacara SD, misalnya, guru membacakan SK No KEP-44/K.2.3/8/1982 yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Jabar terkait larangan aktivitas Sunda Wiwitan. ”Gedong (Paseban) dibilang tempat aliran sesat. Teman-teman jadi jarang main lagi ke sini,” kenangnya.
Sunda Wiwitan merupakan ajaran spiritual leluhur Sunda yang menjaga cara-ciri manusia dan bangsa serta mengedepankan hubungan manusia, Tuhan, dan alam. Ajaran ini dulunya dikenal sebagai Agama Djawa Sunda (ADS) yang dirintis Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832-1939), buyut Juwita. Seperti agama-agama lain di dunia, Sunda Wiwitan juga mengakui keesaan atau ketunggalan Tuhan.
Baca Juga: Sunda Wiwitan, Potret Diskriminasi terhadap Minoritas
Ironisnya, Sunda Wiwitan kerap dipinggirkan. Juwita kecil terpaksa pindah sekolah. Bukannya perlakuan setara, ia malah diminta pindah agama oleh kepala sekolah. Saat sekolah menengah pertama, guru agamanya kerap menyindirnya dengan ucapan ”kafir”. Setiap kata itu muncul, ia menandainya di kertas seperti penghitungan surat suara pilkada.
Juwita pun menulis surat kepada sang guru. Isinya kira-kira begini, ”Saya senang pelajaran agama Islam. Apalagi, ketika dengar perjalanan Nabi. Tapi, saya ingin tanya. Bukankah yang berhak menilai orang kafir itu hanya Tuhan?” Setelah surat itu, intensitas sindiran gurunya berkurang dari biasanya puluhan kali jadi belasan kali.
Memasuki bangku sekolah menengah atas, diskriminasi terus menjadi. Ia masih ingat hari itu Rabu, pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Gurunya menyebut agama-agama yang diakui pemerintah. ”Kalau agama Madrais itu agama sempalan, sesat,” ucap Juwita menirukan ungkapan gurunya itu.
Mendengar itu, Juwita lantas berdiri. ”Apakah dari agama yang bapak sebut tadi ada ajaran memfitnah? Saya cucunya Madrais dan tidak akan ikut pelajaran bapak,” ucapnya lalu keluar kelas. Saking kesalnya, Juwita tak lagi mampu meneteskan air mata. Siang itu, ia juga tak ikut dua mata pelajaran setelahnya.
Dampaknya, Juwita tak naik kelas karena nilai PMP merah, hanya angka 5. Kepala sekolah ingin menolongnya naik kelas. Namun, ia menolak dan memilih pindah sekolah. ”Banyak nilai kehidupan lain yang tidak bisa dituliskan dengan angka,” ungkap alumnus Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) ini.
Stigmatisasi terus berlanjut, termasuk saat keluarga suaminya meragukan latar belakangnya. Namun, perlakuan baik Juwita terhadap mertuanya dan kedua anaknya menghapus pandangan itu. Orangtua tunggal ini coba menyelesaikan masalahnya seorang diri. Cukup pipinya yang jadi saksi derasnya air matanya.
”Saya harus kuat karena saya penganut, bukan pengikut,” katanya dengan suara serak. Keyakinan akan Sunda Wiwitan juga ia buktikan saat mengoordinasi sekitar 1.600 warga Cigugur ke Taman Mini Indonesia Indah di awal reformasi. Mereka menampilkan perayaan Seren Taun sekaligus mengenalkan Kuningan.
Pada 2001, nenek empat cucu ini menerjemahkan arahan Pangeran Djatikusumah untuk mencipta tari Pwah Aci Sanghyang Sri. Tari yang ditampilkan sekali setahun, pada malam puncak Seren Taun, itu merupakan doa meminta kesuburan atas sawah petani di Cigugur.
”Ini tarian meditasi. Bagaimana menyerap energi positif dan mengeluarkan yang negatif,” ujarnya. Saking sakralnya, hanya dia yang dipercaya membawakan tarian itu. Pengalaman menari sejak usia 4 tahun, termasuk tampil di TVRI pusat sekitar 1989 juga membentuk jiwa penarinya.
Juwita sempat menanggalkan dunia seni saat bekerja di Jakarta. Pada 2005, ia kembali ke Cigugur. Ketika membuka dokumen ayahnya, ia terkagum dengan batik Cigugur. Bersama sejumlah perajin sepuh, ia belajar membatik. Tidak jarang, jemarinya masih menorehkan lilin malam hingga pukul 03.00 subuh.
Berkat bantuan sejumlah sahabatnya, Juwita mampu memanggungkan batik Cigugur atau Paseban di salah satu hotel ternama di Jakarta pada 2007. Puluhan warga adat turut serta. Pengusaha hingga turis menyaksikan batik itu. Hanya lurah, camat, dan bupati Kuningan yang tidak datang meski telah diundang.
Baca Juga: Diskriminasi terhadap Penghayat Sunda Wiwitan Terus Terjadi
Karya lawan trauma
Sejak 2014, ia mulai menggagas grup seni Sekar Galuh untuk memeriahkan kegiatan di SMP Tri Mulya Cigugur yang sepi murid. Awalnya, paduan suara ini membawakan lagu-lagu orang. Pada 2016, Juwita yang tak pandai bermain musik, justru menulis lagu. Inspirasinya datang dari pengalaman masyarakat adat.
Misalnya, lagu ”Sampurasun” yang merupakan sapaan dalam budaya Sunda bermakna doa sebuah pertemuan atau permohonan maaf. ”Sampurasun Ibu, sampurasun Bapak”, demikian penggalan liriknya. Salam tersebut, katanya, sudah jarang ditemui. Tembang itu kian relevan ketika ada yang memelesetkan sampurasun menjadi arti buruk.
Ada juga lirik, ”Nya munjung kudu ka Indung, nya munjung kudu ka Bapa. Indung mah tunggul rahayu, Bapa mah tangkal darajat”. Petikan lagu Sumujud bercerita tentang penghormatan kepada orangtua yang telah bekerja dan berdoa demi anaknya. Karya itu, katanya, lahir setelah mendengar keluhan ibu-ibu dalam mengasuh anak.
Juwita juga mencurahkan kegelisahannya tentang diskriminasi yang komunitasnya alami. Seperti lagu ”Pusaka Negeri”, ”Pancasila”, dan ”Cara Ciri Manusa Bangsa” mengisahkan bahwa manusia dengan berbagai karakter atau ciri merupakan ciptaan Yang Maha Kuasa. Jadi, tidak perlu berselisih karena berbeda.
”Kami menjawab diskriminasi dengan karya, bukan teriak-teriak. Apalagi, kekerasan. Karya itu menguatkan eksistensi kita,” ujar Juwita. Karya, baginya, merupakan kewajiban dalam hidup. Jalan seni itu muncul sejak ia di dalam kandungan ibunya tahun 1970-an. Kala itu, orangtuanya membuat tari buyung di tengah tekanan Orde Baru untuk Sunda Wiwitan.
Kini, giliran Juwita yang berkarya, termasuk menghasilkan 10 lagu. Berkat itu, anak-anak Sunda Wiwitan yang tergabung dalam Sekar Galuh kini lebih percaya diri. Mereka pentas di acara Parade Bhineka Tunggal Ika, Hari Santri, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, hingga Mahkamah Konstitusi.
”Saya selalu bilang ke anak-anak. Tidak usah merasa kecil karena sedikit. Tidak ada intan yang besar. Pasti kecil, tetapi berharga. Jadilah intan untuk bangsa,” ujarnya. Seperti arti namanya, Sekar Galuh diharapkan menjadi generasi inti bangsa. Ia sadar, hidup tidak akan selamanya sehingga generasi tangguh harus disiapkan.
Menjadi Sunda Wiwitan, katanya, di negeri ini tidak mudah. Trauma akan diskriminasi dan stigma kerap menghantui. ”Saya harus membuat diskriminasi ini berkurang sehingga anak-anak kami tidak merasa sulit hidup dengan identitasnya. Cita-cita ini mungkin terlalu tinggi. Tapi, saya harus bertanggung jawab sebelum menyelesaikan hidup ini,” katanya.
Itu sebabnya, Juwita selalu membuka pintu bagi siapa saja yang ingin berdialog. Bukan untuk menyebarkan keyakinannya, tetapi memperluas wawasan keberagaman. Pada 2019, misalnya, ia berbicara di Forum Titik Temu yang menguatkan multikulturalisme. ”Siapa yang terbaik? Adalah kita yang menerima perbedaan sebagai kebesaran Sang Maha Cipta,” katanya.
Nia Sjarifudin, Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, menilai, tidak semua orang mampu seperti Juwita, perempuan adat yang melawan stigma dan diskriminasi dengan karya. ”Kalau kita mengalaminya belum tentu bisa melaluinya. Tati (Juwita) membalas kebencian dengan cinta yang melebihi cinta kita semua,” ujarnya.
Baca Juga: Seren Taun Cigugur, Napas Syukur Bersama dalam Semangat Keberagaman
Juwita Djatikusumah Putri
Lahir: Kuningan, 26 Februari 1971
Pendidikan terakhir: alumnus Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)
Anak: Arzhea Levrita Puri
Kintan Chyntia Puri
Aktivitas:
- Girang Pangaping Adat Komunitas Masyarakat Adat Sunda Wiwitan, Cigugur
- Pengelola batik tulis Paseban Cigugur
- Penari tunggal Pwah Aci Sanghyang Sri
- Pendiri Sekar Galuh