Perbedaan Persepsi Petugas Lapangan, Lahan Baku Sawah Di Sumsel Timpang
Akibat perbedaan persepsi dalam proses pendataan, pendataan luas lahan baku baku di Sumsel timpang. Hal ini dikhawatirkan akan berpengaruh pada terpangkasnya hak petani untuk mendapatkan bantuan.
Oleh
Rhama Purna Jati/Irene Sarwindaningrum
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Perbedaan persepsi mendefinisikan sejumlah kebijakan berdampak pada pendataan luas lahan baku baku di Sumsel timpang. Hal ini dikhawatirkan akan berpengaruh terpangkasnya hak petani untuk mendapatkan bantuan pemerintah. Pembenahan luas baku sawah terus dilakukan agar data yang diterima sesuai dengan kondisi lapangan.
Hal ini mengemuka dalam Rapat Sinkronisasi Pemantapan Pembaruan Luas Lahan Baku Sawah (LBS) 2021 di Palembang, Rabu (8/12/2021). Jika mengacu pada Sensus Pertanian 2017 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), luas LBS di Sumsel mencapai 621.903 hektar. Sementara itu versi Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2019 hanya 470.602 hektar. Artinya, ada selisih LBS sebesar 151.301 hektar.
Kepala Kantor Wilayah BPN/ATR Sumsel Pelopor menilai, munculnya perbedaan data ini disebabkan belum sinkronnya pemahaman petugas melakukan pendataan lahan di lapangan. ”Hal inilah yang membuat saringan terhadap indikator LBS, terlalu ketat,” ungkapnya.
Pelopor menjelaskan, dalam pendataan lahan, pihaknya menggunakan metode data geospasial. Namun dalam prosesnya, ada kemungkinan petugas tidak memasukkan data LBS. Penyebabnya, sejumlah pertimbangan, seperti indikator pola ruang, lokasinya di kawasan hutan, dan pemahaman keliru terkait Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
”Padahal pada kenyataannya, di titik tersebut terdapat lahan sawah penghasil beras yang dikelola petani. Mereka berhak didata untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah,” kata Pelopor.
Untuk lahan sawah yang ada di kawasan hutan, misalnya, Pelopor memperkirakan ada ribuan hektar sawah yang tidak dicatat petugas lantaran status legalitasnya masih buram. Padahal, masalah itu bisa terselesaikan dengan konsep perhutanan sosial atau Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) yang mengizinkan sejumlah aktivitas budidaya dengan persyaratan tertentu.
”Semua konsep ini disediakan dengan tujuan agar masyarakat dapat hidup lebih sejahtera,” kata Pelopor.
Adapun untuk pola ruang, banyak sawah yang juga tidak tercatat karena kawasan tempat sawah itu digunakan untuk kepentingan lain, seperti kawasan perekonomian atau permukiman. Belum lagi, karakteristik lahan basah di Sumsel, seperti sawah pasang surut dan sawah yang dalam waktu tertentu akan tergenang air. Saat kemarau, kawasan yang tergenang itu juga ditanami padi.
Belum sinkronnya pemahaman tentang kebijakan ini, kata Pelopor, dikhawatirkan akan berdampak pada terampasnya hak petani dalam memperoleh bantuan pertanian, mulai dari pupuk, bibit, hingga alat dan mesin pertanian. Hal itu juga rentan memicu risiko rendahnya harga gabah karena prediksi produksi yang tidak sesuai.
Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel Bambang Pramono menilai pengukuran LBS di Sumsel harus terus diperbarui agar tidak terjadi ketimpangan. Kali ini, proses pembauan data sudah dilakukan sejak 2020.
Dari hasil verifikasi di tahun 2020, ditemukan LBS tambahan seluas 69.213 hektar. Sementara hasil verifikasi sementara tahun 2021 didapat tambahan LBS sebesar 82.088 hektar. Hasil ini diperoleh dari hasil survei dengan sejumlah metode, yakni data primer lapangan, BIG Data dari ATR/BPN, dan data penafsiran dari tim teknis.
Hasil dari verifikasi ini akan dilaporkan kepada Gubernur Sumsel dan Menteri ATR/BPN dan diharapkan menjadi acuan untuk penentuan sejumlah program bantuan dari pemerintah pusat.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Banyuasin Zainuddin mengatakan, pemantapan data tentang LBS sangat dibutuhkan agar bantuan bagi petani di wilayahnya bisa tepat sasaran. Apalagi saat ini, Banyuasin tengah berupaya meningkatkan hasil produksi padi guna memantapkan status sebagai lumbung pangan nasional.