Pegawai RSJ Kendari Tuntut Transparansi Insentif Covid-19
Menilai sarat kejanggalan dalam pembayaran insentif penanganan Covid-19, puluhan pegawai RSJ Kendari, Sultra, lancarkan protes. Selama 2021, insentif mereka belum dibayarkan. Manajemen dianggap tidak transparan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Puluhan pegawai Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Kendari, Sulawesi Tenggara, melakukan aksi protes terhadap manajemen rumah sakit itu. Tidak hanya orasi, sebagian juga merusak perabot akibat tidak ditemui manajemen. Mereka mempertanyakan transparansi insentif dalam penanganan pasien Covid-19 yang dianggap sarat kejanggalan.
Lebih dari 80 pegawai RSJ Kendari melakukan aksi protes pada Selasa (30/11/2021) siang. Mereka menuntut manajemen rumah sakit memberikan penjelasan atas insentif penanganan Covid-19 yang dianggap menyimpang. Tidak hanya melakukan orasi dan bakar ban, sebagian pegawai juga memecahkan kaca hingga merusak pot bunga di area kantor. Sebagian pelayanan pasien juga terhambat akibat permasalahan ini.
Salah seorang perwakilan aksi, Fajaruddin, menuturkan, aksi ini dilatarbelakangi ketidakpuasan pegawai terhadap tidak transparannya manajemen. Hal ini terutama terkait penerimaan insentif penanganan Covid-19 yang tidak jelas selama 2021 serta banyaknya pegawai yang tidak masuk dalam daftar penerima insentif.
”Berdasarkan Surat Keputusan (SK) yang kami terima, banyak nama-nama pegawai yang bekerja menangani pasien Covid-19, tetapi tidak masuk (daftar). Namun, ada nama-nama yang tidak bekerja, tetapi malah masuk dalam SK,” kata Fajaruddin.
Permasalahan lain, ia melanjutkan, dasar aturan pemberian insentif juga tidak jelas. Dalam beberapa pertemuan, disebutkan adanya perbedaan penghitungan dibanding sebelumnya.
Tidak hanya itu, seorang pegawai yang tidak ingin disebutkan identitasnya menuturkan, sekitar Agustus lalu, ia dan sejumlah pegawai lain diharuskan menyetor tanda tangan kepada manajemen. Total waktu penanganan pasien Covid-19 yang ditandatangani sebanyak delapan bulan, yaitu Januari hingga Agustus 2021.
Akan tetapi, setelah tanda tangan disetorkan, mereka diketahui hanya akan mendapat insentif selama satu bulan. ”Kami sudah tanyakan, kalau cuma satu bulan, kenapa sampai delapan bulan yang ditandatangani? Kami minta untuk ditarik, tapi sampai sekarang belum jelas,” ujarnya.
Hal ini membuat ia dan rekan-rekannya khawatir jika ada temuan penyalahgunaan anggaran, mereka bisa ikut terseret akibat tanda tangan tersebut.
Seorang pegawai lainnya, Abdul Patawari, mengatakan, sampai saat ini, ia dan rekan-rekannya tidak tahu berapa besaran insentif yang akan diterima. Hal itu terjadi akibat tidak adanya transparansi dari pihak manajemen selama ini.
Pada penanganan Covid-19 2020 lalu, ia mendapat insentif sekitar Rp 10 juta selama tiga bulan penanganan pasien. Pada 2021 ini, ia dan rekan-rekannya di salah satu bagian menangani pasien selama dua bulan, dengan jumlah pasien sebanyak 10 orang.
Namun, saat ini proses pemberian insentif sangat tidak terbuka. Sebagian pegawai yang menangani pasien juga ternyata tidak dimasukkan dalam daftar penerima insentif oleh manajemen. Oleh karena itu, ia ikut aksi sebagai bentuk solidaritas akibat banyaknya kejanggalan dalam proses kali ini.
Setelah kami koordinasi dengan Inspektorat, hanya yang betul-betul menangani pasien yang boleh diberikan insentif.
Fajaruddin menambahkan, pihaknya berharap pemerintah mengambil tindakan terkait tidak adanya transparansi di rumah sakit tempatnya bekerja itu. ”Kalau perlu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lakukan audit anggaran biar semuanya terbuka,” katanya.
Rumah Sakit Jiwa Kendari merupakan fasilitas kesehatan milik Pemerintah Provinsi Sultra. Sejak 2020 lalu, rumah sakit ini ditunjuk untuk melakukan penanganan pasien Covid-19 seiring melonjaknya kasus.
Dalam Surat Keputusan Tim Penanganan Covid-19 RSJ Kendari, Sultra, yang diperoleh Kompas, ada lebih dari 120 nama yang dimasukkan. Mereka termasuk jajaran pimpinan, tim verifikasi, tim medis, tim keperawatan, tim penunjang, hingga tim koordinasi dan manajemen.
Direktur RSJ Kendari Abdul Razak menyayangkan aksi yang dilakukan sebagian pegawai tersebut. Dia menyebutkan, apa yang terjadi saat ini hanya kesalahpahaman, terutama terkait pembayaran insentif penanganan Covid-19.
”Dalam Surat Keputusan Tim Penanganan Covid-19 di RSJ Kendari, memang ada banyak nama. Nama itu diusulkan oleh tim verifikasi yang dibentuk dan dinilai berperan dalam penanganan Covid-19. Namun, setelah kami koordinasi dengan Inspektorat, hanya yang betul-betul menangani pasien yang boleh diberikan insentif,” kata Razak.
Manajemen, tutur Razak, tentu tidak ingin mengambil keputusan salah dengan melakukan pembayaran yang tidak sesuai. Sebab, hal tersebut bisa berujung penyalahgunaan anggaran dan tindak pidana.
Terkait adanya pegawai yang menandatangani delapan bulan kehadiran, Razak beralasan, hal tersebut dilakukan karena awalnya akan dilakukan pembayaran sesuai masa penanganan Covid-19. Akan tetapi, dalam delapan bulan tersebut, pasien yang masuk dalam perawatan di RSJ hanya sekitar dua bulan, yaitu Juli-Agustus.
”Jadi, intinya, kami hanya membayarkan sesuai masa kerja dalam penanganan pasien. Adapun nanti ketika insentif cair, tentu kami yang menerima akan menyisihkan untuk teman-teman lain,” ujarnya.
”Kemarin kami sudah bertemu dengan sebagian pegawai, tetapi mereka tidak sabar. Hari ini saya tidak masuk karena tidak enak badan dan ada kedukaan,” tambah Razak.
Pembayaran insentif petugas penanganan Covid-19 di Sultra sering kali bermasalah. Beberapa waktu lalu, petugas di posko utama Satgas Covid-19 Sultra juga mogok kerja karena belum dibayarnya insentif. Beberapa anggaran penanganan Covid-19 di wilayah ini juga menjadi temuan, bahkan kasus hukum.