Puluhan Tenaga Kesehatan RS Bahteramas Tak Dapatkan Insentif Pelayanan Covid-19
Puluhan perawat dan dokter di RS Bahteramas Kendari, Sultra, dipastikan tidak mendapat insentif pelayanan Covid-19 tahap awal. Mereka berharap ada keputusan terbaik karena tetap bertugas menyaring pasien Covid-19.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Sebanyak 34 perawat dan delapan dokter di Rumah Sakit Bahteramas Kendari, Sulawesi Tenggara, dipastikan tidak mendapat insentif pelayanan Covid-19 tahap awal. Mereka dikeluarkan dari tim penanganan Covid-19 meski juga bekerja menyaring pasien umum yang diduga terpapar virus korona jenis baru.
Puluhan dokter dan perawat yang tidak mendapat insentif penanganan Covid-19 ini bertugas di Instalasi Gawat Darurat umum RS Bahteramas Kendari. Di rumah sakit milik Pemprov Sultra ini kini terdapat dua IGD, yaitu umum dan Covid-19.
Sophia, bukan nama sebenarnya, salah seorang perawat, menceritakan, awalnya masuk dalam SK awal Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 RS Bahteramas, Januari lalu. Bersama 33 rekan sejawat, dan delapan dokter, ia bertugas di IGD Umum.
Akan tetapi, saat SK revisi keluar pada Maret lalu, semua perawat dan dokter yang bertugas di IGD umum tidak lagi masuk dalam struktur. Padahal, mereka tetap menyaring dan memeriksa seluruh pasien yang datang berobat ke rumah sakit.
”Sampai hari ini kami tetap bekerja, pakai baju hazmat level II dan pelindung diri dalam menangani pasien. Kami juga melakukan screening awal terhadap pasien, dan jika ada pasien dengan gejala reaktif lalu ditindaklanjuti rekan di laboratorium dan IGD Covid-19,” kata Sophia, Kamis (28/5/2020).
Oleh karena itu, tambah Sophia, ia dan rekan-rekannya mempertanyakan hilangnya nama-nama mereka dari SK yang dikeluarkan manajemen rumah sakit. Pihaknya juga telah berusaha mendapatkan penjelasan terkait hal itu, tetapi mendapat jawaban tidak sesuai kenyataan.
”Kami dibilangnya tidak mau masuk ke perawatan Covid-19. Padahal, kami tidak pernah diajak bicara terkait hal ini. Lagi pula, kami tetap melakukan penanganan awal, di mana sesuai aturan Kementerian Kesehatan, seharusnya tetap masuk dalam SK,” ujarnya.
Menurut Sophia, ia dan rekan-rekannya tentu tetap melakukan pelayanan tanpa berharap imbalan. Akan tetapi, jika anggarannya ada, dan mereka tetap bekerja, maka insentif itu juga menjadi hak yang seharusnya diterima.
Sesuai aturan dari Kementerian Kesehatan, tenaga medis dan tenaga kesehatan yang bertugas dalam penanganan Covid-19 akan mendapat insentif dari pemerintah. Dalam aturan tersebut, para pelayan kesehatan ini mendapat insentif dengan jumlah bervariasi, Rp 5 juta-Rp 15 juta, tergantung tingkat risiko. Namun, angka ini menjadi batas maksimal, dan disesuaikan dengan keuangan daerah.
Kami dibilangnya tidak mau masuk ke perawatan Covid-19. Padahal, kami tidak pernah diajak bicara terkait hal ini. Lagi pula, kami tetap melakukan penanganan awal, di mana sesuai aturan Kementerian Kesehatan, seharusnya tetap masuk dalam SK.
Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 RS Bahteramas, insentif untuk kategori berisiko tinggi mencakup dokter spesialis Rp 10 juta, dokter umum Rp 7,5 juta, perawat Rp 4 juta, tenaga laboratorium Rp 4 juta, dan lainnya Rp 750.000. Sementara untuk berisiko rendah berturut-turut Rp 5 juta untuk dokter spesialis, Rp 2,5 juta dokter umum/gigi, Rp 2 juta perawat, dan lainnya Rp 750.000.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 RS Bahteramas Didin Rohidin membenarkan puluhan dokter dan perawat IGD umum tidak lagi masuk dalam tim penanganan Covid-19. Sebanyak 300 orang yang masuk dalam SK saat ini adalah tenaga medis, tenaga kesehatan, dan lainnya, yang memang sejak awal bertugas untuk perawatan dan pelayanan Covid-19.
”SK awal memang direvisi, dikhususkan untuk perawatan pasien terpapar Covid-19. Dari SK revisi ini yang diajukan ke pemprov untuk mendapatkan insentif. Itu pun tidak semua dalam SK langsung otomatis dapat karena diverifikasi lagi siapa yang benar-benar bekerja selama ini. Ada 20 persen yang dipangkas dari total keseluruhan orang dalam SK,” ucap Didin. Ia menambahkan, ”Ini insentif dari Pemprov Sultra. Sudah disetujui, dan pembayaran insentif telah keluar sore ini untuk bulan Maret dan April.”
Sejak awal, Didin bercerita, tidak semua orang ingin masuk dalam tim penanganan Covid-19. Sebab, ada kekhawatiran dan ketakutan dari kalangan internal di tengah keterbatasan alat pelindung diri. Pelayanan pasien di IGD bahkan sempat terhenti dan diambil alih manajemen.
Atas kejadian itu, ucap Didi, dan atas dasar permintaan dari internal sendiri, instalasi pelayanan gawat darurat akhirnya dibagi menjadi IGD umum dan IGD Covid-19. ”Jadi, semua yang di IGD umum itu tidak lagi masuk dalam SK tim. Mereka sendiri sebenarnya yang tidak mau. Kami juga sudah beberapa kali berusaha dialog, tetapi selalu batal,” kata Didin.
Meski demikian, hal ini tengah dalam koordinasi dan akan dibicarakan lebih lanjut lagi. Pertemuan lebih lanjut akan dilakukan agar tidak berlarut-larut dan segera ada jalan keluar.
Jadi, semua yang di IGD umum itu tidak lagi masuk dalam SK tim. Mereka sendiri sebenarnya yang tidak mau. Kami juga sudah beberapa kali berusaha dialog, tetapi selalu batal. (Didin Rohidin)
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Sultra Mohammad Ridwan menyampaikan, pihaknya sedang berkoordinasi dengan RS Bahteramas agar permasalahan ini bisa segera selesai. Selain itu, dia berharap agar pelayanan tetap bisa berjalan normal, dan para perawat dan juga dokter bisa melakukan tugas dengan baik.
”Kami di sini hanya punya tugas koordinasi dengan RS Bahteramas agar pelayanan terus berjalan lancar. Yang perlu diingat, insentif itu ada rambu-rambunya, dan harus diverifikasi lagi,” kata Ridwan.