Mengenal dan Menimba Heroisme Tombolotutu, Pahlawan Nasional Pertama Sulteng
Perjuangan pahlawan nasional pertama dari Sulteng, Tombolotutu, mempertahankan tanah tumpah darahnya selalu relevan bagi generasi muda untuk membangun bangsa ini lebih maju dari waktu ke waktu.
Salah satu tokoh perlawanan terhadap Belanda sebelum kemerdekaan di Sulawesi Tengah, Tombolotutu dianugerahi pahlawan nasional pada 10 November 2021. Spirit perlawanan Tombolututu yang menjadi pahlawan nasional pertama dari Sulteng, diharapkan menginspirasi generasi muda dalam membangun daerah dan bangsa Indonesia.
Tombolututu, bangsawan Kerajaan Moutong, ditetapkan sebagai pahlawan nasional bersama dengan tiga tokoh lainnya, yakni Usmar Ismail (DKI Jakarta), Raden Aria Wasangkara (Banten), dan Sultan Aji Muhammad Idris (Kalimantan Timur). Penetapan keempatnya tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 109/TK/Tahun 2021 tentang penganugerahan pahlawan nasional (Kompas.id, 10 November 2021).
Baca juga: Menunggu Belasan Tahun, Empat Tokoh Raih Gelar Pahlawan Nasional
Tombolotutu lahir pada 1857 di Moutong. Ia terlahir dari kalangan bangsawan Kerajaan Moutong, saat ini bagian dari Kabupaten Parigi Moutong, Sulteng.
Tombolutu merupakan kemenakan Raja Moutong Pondatu. Ia gugur pada 17 Agustus 1901 dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Toribulu, Parigi Moutong. Secara umum, perlawanan Tombolotutu terhadap Belanda berlangsung selama dua tahun, dari akhir 1898 hingga pertengahan 1901.
Andi Mulhanan Tombolotutu, generasi ketiga keturunan Tombolotutu, yang menjadi ahli waris, mengaku bangga karena akhirnya Sulteng memiliki pahlawan nasional. Tidak penting sebetulnya apakah Tombolotutu yang menjadi pahlawan pertama dari daerah ini atau tokoh lainnya.
”Yang terpenting adanya pahlawan dari daerah ini menjadi representasi dan pengakuan Sulteng juga berjuang melawan penjajah. Sulteng tak tinggal diam ketika penjajah datang melucuti kedaulatan kita,” kata Mulhanan yang mantan Wakil Wali Kota Palu di Palu, Sulteng, Kamis (25/11/2021).
Inisiatif menjadikan Tombolotutu pahlawan nasional mulai dilakukan pada 2014. Waktu itu, dosen sejarah di Universitas Tadulalo, Palu, Lukman Nadjamuddin, bersama rekannya menelusuri dokumen perlawanan Tombolotutu. Ditemukan cukup banyak dokumen, termasuk surat kabar Belanda, yang menarasikan perlawanan Tombolotutu atas eksploitasi sumber daya alam, terutama emas di Kerajaan Moutong.
”Hal ini kami sampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong untuk ditelusuri lebih dalam,” ujar Lukman.
Penelusuran tersebut terdokumentasi dalam buku yang ditulis Lukman Nadjamuddin dan kawan-kawan dengan judul Bara Perlawanan di Teluk Tomini (2017). Buku tersebut dibedah bersama dengan para pakar dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Hasilnya Tombolotutu layak diusulkan menjadi pahlawan nasional.
”Tombolotutu melawan Belanda akibat situasi sosial dan politik yang tak menguntungkan rakyat, yakni eksploitasi sumber daya alam, terutama emas untuk kepentingan Belanda,” katanya.
Lukman juga menyebutkan eksitensi Tombolotutu menjadi perhatian parlemen Belanda pada abad XIX. Van Kol, anggota perlemen, waktu itu mengkritik cara Pemerintah Hindia Belanda menangani Tombolotutu. Mestinya Belanda mengakomodasi Tombolotutu sebagai raja menggantikan pamannya Raja Pondatu karena anak raja waktu itu masih muda. Namun, Belanda mengangkat sepupu Tombolotutu, Daeng Malino, karena dia kooperatif dengan kepentingan Belanda. Akibatnya ongkos politiknya yang besar berupa perang.
”Dengan begitu, perlawanan Tombolutu memiliki implikasi politik di Belanda,” katanya.
Perlawanan Tombolututu
Perlawanan Tombolututu terhadap Belanda dimulai pada 1880-an. Waktu itu Belanda sudah masuk ke Kerajaan Moutong dan kerajaan lain di sekitar Teluk Tomini setelah menaklukkan raja-raja di Gorontalo. Hegemoni Belanda di Moutong di bawah kendali residen di Manado, Sulawesi Utara.
Menurut Nadjamuddin, riak perlawanan Tombolututu sudah mulai muncul pada 1889 ketika ia mengunjungi sejumlah wilayah di Moutong. Ia disambut kalangan bangsawan lokal dan rakyat. Respons positif tersebut digalang sebagai kekuatan untuk melawan Belanda.
Perlawanan Tombolututu terhadap Belanda bertolak dari timpangnya perjanjian atau kontrak yang dibuat antara Belanda dan penguasa Kerajaan Moutong. Waktu itu, Moutong dikenal salah satu daerah dengan potensi emas tinggi. Belanda masuk ke Moutong untuk mengeksploitasi mineral mulia tersebut, selain sumber daya lain, seperti bijih besi, hasil hutan, serta pertanian. Potensi emas Parigi Moutong pada umumnya memang masih tersisa sampai saat ini dengan banyaknya lokasi penambangan emas tanpa izin (PETI).
Kontrak politik antara Belanda dan Moutong ditandatangani pada masa Raja Daeng Malino pada 1889. Daeng Malino yang menggantikan Raja Pondatu lebih akomodatif terhadap Belanda. Ia raja yang diinginkan Belanda, sekaligus bertentangan dengan keyakinan orang pada masa itu yang lebih percaya bahwa Tombolotutu yang paling berhak atas takhta Kerajaan Moutong.
Kontrak politik yang dibangun Belanda dan Moutong jelas-jelas menguntungkan Belanda. Salah satu pasalnya sebagaimana dikutip dari Nadjamuddin menyebutkan, raja Moutong dan para menterinya tak boleh menyerahkan takhta kepada bangsa lain selain Belanda, dilarang membuat persekutuan dengan bangsa lain, dan tidak diperkenankan bersurat atau menerima utusan, hadiah, ataupun mengirimkan utusan atau hadiah kepada bangsa lain. Bahkan, di bagian lain, kontrak menyebutkan otoritas pemberhentian raja berada di tangan gubernur jenderal di Batavia (Jakarta). Pengangkatan pejabat-pejabat di sekililing raja ditentukan residen Belanda di Manado.
Secara ekonomi, perjanjian tersebut berdampak pada tereduksinya hak-hak kerajaan atas sumber daya alam yang ada. Pemberian izin konsensi pertambangan bahkan dipegang Belanda. Pemerintah Kerajaan Moutong hanya dilibatkan dalam rencana eksplorasi. Pemasukan atas pengelolaan sumber daya tersebut dikendalikan Belanda, termasuk untuk memenuhi kebutuhan penguasa Moutong.
Menurut Nadjamuddin, fakta politik dan ekonomi itulah yang memicu perlawanan Tombolututu terhadap Belanda di tepi Teluk Tomini. Tombolututu melihat ketidakadilan berupa intervensi Belanda atas keberlangsungan kerajaan dan kehidupan rakyat Moutong. Eksploitasi sumber daya alam, terutama emas, menuai perlawanan bersenjata.
Ditambah pula fakta bahwa sebenarnya Tombolututul yang paling berhak atas takhta Kerajaan Moutong, bukan Daeng Malino. Keduanya sama-sama bangsawan dan kemenakan Raja Pondatu, tetapi berdasarkan tradisi Kaili harusnya Tombolotutu yang berhak atas takhta kerajaan merujuk garis kebangsawanan ibunya yang suku Kaili. Kebangsawanan ibu (matrilineal) diprioritaskan dalam suksesi kepemimpinan seturut tradisi Kaili. Legitimasi itu tak ada pada Daeng Malino yang mengklaim takhta secara patrilineal. Intervensi Belandalah yang memungkinkan Daeng Malino menduduki takhta Kerajaan Moutong pada 1889 untuk meloloskan kontrak politik.
Nadjamuddin menyebutkan perlawanan Tombolutu terhadap Belanda berkobar untuk menjaga wibawa dan marwah Kerajaan Moutong. Dalam perlawanannya, Tombolotutu memiliki motonatuvu naberoka, namate maupa, yang artinya hidup penuh berkah, mati meninggalkan nama.
Tombolotutu berperang melawan Belanda dimulai pada Oktober 1898 di Lobu yang merupakan markas Tombolotutu setelah berkunjung ke kerajaan-kerajaan kecil di bawah Kerajaan Moutong. Kerajaan-kerajaan tersebut, antara lain Ampibabo, Kasimbar, Toribulu, Tomini, dan Tinombo. Belanda waktu itu menyerang Lobu dengan pasukan elite marsose, pasukan yang juga berperang di Aceh dan Jawa Tengah. Pertempuran tersebut dikenal Perang Lobu I.
Di Lobu, Tombolotutu yang juga dikenal Pua Darawati didampingi para tadulako (panglima perang) yang mangatur kelompok dengan 20-50 prajurit. Pasukan Tombolotutu bermodalkan sumpit, tombak, dan parang. Hal itu berbeda jauh dengan pasukan marsose yang memiliki senjata canggih dan lengkap. Pertempuran berlangsung sekitar dua minggu. Pertempuran tersebut memakan banyak korban di kedua belah pihak.
Tombolotutu meninggalkan Lobu menuju pegunungan karena terdesak pasukan Belanda. Perang kedua terjadi di Kepulauan Togean yang saat ini berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Tojo Una-Una. Raja-raja lokal di sana masih memiliki kekerabatan dengan Tombolotutu. Ia pergi ke sana untuk meminta bala bantuan melawan Belanda.
Begitu ia diketahui berada di Togean, tepatnya di Lebiti, pasukan Belanda menyusul. Terjadi pertempuan yang menewaskan prajurit dan penduduk lokal, tetapi Tombolotutu lolos dari kejaran Belanda.
Pertempuran berikutnya terjadi lagi di Lobu saat Tombolotutu kembali ke Lobu. Pertempuran tersebut terjadi pada Oktober 1900. Belanda menerapkan taktik bumi hangus baik perkampungan maupun hutan tempat pasukan Tombolotutu bergerilya. Lobu sebagai markas pertahanan Tombolotutu luluh lantak. Banyak penduduk dan pasukan meninggal. Peristiwa itu dikenal Perang Lobu II.
Namun, Tombolotutu tak berhasil ditangkap. Ia lari ke Bolano dan membangun basis pertahanan di sana. Ia didukung raja lokal dan bangsawan Bolano. Pada akhir Oktober 1900, Belanda mengejar Tombolotutu ke Bolano, daerah lain di tepi Teluk Tomini yang lebih dekat ke Gorontalo. Sebanyak 27 anggota pasukan Tombolotutu tewas dalam pertempuran dengan Belanda.
Pasukan marsose Belanda berhasil menguasai Bolano. Tombolotutu dan para tadulakomemutuskan meninggalkan Bolano menuju pegunungan. Dalam pelarian itu, istri Tombolotutu, Pua Pika, hamil. Ia ditandu oleh anggota pasukan Tombolotutu.
Nadjamuddin menulis Belanda menganggap Perang Tombolotutu berakhir dengan takluknya Bolano. Atas dasar itu, banyak pasukan ditarik ke Manado. Namun, anggapan itu meleset karena pascapenarikan pasukan Belanda, anak buah Tombolotutu menyerang satu pos Belanda di salah satu kampung di pegunungan. Setelah kejadian itu, Belanda kembali mengejar Tombolotutu, baik dengan pasukan marsose maupun dengan prajurit Kerajaan Moutong.
Perang kembali pecah di kampung lainnya di pegunungan. Pos pertahanan Tombolotutu diduduki dan dibakar pasukan Belanda. Ada rakyat biasa yang tewas dalam pertempuran tersebut. Tombolotutu dan para tadulako-nya bersama anggota pasukan berhasil lolos.
Setelah itu, Tombolotutu bertualang di kerajaan-kerajaan di tepi Selat Makassar di wilayah yang sekarang masuk Kabupaten Donggala dan Tolitoli. Dalam pertualangan itu, Pua Pika, istrinya, melahirkan Datu Pamusu Tombolotutu dan Kuti Tombolotutu. Pada Juli 1901 ia berada di Kerajaan Banawa yang waktu itu dipimpin Tomaidadu. Karena melindungi Tombolotutu, Tomaidadu ditangkap Belanda dan diasingkan ke Makassar, Sulawesi Selatan. Tombolotutu lolos dalam penyergapan yang dilakukan Belanda di istana Banawa.
Perlawanan Tombolotutu akhirnya tamat di Toribulu, wilayah kekuasaan mertuanya Raja Sapewali. Salah satu versi sebagaimana disebutkan Nadjamuddin, dkk menyebutkan waktu itu Tombolotutu hendak bertemu dengan istrinya Pua Pika dan anak-anak yang saat itu sudah tinggal di Toribulu di Ujularit. Saat ia hendak memangku Kuti, anak keduanya, sebuah tombak meluncur ke arah Tombolotutu. Tombak melukai Kuti dan Pua Pika. Bersamaan dengan itu, pasukan marsose Belanda mengepung lokasi Tombolotutu. Pertempuran pun pecah. Tombolotutu gugur di pangkuan tadulako Loliba’i. Sang panglima perangkesayangan Tombolotutu itu juga gugur.
Relevansi
Heroisme atau kepahlawanan Tombolotutu tentunya tak hanya habis begitu digelar sebagai pahlawan. Keteguhan Tombolututu melawan penjajahan untuk kebebasan pengelolaan sumber daya alam Kerajaan Moutong masih relevan untuk generasi saat ini dan masa depan dalam membangun daerah dan bangsa Indonesia secara umum.
Perjuangan Tombolotutu pada intinya mempertahankan kedaulatan bangsanya, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dari intervensi Belanda. Visi tersebut sangat tepat terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. ”Kita harus mempertahankan dan mengelola sumber daya alam yang ada untuk kesejahteraan rakyat. Tak berarti tak boleh bekerja sama dengan negara lain, tetapi aspek-aspek regulasi terkait keberlangsungan dan dampak kesejahteraan terhadap rakyat menjadi pertimbangan utama. Itulah semangat perjuangan Tombolotutu,” kata Mulhanan.
Bagi anggota Komunitas Historia Sulteng, Jefrianto, generasi saat ini dan generasi masa depan bisa mengambil spirit perjuangan Tombolututu. ”Tombolotutu mengetengahkan semangat pantang menyerah, cinta tanah air, teguh dalam pendirian, antikorupsi, kolusi dan nepotisme. Nilai-nilai tersebut masih sangat relevan untuk setiap orang dalam konteks membangun Sulteng atau pun bangsa-negara ini,” katanya.
Untuk internalisasi nilai-nilai perjuangan dari pahlawan lokal, seperti Tombolutu yang akhirnya menjadi pahlawan nasional, Jefrianto meminta pemerintah untuk mengajarkannya di sekolah pada berbagai jenjang pendidikan. Selama ini, muatan sejarah lokal masih minim dibandingkan dengan sejarah perjuangan pahlawan nasional. Padahal, sejarah lokal dengan kedekatan geografisnya bisa memunculkan patriotisme tersendiri.
Warisan kepahlawanan Tombolotutu tentu harus menjadi spirit bagi kita yang hidup di era jauh setelah penjajahan untuk membangun daerah dan bangsa-negara ini menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Semangat itu barangkali yang bisa membuat bangga Tombolotutu dan para pahlawan nasional dan lokal lainnya yang telah mengucurkan darah untuk Ibu Pertiwi.
Baca juga: Menimba Semangat Perjuangan dari Senjata Tradisional Sulteng