Menimba Semangat Perjuangan dari Senjata Tradisional Sulteng
Senjata tradisional Sulawesi Tengah untuk pertama kalinya dipamerkan dalam ekshibisi di Kota Palu. Dari senjata pusaka itu diketengahkan semangat perjuangan membela kepentingan umum demi kemajuan bangsa.
Senjata tradisional Sulawesi Tengah yang dipakai nenek moyang melawan penjajah menjadi warisan budaya yang layak dilestarikan dan dimaknai terus-menerus. Benda-benda budaya tersebut menyimpan dengan awet semangat perjuangan, yakni rela berkorban dan menjunjung tinggi kepentingan umum, yang rasanya masih sangat relevan dalam mewujudkan kesejahteraan bersama saat ini.
Guma, sejenis parang yang dipakai sebagai senjata perang suku Kaili yang mendiami Lembah Palu dan sekitarnya di Sulawesi Tengah, berjejer di tiga meja sepanjang 6 meter. Ada mata atau bilah guma sepanjang 60 sentimeter (cm), ada yang 30 cm. Sebagian mata guma lebarnya sampai 5 sentimeter, sebagian lagi tipis hanya 2 cm.
Corak mata pedang beragam; sebagian berwarna abu-abu keperakan, tak sedikit yang berwarna kuning keemasan. Bahkan, ada bilah guma yang memadukan dua warna, yakni abu-abu dan hitam, yang menandakan dicampurnya dua logam yang berbeda.
Di bagian gagang dan sarung beberapa guma terukir berbagai motif. Ada ukiran berupa lubang-lubang yang dirajut mengelilingi gagang atau sarung. Terlihat juga ukiran menyerupai dedaunan yang panjang.
Di beberapa guma, pangkal gagangnya terbuka (kalama) dengan sisi kiri dan kanan dihiasi lekukan ukiran. Gagang terbuka biasanya terbuat dari tanduk kerbau. Pada masa silam, guma dengan model kalama tersebut hanya digunakan panglima/pemimpin perang (tadulako). Prajurit atau rakyat biasa menggunakan guma dengan gagang polos(tinombo).
Di sisi lain arena pameran di Markas Komando Resor Militer (Korem) 132/Tadulako, Kota Palu, Sulteng, Minggu (5/9/2021), terpancang doke(tombak). Ada mata dokeyang panjangnya mencapai 30 cm, terdapat pula yang panjangnya 10 cm. Semua ujung doke sangat lancip. Doke tersebut terlihat sudah berkarat yang menandakan pusaka ini sudah melintasi zaman.
Guma dan doke merupakan sebagian dari senjata tradisional yang diwariskan turun-temurun di masyarakat Sulawesi Tengah, termasuk di Lembah Palu (Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Sigi) serta daerah sekitarnya (Poso dan Parigi Moutong), yang dipamerkan di Markas Korem 132/Tadulako.
Selain kedua senjata tradisional tersebut, diperlihatkan pula perisai/tameng (kaliavo) yang terbuat dari kayu dan rajutan rotan di pinggirnya dan pelindung kepala (toru tondu) dari anyaman rotan. Total ada 200 jenis pusaka yang dipamerkan di Markas Korem 132/Tadulako.
Pameran senjata tradisional Sulteng yang dirangkai dengan seminar internasional secara virtual tersebut diselenggarakan Korem 132/Tadulako bersama Komunitas Pusaka Tadulako Sulteng. Pameran diselenggarakan untuk memperkenalkan dan melestarikan senjata tradisional Sulteng.
Selain itu, acara ini juga untuk membuka wacana kreatif dan lebih kaya terkait sosok tadulako dari kerajaan-kerajaan di Sulteng pada masa silam. Tadulako saat ini menjadi nama resor militer dan perguruan tinggi negeri di Sulteng, yakni Universitas Tadulako.
Senjata tradisional tersebut merupakan koleksi anggota Komunitas Pusaka Tadulako dan milik warga. Senjata kebanyakan berasal dari daerah-daerah dengan sejarah kental kerajaan masa silam, seperti Sindue dan Banawa di Donggala, setiap bagian dari Kerajaan Sindue dan Kerajaan Banawa, Kulawi di Sigi (Kerajaan Kulawi), Kawatuna (Kerajaan Palu) di Kota Palu, dan Lembah Napu (Kerajaan Napu) di Kabupaten Poso.
Meskipun sebagian besar hilang, masih ada yang tetap menyimpannya di rumah.
”Senjata-senjata tersebut memang kebanyakan dari pusat-pusat kerajaan zaman silam. Meskipun sebagian besar hilang, masih ada yang tetap menyimpannya di rumah,” ujar Sekretaris Komunitas Pusaka Tadulako Rifai Yarujampu, di Palu, Minggu (5/6/2021).
Sulit diketahui tahun pembuatan senjata-senjata tersebut, terutama yang berbahan dasar logam seperti doke dan guma, yang diperkirakan kebanyakan dari bahan campuran nikel, mangan, tembaga, dan bijih besi. Mineral logam tersebut memang tersebar di sejumlah wilayah di Sulteng.
Pembuktiannya hanya dengan uji karbon di laboratorium. ”Kami sementara mengurusnya,” tutur Rifai, yang bersama 20 temannya membentuk Komunitas Pusaka Tadulako dua tahun lalu.
Rifai menyebutkan, senjata yang berasal dari masa silam itu jelas dipakai para tadulako (panglima/pemimpin perang kerajaan) dan prajurit serta rakyat untuk menentang musuh, termasuk di era penjajahan Belanda. Berbagai literatur dan tutur nenek moyang menyebutkan guma dan dokesebagai senjata andalan dalam berperang dengan Belanda, meskipun dari era sebelumnya pada masa penjajahan Portugis masyarakat sudah mengenal senjata rakitan atau meriam.
”Ini menunjukkan betapa kuat tekad nenek moyang kita dalam memanfaatkan sumber daya yang ada melawan penjajah. Mereka berjuang agar bangsanya hidup mandiri,” ujarnya.
Baca Juga: Tinggalan Megalit Lore-Lindu Diusulkan Jadi Warisan Budaya Dunia
Salah satu jejak perlawanan lokal terhadap penjajah tergambar dalam peristiwa kapupu nu Kayumalue (terbakarnya Kampung Kayumalue) pada 1888. Rakyat Kayumalue, yang pada waktu itu bagian dari Kerajaan Tawaeli, terletak di utara Palu, berperang melawan Belanda karena menolak penandatanganan kontrak (kerja sama) antara Kerajaan Tawaeli dan Belanda.
Rakyat Kayumalue dengan senjata seadanya, seperti guma dan doke, menantang Belanda yang datang dengan kapal. Rakyat Kayumalue dibantu Kerajaan Palu di bawah kepemimpinan Radja Maili dan tadulakoYundalemba serta Kerajaan Dolo di bawah komando Yolulemba dan dua keponakannya, yakni Datu Pamusu dan Datupalinge.
Pertempuran tersebut, tutur anggota Komunitas Historia Sulteng Jefrianto, yang mengacu pada Ensiklopedia Hindia Belanda (Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, 1927), terjadi tak seimbang. Belanda dengan senjata yang lebih canggih mengobok-obok Kayumalue. Banyak warga Kayumalue tewas dalam peristiwa tersebut.
Unik
Bagi pendiri Seni Golok Indonesia, Ariyanto, atau lebih dikenal dengan nama Ki Kumbang, guma yang ditampilkan dalam pameran tersebut memiliki keunikan, terutama pada gagang yang disertai dengan ukiran berbagai motif. Berbagai bentuk gagang menunjukkan guma di Sulteng memiliki model beragam. Ini kekayaan yang unik.
Baca Juga: Pameran Senjata Tradisional NTB Digelar secara Virtual
Berdasarkan observasinya, guma tak bisa disamakan dengan parang pada umumnya. Struktur mata atau bilah guma tak rata seperti pada parang. Model struktur itu disebutkan untuk bisa menyerap racun, yang pada guma dari getah tumbuhan, bukan bisa hewan seperti di daerah Jawa pada umumnya.
“Guma, ya, guma, senjata perang. Nuansanya beda dengan parang pada umumnya yang dipakai untuk kegiatan pertanian. Guma hanya dipakai untuk perang,” ujarnya.
Rifai mengamini apa yang disampaikan Ki Kumbang. Dalam masyarakat Kaili, sebutan untuk parang adalah taonu atau babe atau sinangge. ”Jadi, betul, guma senjata perang, tak dipakai untuk pertanian seperti parang,” katanya.
Keunikan sama juga terlihat pada struktur doke dengan mata atau bilah tebal dan panjang. Dengan dokeyang panjang dan tebal, musuh ditargetkan langsung tewas. Beban dan panjangnya mata doke memungkinkan hal tersebut.
Gumasudah ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda dari Sulteng pada 2019. Sementara, doke belum ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda. Rifai menyebutkan, semua pemangku kepentingan tengah menyiapkan segala persyaratan pengajuan dokeuntuk menjadi warisan budaya tak benda.
Nilai perjuangan
Pada era modern ini, senjata tradional tersebut, terutama guma dan doke, dipakai sebagai perlengkapan upacara adat. Di Palu, misalnya, guma dipakai untuk menyembelih hewan saat balia(upacara adat untuk penyembuhan atau tolak bala). Sejumlah senjata lainnya juga menjadi bagian dari perlengkapan pada saat perkawinan adat diselenggarakan.
Rifai mengatakan, selama ini minim sekali penelitian dan publikasi terkait senjata tradisional di Sulteng. Padahal, banyak sekali aspek yang bisa digali dari benda-benda pusaka tersebut, mulai dari tahun pembuatan hingga sejarahnya.
”Kami akan mencoba mempromosikan senjata tradisional ini kepada lembaga-lembaga formal, seperti perguruan tinggi, agar bisa menjadi bahan penelitian lebih lanjut. Pameran ini membuka pintu untuk memperkenalkan pusaka berharga kepada generasi muda,” ucapnya.
Nilai apa yang bisa digali dari peradaban senjata tradisional ini? Guma, doke,dan kaliavo adalah cermin perjuangan para raja, pemimpin perang (tadulako), prajurit, dan rakyat dahulu kala melawan musuh, terutama penjajah.
“Generasi muda saat ini harus berpedoman pada semangat raja, tadulako, dan rakyat era kerajaan dengan mengambil nilai perjuangannya, yakni menjadi pemberani, tekun, rela berjuang dan berkorban mengutamakan kepentingan dan kemajuan bangsa,” kata Komandan Korem 132/Tadulako Brigadir Jenderal (TNI) Farid Makruf.
Baca juga: Tergilas Zaman, Tradisi Penggunaan Keris Palembang Mulai Pudar
Rela berkorban dan mengutamakan kepentingan umum serta menjadi pribadi yang berani adalah kebajikan-kebajikan yang esensial dalam membangun kehidupan berbangsa-negara. Dengan nilai-nilai itu, Sulteng dan Indonesia secara luas akan makin maju.
Seperti para tadulako yang mengacungkan guma dan melempar doke untuk melumpuhkan musuh, generasi saat ini dengan bersenjatakan kebajikan-kebajikan patriotik tersebut membidik kepentingan umum untuk kemajuan bangsa, di atas kepentingan atau keuntungan pribadi dan golongan.