Penerapan Konsep Merdeka Belajar di Pedalaman NTT Masih Terkendala
Konsep merdeka belajar di pedalaman Nusa Tenggara Timur terkendala. Banyak guru yang masih melakukan kekerasan dalam mendidik siswa.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Penerapan konsep merdeka belajar, terutama di pedalaman Nusa Tenggara Timur, masih terkendala. Sejumlah guru dan orangtua di pedalaman masih cenderung memaksakan kehendak terhadap siswa. Guru di pedalaman bahkan masih mempraktikkan adagium lama, yakni di ujung rotan ada emas atau menggunakan kekerasan untuk mendisiplinkan siswa. Padahal, konsep merdeka belajar membebaskan siswa mengambil materi pelajaran yang ia minati untuk dipelajari.
Demikian, antara lain, hasil Seminar Nasional ”Implementasi Merdeka Belajar dalam Pembelajaran di Kelas” yang diselenggarakan Yayasan Pendidikan Astra Michael D Ruslim (YPA-MDR) bekerja sama dengan Universitas Nusa Cendana (Undana) di Kupang, Sabtu (27/11/2021). Hadir dalam acara itu Bupati Kupang Korinus Masneno, Sekretaris YPA-MDR Wedijanto Widarso, serta Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kupang Manuel Buan.
Seminar diikuti sekitar 200 perwakilan guru dari Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, dan secara virtual diikuti para guru dari sekolah-sekolah binaan YPA-MDR di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Direktur Program Pascasarjana Undana Prof Feliks Tans sebagai pembicara kunci dalam seminar nasional itu, antara lain, mengatakan, merdeka belajar yang digagas Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim sangat tepat. Jika gagasan ini dicetuskan sejak awal kemerdekaan RI, Indonesia sudah maju di berbagai bidang.
Kasus korupsi, pengangguran, kriminal, pembunuhan, kekerasan antarpelajar, hingga masalah terorisme terjadi, antara lain, karena kesalahan mendidik generasi muda. Siswa dijejali belasan mata pelajaran setiap pekan. Mereka dipaksa memahami semua yang diajarkan, sementara siswa sendiri tidak meminati itu. Mereka hanya mencintai satu atau dua mata pelajaran dari semua yang diajarkan.
”Dalam merdeka belajar, tidak ada pemaksaan kehendak dari guru dan sekolah terhadap siswa untuk mempelajari semua mata pelajaran di sekolah. Tidak ada lagi ujian nasional dan ujian nasional berbasis komputer. Anak tidak lagi dijejali belasan mata pelajaran sekolah. Pembelajaran itu diserahkan sepenuhnya kepada siswa sesuai minat, bakat, dan talenta siswa bersangkutan,” papar Tans.
Ia mengatakan, seorang siswa sangat hebat dalam pelajaran Matematika dan Fisika, tetapi saat ujian nasional, nilai Bahasa Inggris-nya anjlok sehingga dinyatakan tidak lulus ujian. Guru dan sekolah telah melanggar kemerdekaan belajar siswa bersangkutan. Ini kesalahan besar dalam dunia pendidikan, tetapi tidak pernah disadari selama puluhan tahun.
Tugas guru adalah mengarahkan apa yang menjadi minat dan bakat siswa bersangkutan. (Feliks Tans)
Tugas guru, lanjut Tans, adalah mengarahkan apa yang menjadi minat dan bakat siswa bersangkutan, bukan mengarahkan siswa sesuai keinginan guru dan orangtua. Dengan demikian, anak benar-benar senang, bahagia, dan merasa memiliki apa yang dipelajari untuk mencapai tujuan meski tujuan yang dicapai itu tidak sesuai keinginan orangtua atau guru.
Guru harus malu ketika mereka tidak mampu mengarahkan minat dan bakat siswa menuju sukses. Kegagalan guru terletak pada pemaksaan kehendak, lebih suka menyalahkan siswa, dan lebih suka memberi tahu sebuah materi, bukan mengajar agar siswa menjadi tahu.
”Pendidikan itu bukan memberi tahu siswa lalu selesai. Pendidikan juga bukan menyiapkan masa depan anak oleh guru, orangtua, dan lingkungan, tetapi pendidikan itu sendiri adalah kehidupan. Dalam kehidupan ada kemerdekaan belajar. Mengajar artinya orang yang kita ajari akan memahami, belajar kembali, dan melakukan apa yang telah disampaikan itu,” kata Tans.
Masih cukup banyak siswa sekolah dasar dan menengah di pedalaman NTT belum tahu baca, tulis, dan berhitung. Ini masih menjadi masalah bagi dunia pendidikan NTT. Guru sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk masalah ini.
”Kalau anak didik tidak tahu baca, tulis, dan menghitung, guru semestinya tidak merasa aman. Guru harus mencari solusi. Jika guru bersangkutan telah melakukan berbagai upaya, tetapi siswa tetap tidak paham, serahkan saja ke guru lain. Mungkin ada metode ajar yang lebih bagus lagi,” katanya.
Ada dua metode mengajarkan siswa agar mahir membaca. Ada siswa yang hanya bisa membaca dengan cara analitik, misalnya a + b + a menjadi aba, lalu bisa mengerti. Namun, ada pula siswa yang mampu membaca secara holistik, misalnya ”ini budi”, ”ini ibu budi”, dan ”ini bapak budi”.
Kemampuan membaca secara holistik kebanyakan dilakukan siswa yang sebelumnya pernah duduk di bangku usia dini (PAUD). Kemampuan membaca analitik atau fonetik dimiliki oleh siswa yang belum pernah duduk di bangku PAUD. Guru harus memiliki metode bagaimana cara mengajar dua kelompok siswa ini.
Menurut Tans, belajar yang sesungguhnya terjadi saat seluruh jiwa dan raga siswa bersangkutan diarahkan untuk mempelajari apa yang menjadi minat dan bakat siswa. ”Saat dipanggil makan oleh mamanya pun ia menjawab, ’Saya selesaikan dulu materi ini, Mama.’ Siswa benar-benar menekuni materi yang dipelajari secara mendalam dalam situasi apa pun. Ia bisa mengembangkan dan berkreasi sendiri materi itu di lapangan,” katanya.
Konsep belajar itu dimulai dari diri siswa sendiri. Jangan ada pemaksaan. Juga harus ada evaluasi diri untuk mengukur kemampuan diri, tetapi bukan melalui ujian nasional.
Sering guru begitu berambisi mendemonstrasikan sesuatu di depan siswa. Namun, siswa tidak berminat akan hal itu. Ini mubazir bagi siswa bersangkutan meski guru menganggap sudah menyelesaikan target materi yang harus disampaikan sesuai tenggat yang disiapkan.
Kepala Bidang Kebudayaan dan Seni Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Robby Ndun mengatakan, merdeka belajar dipahami sebagai kebebasan siswa mengembangkan potensi dan bakat serta memiliki kesempatan untuk terus belajar sesuai cara berpikir siswa.
Peran guru sebagai fasilitator pembelajaran yang aktif dalam mengawali keterampilan berpikir kritis, analisis, membandingkan, generalisasi, dan menyusun hipotesis. Adapun isu utama dalam merdeka belajar adalah literasi, numerasi, dan pendidikan karakter. Hal ini dicapai melalui pendekatan program dan kegiatan lapangan.
Guru SD Bokong, Kabupaten Kupang, Maria Buany, mengatakan, konsep merdeka belajar ini harus disosialisasikan kepada guru, orangtua siswa, siswa, dan lingkungan masyarakat, terutama di sekolah pedalaman. ”Jangan sampai merdeka belajar ini dipahami keliru oleh siswa sehingga menjadi tindakan sesuka siswa,” kata Buany.
Selain itu, di sekolah pedalaman, masih berlaku adagium lama, ”di ujung rotan ada emas”. Praktik ini masih berlangsung terhadap anak-anak yang dinilai bandel, malas, dan tidak mau mengikuti nasihat guru dan orangtua.
Tindakan penganiayaan seorang guru terhadap siswa di SMP Padang Panjang, Kecamatan Alor Timur, hingga siswa itu meninggal adalah akibat praktik terhadap adagium tersebut. Tindak kekerasan terhadap siswa di pedalaman masih berlangsung, tetapi tidak banyak terungkap karena guru, orangtua, dan lingkungan menganggap hal itu wajar, bagian dari proses pendidikan.