Gubernur Digelari Tokoh Toleransi, Sulut agar Perkuat Kerukunan Akar Rumput
Penobatan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey sebagai tokoh pluralis pembina kerukunan dan toleransi disebut menjadi kebanggaan. Namun, Sulut diingatkan untuk tidak hanya menampilkan toleransi simbolik.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Penghargaan bagi Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey sebagai tokoh pluralis pembina kerukunan dan toleransi menjadi kebanggaan pemerintah ataupun masyarakat Sulawesi Utara. Namun, pemerintah provinsi diingatkan untuk memperkuat toleransi di tingkat akar rumput, tidak hanya memamerkan toleransi simbolik.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sulut Steven Liow, dihubungi dari Manado, Rabu (24/11/2021), mengatakan, warga Sulut patut berbangga dan berbahagia karena memiliki kepala daerah yang mampu merajut dan mempertahankan kerukunan umat beragama. Hal itu telah diakui Kementerian Agama dalam bentuk penghargaan.
Pada penutupan Konferensi Nasional VI Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Minahasa Utara, Senin (22/11/2021), Olly dianugerahi gelar Tokoh Pluralis Pembina Kerukunan dan Toleransi Indonesia dari Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag. Penghargaan serupa juga diberikan Asosiasi FKUB Indonesia.
”Pak Gubernur ditetapkan sebagai Tokoh Pluralis Indonesia karena dedikasinya merajut kerukunan dan toleransi. Jadi, ada dua penghargaan yang diterima,” ujar Steven Liow.
Salah satu bukti komitmen Olly untuk menjaga kerukunan umat beragama ditunjukkan dengan menjadi tuan rumah Konferensi Nasional VI FKUB yang dihadiri 800-an orang. ”Inisiatif ini dinyatakan Pak Gubernur Olly dan Pak Wagub Steven Kandouw sejak Pekan Kerukunan Nasional 2018. Karena itu, FKUB memandatkan Sulut jadi tuan rumah,” kata Steven Liow.
Hal ini dibuktikan juga dengan pemeringkatan Manado dan Tomohon sebagai kota paling toleran ketiga dan keempat di Indonesia oleh Setara Insitute pada 2020. Melalui keterangan tertulis, Kepala PKUB Kemenag Nifasri pun mengapresiasi berbagai kebijakan Pemprov Sulut dalam memperkuat organisasi keagamaan.
Penanganan konflik berbasis agama juga cenderung cepat dengan melibatkan para tokoh agama. ”Tampak sinergi sehingga tantangan apa pun mudah diatasi. Hal ini juga didukung filosofi Pak Olly, torang samua ciptaan Tuhan,” katanya.
Nifasri menilai, Olly selalu memfasilitasi kegiatan keagamaan. Hal ini turut memperkuat kultur masyarakat Sulut yang sudah toleran. ”Sulut membawa pencerahan dalam menata kerukunan dan toleransi bagi umat beragama di Indonesia,” ujarnya.
Di bawah kepemimpinan Olly, Pemprov Sulut memberikan jaminan ketenagakerjaan kepada para pemuka berbagai agama. Pada 2018, misalnya, Sulut memecahkan rekor MURI dengan mengikutsertakan 35.000 pemuka agama dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Pada 2020, jumlah pemuka agama yang menjadi peserta bertambah lagi menjadi 117.233 orang.
Sekretaris Jenderal FKUB Pendeta Samuel Luas sepakat dengan penganugerahan gelar tokoh toleransi bagi Olly. ”Pak Olly membuat Sulut menjadi daerah paling toleran yang menghormati nilai-nilai kerukunan umat beragama,” katanya.
Di bawah kepemimpinan Olly, Pemprov Sulut memberikan jaminan ketenagakerjaan kepada para pemuka berbagai agama.
Sementara itu, Olly mengaku terkesan dengan penghargaan tersebut. Ia menyatakan akan terus menjaga kerukunan umat beragama di Sulut dengan menjadikan FKUB sebagai pemeran utama fungsi tersebut.
”FKUB sangat berperan menjaga dan mengawal NKRI menyeberangi jembatan emas menuju masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera. FKUB akan menjadi tonggak utama mendorong moderasi beragama di Indonesia,” kata Olly.
Di sisi lain, pengajar Sosiologi Agama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado, Taufani, menilai, toleransi di Sulut masih belum mengakar kuat di masyarakat. Hal itu ditunjukkan masih adanya berbagai konflik berbasis agama yang terjadi setidaknya sejak 2016. Ia menilai, masih ada ketakutan kelompok mayoritas terhadap pertumbuhan kelompok minoritas.
Beberapa contoh yang ia sebut adalah relokasi warga dan pedagang yang beragama Islam di Kampung Texas di Kecamatan Wenang, Manado, oleh organisasi masyarakat kebudayaan. Masjid yang dibangun di kampung itu pun mangkrak. Sementara itu, Graha Religi yang dibangun tak jauh dari sana belum berfungsi maksimal.
Pada 2018, pendakwah Bahar Bin Smith sempat dihadang massa yang memakai atribut kebudayaan dan agama di Bandara Sam Ratulangi Manado. Massa menolak kedatangannya. ”Saya pribadi juga tidak setuju dengan pandangan Bahar Bin Smith, tetapi dia adalah warga Indonesia yang boleh menginjakkan kaki di mana saja di NKRI. Kita sebenarnya bisa berdialog lintas agama secara manusiawi,” kata Taufani.
Pada awal 2020, sebuah mushala di Desa Tumaluntung, Minahasa Utara, juga dirusak oleh massa yang mengenakan atribut kebudayaan dan agama tertentu. Konflik itu diredam oleh beberapa pemuka agama dan masyarakat, termasuk Ketua FKUB Sulut Pendeta Lucky Rumopa.
Menurut Taufani, hal ini terjadi karena FKUB Sulut jarang memainkan peran-peran edukatif untuk menumbuhkan toleransi serta saling memahami antaragama dan budaya. FKUB hanya tampak ketika terjadi konflik.
Taufani juga mengkritik elitisme di dalam tubuh FKUB Sulut. Ia mencontohkan Ketua FKUB Sulut Lucky Rumopa yang adalah orang dekat Gubernur Olly. Menjelang Pilkada 2020, baliho yang menandakan niat Lucky mencalonkan diri sebagai wali kota Manado tersebar di sudut-sudut kota.
”Ini menandakan, FKUB, sorry to say, hanya menjadi batu loncatan atau kendaraan politik untuk menjadi populer dan mendapatkan proyek, karena FKUB, kan, dapat dana hibah dari pemerintah. Di samping itu, ada indikasi bahwa FKUB masih hanya menjadi sarana para elite berbagi kekuasaan,” ujar Taufani.
Untuk itu, Taufani mendorong FKUB lebih banyak turun langsung ke masyarakat mengembangkan pengetahuan lintas agama. Ia juga mendorong lebih banyak perwakilan aliran ataupun denominasi non-arus utama yang dilibatkan dalam FKUB.