Merayakan Kerukunan di Bukit Kasih
Jauh sebelum mengenal enam agama utama di Indonesia, orang Minahasa di Sulawesi Utara telah membuka diri untuk hidup berdampingan bersama para pendatang. Kini, keterbukaan sudah membudaya dan menjadi pengikat kerukunan antarumat beragama. Kelindan budaya dan agama ini dirayakan di Bukit Kasih.
Pada 1999, masyarakat Sulut melewati ujian terberat terhadap kerukunan beragama. Ketika Ambon, Maluku, diguncang konflik Kristen-Islam, Manado sebagai pusat peleburan budaya di Sulut tetap berdiri kokoh.
Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik pada 2001, komponen demografis Ambon dan Manado serupa. Jumlah penduduk Kristen di atas 60 persen dan Islam sekitar 30 persen. Apa rahasia Manado?
Dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia (2018), pengajar Studi Perdamaian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Samsu Rizal Panggabean, menyimpulkan, masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah berfokus pada kerukunan dan persaudaraan dalam menghadapi ancaman konflik keagamaan. Dialog yang digagas pemerintah ditanggapi positif oleh masyarakat. Manado pun kebal dari provokator konflik.
Namun, wawancara almarhum Rizal terhadap warga mengungkapkan, kebudayaan Minahasa seperti mapalus (gotong royong) dan keterbukaanlah yang disebut warga membentengi Manado dari perpecahan. Kebiasaan warga merayakan perbedaan, salah satunya dengan monumen, juga memiliki andil.
Bukit Kasih di Desa Kanonang, Kecamatan Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, adalah salah satu monumen yang menjadi acuan warga Manado. Di ketinggian bukit berdiri masing-masing satu rumah ibadah bagi umat Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Kini, bukit di kaki Gunung Soputan ini tak hanya jadi destinasi wisata religi, tetapi juga sarana mengapresiasi keberagaman di Tanah Minahasa. ”Bukit Kasih yang dibangun pemerintah provinsi pada 2002 merupakan simbol yang mencerminkan toleransi dan diharapkan memperkuat dan melanggengkan toleransi,” tulis Rizal. Berjarak 50 kilometer dari Manado, perjalanan ke Bukit Kasih hanya memakan waktu 1,5-2 jam. Letaknya tak jauh dari Tomohon, hanya 20 km atau 30 menit perjalanan dari pusat kota bunga itu.
Di pintu masuk, sebuah bukit dengan gradasi putih dan abuabu gelap disertai bercak hijau kekuningan menyambut pandangan dari gerbang Bukit Kasih. Hamparan pepohonan hijau di bukit yang lebih tinggi melatari pemandangan itu. Asap putih mengepul dari tebing di bawahnya. Sumber mata air panas bercampur belerang yang berwarna keruh abu-abu mengalir di bukit di kaki Gunung Soputan itu.
Sebuah tugu berdiri di depan pintu gerbang. Di puncak tugu terdapat patung burung merpati, sementara kutipan kitabkitab suci setiap agama dapat dibaca di batang tugu. Enam rumah ibadah tampak mungil nun jauh di puncak. Namun, rumah ibadah bukanlah satu-satunya pusat perhatian. Pada tembok tebing di bawahnya tampak ukiran dua wajah manusia.
Dua figur tersebut adalah Toar dan Lumimuut, sosok laki-laki dan perempuan pertama menurut legenda Minahasa. Kehadirannya di Bukit Kasih seakan menegaskan bahwa orang Minahasa tak akan tercerabut dari akar budayanya meski telah memeluk agama yang berasal dari luar Nusantara.
Tentunya tak cukup hanya menatap segala pesona itu dari bawah. Dua rangkaian tangga batu di sisi kiri dan kanan bukit akan mengantarkan ke puncak bukit, tempat keenam rumah ibadah berdiri. Perjalanan ke puncak merupakan sebuah tantangan. Ada lebih dari 1.000 anak tangga yang mesti ditaklukkan untuk melihat ikon kerukunan antarumat beragama di Minahasa.
Ketenangan batin
Hasil tak akan mengkhianati usaha gigih. Napas yang sedikit terengah untuk menggapai puncak terbayar lunas oleh eloknya kontur jajaran Gunung Empung dan Mahawu nun jauh di seberang.
Embusan angin yang menghapus peluh, kesejukan, dan keheningan bukit itu pas sebagai tempat menarik diri menuju ketenangan batin di rumah ibadah. Pintu kayu keenam rumah ibadah terbuka bagi siapa saja yang ingin datang sebelum matahari tenggelam. Meski ukurannya serupa, setiap tempat ibadah berciri khas. Di gereja Katolik tampak gambar Yesus dan Bunda Maria di altar. Gereja Kristen memiliki salib tanpa tubuh Yesus. Di wihara, patung Buddha didampingi bendera biru, kuning, oranye, dan putih di atasnya. Mushala tampak khas dengan bentuk jendela melengkung.
Sanggah-sanggah di pura untuk meletakkan sajen di pura dihiasi kain kuning. Sementara kelenteng terlihat khas dengan arsitektur China didominasi warna merah dan kuning. Sayangnya, Pemprov lebih bisa membangun ketimbang merawat. Plafon rontok, atap mushala patah, dan pintu salah satu rumah ibadah terlepas. Padahal, setiap pengunjung dikenai tiket masuk Rp 10.000.
Meski begitu, Bukit Kasih tetaplah pralambang kerukunan antarumat beragama di Sulut, terutama di wilayah yang mayoritas penduduknya etnis Minahasa. Keberadaan ukiran wajah Toar dan Lumimuut di bukit itu juga menegaskan, budaya Minahasa turut berperan menjaga kerukunan.
Sejarawan Universitas Sam Ratulangi, Ivan Kaunang, dalam bukunya Minahasa: Epistem Kebudayaan (2015) menyatakan, kehidupan antarumat beragama dapat tercerai-berai tanpa unsur-unsur yang mengikat, yakni budaya. Budaya lokal memiliki kearifan yang dipraktikkan selama berabad-abad.
Ivan mengatakan, sebelum kolonialisme Barat masuk, tou (orang) Minahasa telah hidup dalam sembilan wilayah pemerintahan (walak) dalam tiga kesatuan adat dan bahasa (pakasaan). Namun, selalu ada ruang penerimaan bagi pendatang dari China dan Arab. ”Kata ’minahasa’ atau ’minaesa’ pun jadi bermakna (kesatuan yang) majemuk, multikultural,” tulis Ivan
Berbagai ungkapan tou (orang) Minahasa juga mengajarkan sikap saling menghargai. Misalnya, se tou peleng masuat maputewaya (semua manusia pada dasarnya sama, setara, dan sederajat).
Nilai-nilai ini mendorong tumbuhnya politik penerimaan. Terciptalah relasi saling menghargai antaretnis Minahasa sebagai mayoritas terhadap kelompok pendatang sebagai minoritas. Kerukunan dalam multikulturalisme bukanlah sekadar jargon di Tanah Minahasa. Tak diragukan lagi, memang torang samua basudara.