Bumi Revolusi Mental di Minahasa Utara Jangan Sekadar Simbolik
Cendekiawan Sulawesi Utara berharap penetapan Minahasa Utara sebagai Kabupaten Bumi Revolusi Mental pertama di Indonesia, ditandai dengan rencana pembangunan monumen, tidak sekadar simbolik. Harus ada program konkret.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Cendekiawan Sulawesi Utara berharap penetapan Minahasa Utara sebagai Kabupaten Bumi Revolusi Mental pertama di Indonesia, ditandai dengan rencana pembangunan monumen, tidak sekadar simbolik. Pemerintah harus serius menyusun program-program konkret, seperti penyempurnaan kurikulum pendidikan dan membuka ruang dialog lintas agama di tingkat akar rumput.
Dihubungi dari Manado, Sulawesi Utara, Senin (22/11/2021), budayawan sekaligus pengajar Ilmu Sejarah Universitas Sam Ratulangi, Ivan Kaunang, menyebut program revolusi mental, sebelum menjadi bagian dari program pembangunan Presiden Joko Widodo pada 2014, sebenarnya sudah diwacanakan sejak 2012. Baru sembilan tahun kemudian narasi itu diejawantaahkan secara masif.
Minahasa Utara dicanangkan sebagai Kabupaten Bumi Revolusi Mental, Rabu (17/11/2021), menyusul penetapannya pada Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni lalu. Bupati Minahasa Utara Joune Ganda mengatakan, tujuannya adalah mengubah cara pandang, pikir, sikap dan perilaku masyarakat agar berorientasi pada kemajuan di masa modern.
”Revolusi mental adalah sebuah gerakan untuk membangun jiwa yang merdeka dan jiwa yang toleran antarumat. Dengan begitu, Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar, bangsa yang majemuk, dan mampu berkompetisi di segala aspek dengan bangsa-bangsa lain menuju Indonesia Emas 2045,” tutur Joune.
Menurut Ivan, upaya ini sudah dimulai dengan penetapan Minahasa Utara sebagai destinasi superprioritas pariwisata dengan status kawasan ekonomi khusus (KEK). ”Pencanangan sebagai Bumi Revolusi Mental ini saya anggap sebagai bagian dari usaha membangun budaya positif dalam rangka pembangunan,” katanya.
Pembangunan monumen yang mencerminkan euforia, kata Ivan, bukanlah hal yang buruk jika bertujuan membangun semangat perubahan. Namun, pemerintah harus lebih berfokus pada hal-hal konkret yang lebih mendesak, seperti memasukkan bidang studi Sejarah dan Arkeologi dalam kurikulum sekolah menengah.
”Seiring perkembangan zaman, generasi muda kita di Minahasa, misalnya, tercerabut dari akar kebudayaan dan kehilangan jati diri. Mereka maju dalam bidang seperti desain grafis, perfilman, dan ekonomi kreatif, tetapi tidak mewarisi nilai-nilai luhur dan kearifan lokal dari masa lampau,” tutur Ivan.
Ia juga berharap adanya lebih banyak pendanaan untuk riset arkeologi, sejarah, dan kebudayaan di perguruan tinggi. ”Nilai-nilai luhur dari pendahulu kita adalah modal pembangunan ke depan. Jika dibekali pengetahuan itu, revolusi mental bisa terwujud. Generasi masa depan pun akan lebih berintegritas,” ujarnya.
Pemkab Minahasa Utara telah melaksanakan beberapa upaya untuk mendorong perubahan mental, seperti lomba kebersihan dan kedisiplinan di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan. Pemkab juga menerbitkan surat edaran untuk meningkatkan budaya gotong royong bagi para petani dan peternak.
Joune mengatakan, pihaknya telah membentuk gugus tugas revolusi mental dari tingkat kecamatan hingga desa untuk mengubah etos dan perilaku kerja. Tujuannya adalah menciptakan integritas pelayan publik. Pengadaan fasilitas pelayanan publik pun telah dilaksanakan secara elektronik demi mencegah korupsi.
Toleransi
Pencanangan Minahasa Utara sebagai Kabupaten Bumi Revolusi Mental dilaksanakan bersamaan dengan pergelaran Konferensi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ke-6 se-Indonesia dan Pekan Kerukunan Internasional. Joune mengatakan, peran tokoh agama dan pemerintah sangatlah populer di Sulut untuk mencegaah perpecahan.
”Kerukunan antarumat beragama tidak muncul secara tiba-tiba. Ini adalah hasil dari kesadaran bersama bahwa perpecahan dan egoisme golongan akan membawa kehancuran bagi kita sekalian. BKSUA (Badan Kerja Sama Antarumat Beragama) dan FKUB tetap eksis sampai hari ini dalam mengawal kerukunan beragama di Sulut,” papar Joune.
Menurut pengajar Sosiologi Agama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado, Taufani, keberhasilan revolusi mental diukur, salah satunya, oleh kemampuan bangsa Indonesia merayakan kebinekaan. Di Sulut, hal itu disimbolkan dalam bentuk monumen, seperti Tugu Lilin dan Graha Religi di Manado serta Bukit Kasih di Minahasa.
Namun, Taufani menilai, Sulut banyak membangun monumen yang sifatnya hanya kosmetik, tetapi tidak fungsional. Justru banyak daerah yang mengomodifikasi isu-isu kerukunan agama untuk membangun brand kota. Ia pun skeptis dengan penetapan Minahasa Utara sebagai Kabupaten Bumi Revolusi Mental pertama di Indonesia.
Masih ada ketakutan dari kelompok tertentu terhadap perkembangan kelompok minoritas.
”Kalau Minahasa Utara mau dijadikan percontohan, data berbicara, awal 2020 ada kelompok yang merusak mushala di Desa Tumaluntung. Hal ini menunjukkan toleransi di Sulut dan Minahasa Utara masih belum berakar. Masih ada ketakutan dari kelompok tertentu terhadap perkembangan kelompok minoritas,” ucapnya.
Menurut Taufani, revolusi mental tidak dapat terlaksana jika FKUB baru menjalankan fungsinya ketika ada konflik. ”FKUB justru jarang memainkan fungsi-fungsi pendidikan lintas agama, multikulturalisme, dan kebinekaan di masyarakat,” ujarnya.
Agar revolusi mental dalam bentuk kemampuan saling menghargai dan bertoleransi bisa terealisasi hingga ke tingkat akar rumput, Taufani mendorong FKUB merombak diri dan mengurangi elitisme di dalam organisasinya. FKUB seharusnya lebih banyak direpresentasikan pemuka agama dari kalangan masyarakat.
Contohnya, FKUB Sulut dipimpin oleh Pendeta Lucky Rumopa, seorang yang dekat dengan Gubernur Olly Dondokambey. Jelang Pilkada 2020, baliho bergambar wajah Lucky bertebaran, menandakan intensinya mencalonkan diri sebagai wali kota Manado. ”FKUB masih hanya menjadi batu loncatan sekaligus sarana berbagi kekuasaan para elite,” kata Taufani.
Ia juga mendorong FKUB untuk mengakomodasi kelompok agama non-arus utama. Dengan begitu, perwakilan dari aliran atau denominasi minoritas bisa membangun pemahaman umat ataupun pemuka agama lainnya. Risiko konflik antaragama pun bisa ditekan.