Tambangan, Warisan Budaya Transportasi yang Terpinggirkan
Keberadaan tambangan bukti kecanggihan teknologi transportasi air pada masa lampau. Warisan itu layak dijaga dan diperhatikan sebagai bekal membangun peradaban pada masa kini dan nanti.
Tambangan (perahu penyeberangan) merupakan warisan peradaban berusia ratusan tahun bahkan mungkin ribuan tahun yang tetap menjadi nadi transportasi di zaman kekinian. Namun, meski telah berperan signifikan dalam melayani aktivitas masyarakat, membangun konektivitas, dan menjembatani kegiatan ekonomi, keberadaan angkutan penyeberangan sungai ini kurang mendapat perhatian.
Terbaliknya tambangan di Sungai Bengawan Solo, Desa Ngadirejo, Rengel, Tuban, Jawa Timur, yang menewaskan lima penumpang dan empat orang lainnya itu belum ditemukan, pada Rabu (3/11/2021), mengundang keprihatinan. Namun, keprihatinan itu harus ditindaklanjuti dengan kebijakan untuk mencegah tragedi terulang kembali. Setidaknya meminimalkan jatuhnya korban.
Insiden di Tuban mengungkap banyak fakta yang layak mendapat sorotan. Salah satunya, ketiadaan manifes atau daftar penumpang perahu sehingga menyulitkan proses identifikasi korban. Selain itu, minimnya alat keselamatan yang ditandai tidak adanya penumpang yang mengenakan jaket pelampung (life jacket).
Masih soal keselamatan, saat berada di atas perahu, para penumpang tidak turun dari kendaraannya. Mereka tetap berada di atas sepeda motornya, bahkan dalam posisi berboncengan. Hal itu bertentangan dengan ketentuan keselamatan dalam angkutan penyeberangan sungai dan danau yang mengharuskan penumpang turun dari kendaraannya.
Ironisnya, temuan fakta-fakta itu mayoritas sama dengan kejadian kecelakaan sebelum-sebelumnya. Sebagai contoh, pada 2 Mei 2011, perahu berpenumpang 30-an orang tenggelam saat menyeberang dari Desa Padang, Kecamatan Trucuk, menuju Desa Sukoharjo, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro.
Banyak syarat keselamatan dan keamanan yang harus dipenuhi, seperti kelaikan kapal.
Arsip Kompas, 5 Mei 2011, menyatakan bahwa saat kejadian, perahu diisi 30-an penumpang, 5 sepeda motor, dan 12 sepeda. Air sungai hampir menyentuh bibir perahu. Saat tali tambatan dilepas dan perahu mulai berjalan, sebatang kayu randu yang terhanyut membentur perahu dengan keras. Perahu terbalik dan semua penumpangnya tercebur.
Perkiraan jumlah penumpang menunjukkan ketidakpastian data karena ketiadaan manifes. Saat kejadian juga tidak ada penumpang yang mengenakan alat keselamatan. Hal itu menunjukkan, kondisi perahu penyeberangan di Sungai Bengawan Solo tak berbenah selama 10 tahun belakangan.
Tidak berpaling
Di tengah standar keselamatan dan keamanan yang minim, penduduk yang tinggal di kawasan tepian Sungai Bengawan Solo tetap menjadikan tambangan sebagai tulang punggung transportasi sehari-hari. Mereka tak berpaling meski kecelakan telah merenggut nyawa para penumpangnya.
Alasannya, tambangan menawarkan cara paling cepat untuk menjalankan aktivitas keseharian, seperti bekerja, berbelanja, bersekolah, bahkan mempererat kohesi sosial dalam keluarga. Perjalanan menyeberang Bengawan Solo normalnya hanya butuh waktu 15 menit. Jika melalui darat, perjalanan butuh waktu lama. Di Desa Ngadirejo, misalnya, warga harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk menuju Kecamatan Kanor, Bojonegoro.
Sungai Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Jawa dengan hulu sungai di daerah Pegunungan Sewu, Wonogiri, Jawa Tengah, dan Kabupaten Ponorogo, Jatim. Sungai yang berhilir di Kabupaten Gresik ini memiliki panjang 548,53 kilometer (km) dan mengalir di 17 kabupaten/kota di Provinsi Jatim serta Jateng.
Baca juga : Cerita dari Situ Rawa Besar
Di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo dan anak sungainya terdapat banyak perahu yang menopang aktivitas masyarakat di berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan ekonomi. Selain itu, perahu penyeberangan juga banyak dijumpai di Sungai Brantas, sungai terpanjang di Jatim dan anak sungainya, yakni Sungai Kalimas dan Porong.
Kepala Seksi Transportasi Sungai Danau Penyeberangan Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) XI Jatim Ahmad Rezy Setiawan mengatakan, pihaknya tak memiliki data mengenai jumlah perahu yang beroperasi di Bengawan Solo, Sungai Brantas, dan anak sungainya. Namun, dia memperkirakan jumlahnya mencapai ratusan.
Saat ini, pihaknya sedang mendata jumlah perahu yang beroperasi di 38 kabupaten dan kota di Jatim. Pendataan meliputi semua perahu yang beroperasi di sungai dan danau atau waduk yang diperkirakan sekitar 800 unit. Dari hasil pendataan sementara di Pacitan, misalnya, terdapat 120 unit perahu yang beroperasi di sungai dan danau.
Rezy mengakui kondisi angkutan penyeberangan sungai di Jatim saat ini masih jauh dari standar keselamatan dan keamanan, minimal seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 61 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sungai dan Danau. Hal itu menjadi tantangan yang tidak ringan untuk menyosialisasikannya kepada masyarakat pengguna ataupun pengelola angkutan.
”Banyak syarat keselamatan dan keamanan yang harus dipenuhi, seperti kelaikan kapal. Alur dan pelintasan penyeberangan juga harus diperhatikan. Selain itu ada syarat tentang sarana dan prasarana, seperti dermaga serta nakhoda harus tersertifikasi,” ujar Rezy, Selasa (9/11/2021).
Baca juga : Empat Penumpang Perahu Terbalik Berhasil Ditemukan, Lima Lainnya Terus Dicari
Kepala Dishub Jatim Nyono mengatakan, lintasan penyeberangan di Desa Ngadirejo, Rengel, Tuban, menuju Kecamatan Kanor, Bojonegoro, tidak berizin. Bahkan, menurut dia, seluruh lintasan penyeberangan sungai di Jatim tidak berizin atau liar. Dengan kata lain, pengoperasian perahu tambangan adalah ilegal.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa juga mengakui jika layanan penyeberangan sungai dan danau di wilayahnya butuh perhatian segera karena banyak diakses oleh masyarakat untuk mempercepat perjalanan. Oleh karena itu, dia minta regulasinya segera disusun agar bisa diimplementasikan di lapangan untuk melindungi masyarakat.
Banyaknya instansi yang menangani seharusnya bisa mempercepat pekerjaan. Sertifikasi nakhoda dan kelaikan armada, misalnya, merupakan kewenangan Kementerian Perhubungan. Pengurusan trayek antarkabupaten dan kota menjadi kewenangan Dinas Perhubungan Provinsi Jatim, sedangkan izin trayek di internal kabupaten menjadi kewenangan pemda.
”Mengingat transportasi sungai di Jatim sifatnya penyeberangan jarak pendek dan tidak komersial, semua regulasinya harus dijamin gratis dan cepat,” kata Khofifah.
Rekam sejarah
Bagi warga tepian sungai, menambang atau menaiki perahu tambangan merupakan kebiasaan lama, warisan nenek moyang sejak berabad-abad silam. Rekam jejaknya antara lain ditemukan pada Prasasti Telang I dan II (825 Saka), Prasasti Canggu, dan Prasasti Kamalagyan.
Prasasti Telang yang ditemukan Wonogiri, Jateng, ditulis atas perintah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu (899-911 Masehi). Prasasti ini berisi, antara lain, penetapan wanua (desa) Mahe, Tlang, dan Paparahuan sebagai perdikan (swatantra, sima) berkenaan dengan penyeberangan sungai.
Pembangunan kompleks penyeberangan di Paparahuan adalah untuk memenuhi nazar raja yang memerintah sebelumnya, Haji Dewata Sang Lumah ing Satasrengga. Rakai Wlar pu Sudarsana ditunjuk sebagai pelaksana pembangunan. Tempat itu dilengkapi tambatan perahu, tempat penjagaan, dua buah perahu, dan dua perahu cadangan.
Keberadaan tempat penjagaan menggambarkan kesiagaan terhadap kejadian buruk, seperti kecelakaan penyeberangan. Petugas penyeberangan pada masa itu sangat dihormati dan mendapat imbalan berupa emas atas jasanya menyeberangkan orang secara gratis.
Sementara itu, kata tambangan, merujuk pada tambang atau tali besar dan panjang yang digunakan untuk menjalankan perahu. Tali itu direntangkan antarseberang sebagai tautan bagi jalannya perahu ketika memotong aliran sungai agar tidak hanyut. Beberapa perahu masih bertahan dengan tali atau tambang, sebagian lain memodifikasi dengan kawat sling. Ada juga yang menggunakan mesin tempel, dan galah, atau bambu panjang.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Agni Sesaria Mochtar, mengatakan, tambangan merupakan salah satu jejak peradaban budaya Nusantara yang masih relevan hingga sekarang. Berdasarkan sejumlah data arkeologi, Sungai Brantas menjadi jalur transportasi utama pada abad XI-XX yang menghubungkan masyarakat di pedalaman dengan warga pesisir.
Pernyataan itu disampaikan Agni dalam webinar Jejak Pelabuhan Kuno di Daerah Aliran Sungai Brantas yang diselenggarakan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Sabtu (5/6/2021). Prasasti Canggu (1358 M) yang ditulis atas perintah Raja Majapahit Hayam Wuruk (Rajasanegara) menyebutkan tentang desa-desa tempat penyeberangan sungai.
Setidaknya terdapat 44 thani (desa) pada aliran Bengawan Solo dan 34 thani pada aliran Bengawan Brantas beserta anak sungainya ditetapkan sebagai desa perdikan. Deretan desa di sepanjang dua bengawan yang disebut naditirapradesa mendapat status istimewa sebagai sima atau swatantra berkat jasanya dalam melayani penyeberangan sungai (penambangan).
”Hal itu menunjukkan pemerintah Majapahit memberikan perhatian serius terhadap sarana dan prasarana transportasi sungai,” kata Agni.
Keberadaan tambangan pada masa kini menjadi bukti kecanggihan teknologi transportasi air pada masa lampau. Warisan itu sudah selayaknya dijaga dan diperhatikan sebagai bekal membangun peradaban pada masa kini dan nanti.
Lihat juga : Jasa Perahu Tambang di Kota Surabaya