Banjir Citarum Masih Terjadi, Warga Baleendah Tidur di Atap
Untuk mengantisipasi banjir datang pada malam dan dini hari, sejumlah warga Baleendah di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, memilih tidur di ruang antara langit-langit dan atap rumah. Banjir surut, tetapi masih mengancam.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Sejumlah warga di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, memilih tidur di para atau ruang antara langit-langit dan atap rumah untuk mengantisipasi banjir pada malam dan dini hari. Banjir akibat luapan Citarum hingga kini masih mengintai karena musim hujan diprediksi berlangsung hingga awal tahun depan.
Dedeh Tarlia (48), warga Kampung Cigosol, Kecamatan Baleendah, mengatakan, dalam dua pekan terakhir hujan di kawasan Bandung selatan itu cenderung turun pada sore dan malam. Akibatnya, banjir mulai menggenangi permukiman warga ketika malam dan dini hari.
”Meskipun banjir surut, lebih baik tidur di para agar lebih aman. Kalau tidur di bawah, pasti akan panik saat banjir datang malam hari,” ujarnya saat ditemui di rumahnya, Rabu (17/11/2021).
Para di rumah Dedeh dibuat dengan menjebol sudut langit-langit rumah berbahan kayu. Jarak tertinggi antara langit-langit dan atap sekitar 1,5 meter.
Rumahnya berjarak kurang dari 2 meter dari tanggul Sungai Cisangkuy, anak Sungai Citarum. Saat dilanda banjir, ia bersama suami dan dua anaknya sulit keluar melalui pintu utama karena tertahan dorongan air banjir.
Sejak awal November, Dedeh dan keluarganya menempatkan sejumlah barang, seperti kasur, televisi, dan pakaian di para. Pada bagian sampingnya dibuat jendela dan pintu darurat sebagai jalur evakuasi saat banjir meninggi.
”Tempatnya sempit. Kalau siang, udara di dalam panas. Memang tidak nyaman, tetapi tidak ada cara lain agar bisa bertahan saat banjir datang,” ujarnya.
Dinding beberapa rumah jebol. Atapnya juga roboh karena penyangganya lapuk akibat direndam banjir setiap musim hujan. Sementara isi rumah dipenuhi endapan lumpur dan sampah yang terbawa banjir
Menurut Dedeh, banjir pada musim hujan akhir tahun ini tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai 3 meter. Sejak delapan bulan terakhir, tanggul setinggi 1,5 meter dibangun di Cisangkuy untuk menahan luapan ke permukiman warga.
Selain itu, pemerintah juga sudah mengoperasikan floodway atau sodetan Cisangkuy yang berfungsi mengalihkan aliran sungai langsung ke Citarum. Dengan demikian, debit air yang mengalir ke Baleendah dan sekitarnya jauh berkurang.
Akan tetapi, saat hujan lebat, banjir masih terjadi karena permukaan sungai lebih tinggi daripada rumah warga. ”Banjir sudah berkurang. Namun, belum sepenuhnya tuntas karena air masih menggenang sebelum masuk ke sungai,” ujarnya.
Para juga dimanfaatkan Yadi (52) sebagai tempat evakuasi sementara. Ia menggunakan puluhan lembar papan untuk membuat loteng di atas ruang tamunya.
Rumahnya berjarak sekitar 30 meter dari pertemuan Sungai Cisangkuy dan Citarum. Saat musim hujan dua tahun lalu, banjir di sana lebih dari 2 meter.
”Sekarang lebih mendingan. Selama November ini banjir hanya sekitar 1 meter. Namun, saat ini belum masuk puncak musim hujan. Semoga nanti tidak parah,” ujarnya.
Dadan (54), warga Baleendah, menuturkan, banjir di kawasan itu terjadi sejak 1980-an. Akibatnya, puluhan rumah rusak dan ditinggal pemiliknya.
Dinding beberapa rumah jebol. Atapnya juga roboh karena penyangganya lapuk akibat direndam banjir setiap musim hujan. Sementara isi rumah dipenuhi endapan lumpur dan sampah yang terbawa banjir.
”Sebagian pemiliknya mengontrak. Ada juga yang tinggal di rumah susun. Beberapa berniat menjual rumahnya, tetapi tidak laku,” ujarnya.
Wakil Gubernur Jabar Uu Ruzhanul Ulum mengimbau masyarakat lebih waspada di musim hujan yang cukup ekstrem saat ini. Ia meminta masyarakat di kawasan sempadan sungai untuk lebih berhati-hati menghadapi potensi banjir.
”Kalau bisa mengungsi dulu jika terjadi hujan besar karena takut tiba-tiba air bah datang ataupun longsor yang ada di tepi (tebing),” katanya.