Adaptif dengan Ragam Cara Alternatif
Hidup manusia di kawasan rawan bencana tak pernah mudah. Bertahan dan pindah sama sulitnya. Di Jawa Barat, adaptasi warga menjadi kunci untuk memitigasi dampaknya.
Hidup manusia di kawasan rawan bencana tak pernah mudah. Bertahan dan pindah sama sulitnya. Di Jawa Barat, adaptasi warga menjadi kunci untuk memitigasi dampaknya.
Reina Ayulia (28) mempunyai ”amunisi” baru menghadapi musim hujan akhir tahun ini. Tabung berbahan stainless steel setinggi 65 sentimeter berdiri kokoh di samping rumahnya di Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (12/11/2020).
Perangkat itu bernama ombrometer. Sudah 1,5 bulan ia menggunakannya untuk mencatat data curah hujan. Ombrometer terdiri dari tiga bagian. Corong penakar berdiameter 11 sentimeter, tempat penampung air hujan berdiameter 17 cm, dan keran di bagian bawahnya untuk mengeluarkan air.
”Cara kerjanya sederhana. Jika turun hujan, esok paginya, keran dibuka dan air ditampung memakai gelas ukur,” ujarnya.
Data itu lantas dicatat dan dikirimkan melalui aplikasi KoBoToolbox. Organisasi nirlaba Save the Children Indonesia kemudian menghimpunnya sebagai informasi cuaca iklim berbasis warga dan sekolah.
”Ombrometer memang tidak bisa mencegah bencana. Namun, data curah hujan dapat memberi gambaran potensi bahaya. Tujuannya, agar warga lebih siap,” ujarnya.
Baca Juga : Sadar Bencana di Cekungan Bandung
Reina bukan spesialis cuaca. Profesinya pendamping pendidikan dari Save the Children Indonesia di SD Negeri 3 Cibodas. Namun, karena kegiatan belajar di sekolah ditiadakan saat pandemi Covid-19, ombrometer itu ditempatkan di rumahnya.
Keterlibatan Reina mendorong partisipasi warga menjadi modal penting hidup di tanah bencana. Semuanya diharapkan menjadi bentuk edukasi mengenal kerentanan bencana. Di Lembang, hujan deras sangat rentan memicu bencana hidrometeorologis, seperti banjir dan longsor.
”Saat curah hujan di atas 50 milimeter, misalnya. Warga sudah seharusnya waspada. Apalagi, jika terjadi dalam dua-tiga hari beruntun,” katanya.
Tanpa data itu, warga rentan gagap menghadapi bencana. Juli lalu, tebing setinggi 3 meter di samping SD Negeri 3 Cibodas longsor. Tidak ada kerusakan berarti. Namun, tanah di tebing semakin terkikis sehingga mengancam bangunan sekolah.
”Saat itu, hujan cukup lebat. Namun, belum ada alat untuk mengukur curah hujan. Jadi, potensi ancaman bencana tidak diketahui,” ujarnya.
Selain di Bandung Barat, ombrometer juga dipasang di sejumlah desa di Kabupaten Bandung dan Tasikmalaya. Disaster Risk Reduction Advisor di Save the Children Indonesia Fredy Chandra mengatakan, partisipasi warga mengumpulkan data cuaca penting untuk mengenali potensi bencana. Setelah muncul, partisipasi warga bisa dijadikan modal untuk membangun ketangguhan komunitas.
”Semakin banyak orang terlibat, semakin baik untuk kesiapsiagaan. Namun, jika hanya sedikit orang yang menyadarinya, risikonya justru kian besar,” ujarnya.
Partisipasi warga mengumpulkan data cuaca penting untuk mengenali potensi bencana. Setelah muncul, partisipasi warga bisa dijadikan modal untuk membangun ketangguhan komunitas.
Berjarak 30 kilometer dari Cibodas, sebagian warga di Baleendah, Kabupaten Bandung, juga beradaptasi dengan banjir tahunan. Salah satu kekhasannya, memanfaatkan para, ruang antara langit-langit dan atap rumah, sebagai tempat evakuasi sementara. Tak jarang, ada warga yang tinggal lama di sana karena enggan terdampak banjir yang kerap datang tak terduga.
Yudi Cahyadi (52), misalnya, sejak 1,5 tahun lalu, berlindung setiap musim hujan datang. Puluhan lembar papan bekas dibentangkan untuk membuat loteng di atas ruang tamunya.
Sebelum punya loteng, Yudi dan keluarganya mengungsi ke rumah kerabat di Jelekong yang berjarak sekitar 7 kilometer dari rumahnya. Setelah naik perahu 5-10 menit, mereka melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan umum.
Yudi pernah ingin pindah ke tempat lebih baik. Tidak ada yang mau hidup selalu kebanjiran. Namun, keterbatasan dana membuat dia mengubur keinginannya. Penghasilan sebagai tukang parkir hanya cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Hal ini menjadi rutinitas saat musim hujan selama lebih dari 20 tahun. Rumahnya hanya berjarak 20 meter dari pertemuan Sungai Citarum dan Cisangkuy. Saat puncak musim hujan, ketinggian banjir di rumahnya bisa mencapai 3 meter.
Yudi pernah ingin pindah ke tempat lebih baik. Tidak ada yang mau hidup selalu kebanjiran. Namun, keterbatasan dana membuat dia mengubur keinginannya. Penghasilan sebagai tukang parkir hanya cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
”Bertahan menjadi satu-satunya pilihan. Namun, perlu menyesuaikan diri untuk mengurangi risikonya,” ujar bapak dua anak itu.
Ia menyadari, tinggal di loteng saat banjir tidak sepenuhnya aman. Tersengat listrik, digigit tikus, hingga para yang bisa tiba-tiba ambruk jelas bukan hal sepele. Oleh sebab itu, loteng dilengkapi jendela berukuran 40 x 50 cm di bagian samping. Selain untuk sirkulasi udara, jendela juga berfungsi sebagai pintu darurat.
Baca Juga : Kearifan Lokal Tumbuhkan Kesadaran Mitigasi Bencana
DJ Hidayat (57), warga Baleendah lainnya, juga tak ingin diam meratapi nasib. Sejak 2017, ia mengandalkan kemajuan teknologi untuk menghadapi bencana. Dia berbagi informasi melalui grup Whatsapp dengan warga yang tinggal di daerah aliran Sungai Citarum, Cisangkuy, dan Cikapundung.
Ketiga sungai itu melintasi Baleendah dan sekitarnya. Jadi, meskipun cuaca terik, Baleendah tetap bisa banjir jika kawasan hulu ketiga sungai itu diguyur hujan lebat beberapa jam.
”Berbagi informasi sangat penting agar lebih waspada. Butuh 3-3,5 jam untuk banjir sampai di sini. Dengan begitu, warga punya waktu mengevakuasi diri dan barang-barang ke lantai dua atau mengungsi,” ujar Hidayat, yang membuat rumahnya menjadi model panggung untuk menghindari rendaman air banjir.
Kemajuan teknologi juga dimanfaatkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk menyampaikan prakiraan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Data tentang itu dapat diakses lewat aplikasi Info BMKG.
”Kami merilis peringatan dini cuaca lewat Whatsapp dan diteruskan kepada petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah serta sukarelawan sampai ke tingkat desa,” ujar Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Bogor Hadi Saputra.
Hadi berharap, warga memanfaatkan data cuaca dan informasi peringatan dini tersebut untuk lebih siap menghadapi bencana. Puncak musim hujan di sebagian besar wilayah Jabar diperkirakan pada Januari-Februari 2021.
Kepala Pelaksana BPBD Jabar Dani Ramdan mengingatkan warga di kawasan rawan bencana untuk bersiap menghadapi peningkatkan curah hujan akibat La Nina. Warga diminta menyiapkan alat evakuasi mandiri, seperti perahu, rakit, dan pelampung.
Menurut Dani, masyarakat di kawasan risiko tinggi bencana seperti banjir sebaiknya direlokasi. Namun, ada berbagai alasan warga tidak mau pindah. ”Oleh sebab itu, mereka harus beradaptasi dengan potensi ancaman di sekitarnya, di antaranya menyesuaikan struktur bangunan hingga membuat papan pengukur ketinggian banjir untuk memudahkan evakuasi,” ujarnya.
Anomali cuaca La Nina membuat ancaman bencana pada musim hujan tahun ini meningkat. Namun, risikonya bisa dikurangi. Caranya, selalu adaptif dengan beragam cara alternatif.
Baca Juga : Panggilan Hidup DJ Hidayat di Tanah Bencana