Aksi Damai Menolak Tambang ”Pulau Emas” Sangihe di Kementerian ESDM
Warga Sangihe, Sulawesi Utara, merayakan Hari Pahlawan dengan aksi damai menolak penambangan emas di Pulau Sangihe.
Oleh
FRANSISKUS WISHNU WARDHANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga dari Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, dan mereka yang menetap di Jabodetabek satu suara menolak penambangan emas oleh PT Tambang Mas Sangihe. Mereka tak ingin alam dan kehidupan warga 80 desa di 7 kecamatan rusak akibat penambangan yang mencakup setengah luas Pulau Sangihe.
Aksi damai penolakan tambang yang bertepatan dengan Hari Pahlawan itu berlangsung di depan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (10/11/2021).
Puluhan peserta aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Nusa Utara menolak PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Sebagian mengenakan pakaian hitam bertuliskan ”Tolak PT TMS” dan ”Pulau Sangihe kecil eksotik tidak untuk ditambang” dengan pita putih.
Sebagian lagi mengenakan pakaian adat suku Sangihe Talaud. Mereka turut membawa spanduk menolak tambang, alat musik bambu, dan satu mobil komando.
Irama dari tabuhan dan petikan alat musik mengiringi aksi damai itu. Mereka membentangkan spanduk-spanduk. ”Cabut, cabut, cabut TMS. Cabut izinnya,” ucap peserta aksi serempak. Dalam aksi damai itu, mereka juga melantunkan lagu ”Oh Sangihe” dan ”Sangihe Ikakendage” serta tarian.
Tambang merusak
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Kampung Bowone dan Binebas di Kabupaten Kepulauan Sangihe sebagai lokasi penambangan emas perusahaan Kanada-Indonesia, PT TMS.
Luas wilayah izin usaha pertambangan khusus (IUPK) mencapai 42.000 hektar atau 57 persen luas Pulau Sangihe. Cakupanya hampir seluruh paruh selatan pulau. Kampung Bowone dan Binebas menjadi lokasi situs tambang emas pertama dengan luas 65,48 hektar (Kompas, 7 September 2021).
Jull Takaliuang dari Save Sangihe Island, koalisi lembaga masyarakat sipil yang menolak kehadiran PT TMS, tiba di Ibu Kota pada Selasa (9/11/2021) malam untuk ikut sidang gugatan terhadap Kementerian ESDM di PTUN Jakarta.
Warga Sangihe menuntut Kementerian ESDM mencabut Keputusan Menteri ESDM Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe. Warga juga menuntut ganti rugi material Rp 1,5 miliar dan kerugian immaterial Rp 70 miliar.
”Izin tambang mencakup setengah luas Pulau Sangihe akan merusak 80 desa di 7 kecamatan. Padahal, sebagai wilayah perbatasan, pembangunan harus memperhatikan kelestarian lingkungan hidup,” ujarnya dalam aksi damai.
PT TMS mengantongi izin operasional selama 33 tahun. Mereka mengutarakan niat membeli tanah warga dengan patokan harga Rp 50 juta per hektar atau Rp 5.000 per meter persegi. Warga geger karena tak satu pun dari mereka merasa pernah diberi tahu soal pembukaan tambang emas berskala besar, apalagi diajak berunding (Kompas, 7 September 2021).
Jull menyebutkan, warga bakal tergusur dari tanah leluhurnya karena analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PT TMS menunjukkan, pusat pengolahan bijih emas dan kolam limbah akan didirikan di wilayah permukiman yang didiami 90-an keluarga. Padahal, pulau seluas kurang dari 2.000 kilometer persegi tidak boleh ditambang sesuai ketentuan Pasal 35 UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
”Kampung Bowone terancam karena akan dijadikan pusat pengolahan hasil pertambangan emas. Di situ warganya sejahtera dari perkebunan dengan berbagai komoditas, seperti sagu, kelapa, kopra, cengkeh, dan ubi jalar,” katanya.
Belum lagi persoalan tambang emas yang membutuhkan banyak air. Setidaknya dibutuhkan 100 liter air untuk menghasilkan 1 gram emas. Diperkirakan PT TMS membutuhkan lebih dari 1 juta liter air bersih setiap hari.
Atas dasar itu, warga menolak eksploitasi Pulau Sangihe dan seisinya. Mereka meminta Kementerian ESDM mencabut izin tambang, Kapolri menegur jajarannya di Sulawesi Utara yang mengawal tambang, serta Mendagri menegur gubernur dan bupati karena abai pada tugas dan tanggung jawabnya.
”Sediakan air bersih bagi warga Kampung Bowone. Mereka terdampak langsung kehadiran tambang itu,” katanya.
Warga juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membatalkan amdal. Sebaliknya, meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk tidak menerbitkan izin lokasi sebagai pengelolaan pulau kecil. ”Negara jangan arogan. Membuat aturan, tetapi melanggarnya. Warga mencari nafkah untuk makan dan sekolahkan anak-anak, bukan untuk melawan negara yang arogan,” kata Pendeta Adeleide Marasut, Ketua Jemaat GMIST Imanuel Keling, Kelurahan Balehumara, Kecamatan Tagulandang, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.
Adeleide datang bersama Jull untuk mengikuti sidang gugatan di PTUN Jakarta. Meskipun berbeda pulau, ia turut bersolidaritas dengan mengumpulkan donasi bagi gerakan Save Sangihe Island.
Warga akan memperjuangkan hak mereka. Masih akan ada aksi damai lainnya dan gugatan hingga izin tambang dicabut dari Pulau Sangihe.