GPS Terlepas, Pergerakan Kawanan Gajah di TNBBS Sulit Dipantau
Konflik perebutan ruang hidup antara gajah dan manusia di Lampung belum juga berakhir. Kondisi ini juga dipicu menyempitnya habitat gajah menyusul penguasaan manusia untuk membuka perkebunan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
TANGGAMUS, KOMPAS — Kalung pendeteksi posisi atau GPS collar yang dipasang di kawanan gajah liar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan atau TNBBS Lampung terlepas sejak dua pekan terakhir. Kondisi itu meresahkan petani hutan karena pergerakan gajah liar sulit dipantau.
Saat ini, kelompok gajah liar berjumlah 12 ekor masih berada di kawasan Hutan Lindung Kota Agung Utara, Register 39, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Dalam kurun waktu sebulan terakhir, dua gubuk warga yang ada di dalam kawasan hutan itu rusak terinjak gajah.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan Lestari Jastra mengatakan, petani hutan yang berkebun di kawasan hutan negara Register 39 diliputi kekhawatian karena gajah liar kerap mendekati gubuk warga pada malam hari. Selain itu, gajah liar juga merusak tanaman pisang, kelapa, dan pinang yang ditanam petani.
Menurut Jastra, sudah ada dua gubuk warga yang rusak akibat terinjak gajah. Beruntung, pemilik gubuk selamat dan tidak terinjak gajah. ”Masyarakat telah meminta agar petugas membantu penggiringan gajah liar yang semakin agresif dan meresahkan masyarakat,” kata Jastra saat dihubungi dari Bandar Lampung, Rabu (10/11/2021).
Petani hutan semakin kesulitan memantau pergerakan gajah liar karena GPS collar yang dipasang di kawanan gajah itu terlepas. Petani hanya bisa memantau posisi gajah dari jejak kaki, suara, atau kebun yang sudah dirusak kawanan gajah liar.
Saat ini, sebagian warga memilih meninggalkan gubuk dan kebun di dalam hutan karena khawatir dengan kawanan gajah liar. Namun, masih ada petani yang bertahan di dalam hutan karena tanaman pisang yang ditanam sudah mulai berbuah.
Selama ini, petani sudah berupaya melakukan penggiringan gajah secara bergantian dari kawasan hutan lindung ke hutan TNBBS. Namun, mereka tidak memiliki cukup logistik untuk melakukan penggiringan gajah.
Jastra berharap, pemerintah membantu peralatan komunikasi berupa radio panggil (handy talkie). Alat tersebut dibutuhkan karena warga kesulitan mendapat sinyal untuk berkomunikasi dengan telepon seluler. Selain itu, petani juga membutuhkan peralatan untuk melakukan penggiringan, antara lain, mercon dan senter.
Alat tersebut dibutuhkan karena warga kesulitan mendapat sinyal untuk berkomunikasi dengan telepon seluler.
Kepala Satuan Polisi Kehutanan TNBBS Agus Hartono menuturkan, pihaknya telah menurunkan personel dari polisi kehutanan dan pawang untuk membantu penggiringan gajah. Dalam waktu dekat, petugas juga akan memasang kembali GPS collar pada kawanan gajah liar tersebut.
Menurut dia, pemasangan ulang GPS collar yang terlepas akan dilakukan pada dua kelompok gajah liar. Selain kelompok yang kerap memasuki Register 39, petugas juga akan memasang ulang GPS collar pada kelompok gajah liar yang ada di wilayah Pemerihan, Kecamatan Bangkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung.
Konflik perebutan ruang hidup antara gajah dan manusia di kawasan itu berlangsung sejak empat tahun terakhir. Berdasarkan catatan Kompas, setidaknya ada tiga warga yang meninggal akibat terinjak gajah.
Kawanan gajah liar memang kerap memasuki kawasan Register 39 pada September-Januari. Siklus pergerakan gajah itu berulang setiap tahun karena kawasan itu merupakan daerah jelajah gajah liar.