Tekan Konflik Gajah, Kabel Kejut 18,7 Kilometer Dibangun di Bener Meriah
Pagar kejut menggunakan kabel dialiri listrik berdaya rendah. Listrik tidak akan menimbulkan cedera, tetapi cukup untuk memberikan efek kejut sehingga gajah tidak akan melintasi daerah tersebut.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·3 menit baca
SIMPANG TIGA, KOMPAS — Pagar listrik bertenaga rendah atau pagar kejut sepanjang 18,7 kilometer dibangun di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Pagar kejut itu untuk mencegah gajah liar masuk area budidaya warga sehingga mengurangi risiko konflik gajah dan manusia.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto saat dihubungi, Selasa (9/11/2021), mengatakan, ada empat titik pemasangan power fencing atau pagar kejut di Bener Meriah. Kawasan ini paling sering terjadi konflik gajah dengan manusia.
”(Pagar kejut) ini bagian dari mitigasi. Setelah Bener Meriah, di daerah lain yang rawan konflik (gajah dan manusia) juga akan kami pasang,” kata Agus.
Lokasi pembangunan pagar kejut di Bener Meriah berada di kawasan Ali-ali sepanjang 10 kilometer, Pantan Lah sepanjang 7.200 meter, Menderek sepanjang 825 meter, dan Meusara Pakat sepanjang 720 meter.
Mitigasi kami padu antara power fencing dan barrier (parit). Semua strategi kita terapkan agar konflik mereda. (Agus Arianto)
Pagar kejut menggunakan kabel dialiri daya listrik berkuatan rendah. Daya listrik tidak akan menimbulkan cedera pada gajah, tetapi memberikan efek kejut atau trauma sehingga gajah tidak akan melintasi daerah tersebut. ”Mitigasi kami padu antara power fencing dan barrier (parit). Semua strategi kami terapkan agar konflik mereda,” kata Agus.
Bener Meriah termasuk kawasan dengan intensitas konflik gajah yang tinggi. Kasus terbaru pada Sabtu (6/11/2021), sekelompok gajah liar masuk ke permukiman warga di Desa Ulu Naron, Kecamatan Pinto Rime Gayo. Sebuah rumah kayu milik warga rusak diamuk satwa besar itu.
Konflik gajah masih menjadi persoalan serius di Aceh. Sepanjang 2016 hingga 2020 terjadi sebanyak 429 konflik gajah dan manusia. Kawasan paling banyak konflik adalah Kabupaten Pidie, Aceh Timur, dan Aceh Jaya. Konflik juga menjadi pemicu paling besar kematian gajah, yakni 57 persen, diikuti sakit atau mati alami 33 persen dan kematian karena perburuan 10 persen. Sejak 2016 hingga 2021 sebanyak 46 gajah di Aceh mati.
Agus mengatakan, konflik gajah menimbulkan kerugian yang sama bagi manusia ataupun satwa. Manusia mengalami ancaman keselamatan dan sumber ekonomi, sedangkan gajah terancam mati karena kekurangan makanan atau terkena jerat yang dipasang pemburu.
Konflik juga menjadi pemicu paling besar kematian gajah, yakni 57 persen, diikuti sakit atau mati alami 33 persen dan kematian karena perburuan 10 persen. Sejak 2016 hingga 2021 sebanyak 46 gajah di Aceh mati.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur menilai, saat ini perlindungan satwa masih lemah. Padahal, biaya yang dihabiskan sejak 2012 hingga 2021 mencapai Rp 160 miliar.
Nur juga menyoroti, perlindungan satwa belum menyeluruh. Misalnya, penanganan berfokus pada konflik atau masalah hilir, sedangkan perusakan habitat gajah yang merupakan masalah hulu tidak ditangani. Padahal, kerusakan habitat menjadi pemicu gajah-gajah keluar dari hutan untuk mencari makan. Di sisi lain, hutan yang dulunya koridor gajah kini telah tergantikan menjadi perkebunan sawit.
Sementara itu, Program Manager Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK) Missi Muizzan mengatakan, penegakan hukum juga menjadi strategi perlindungan satwa di Aceh. Dia berharap otak pelaku pembunuh satwa lindung diringkus dan dijatuhi hukuman berat.