Alih Fungsi Lahan di Kaki Arjuno Picu Petaka di Kota Batu
Tahun 1998 marak terjadi perambahan hutan di lereng Gunung Arjuno yang lalu berubah menjadi lahan pertanian minim tegakan seperti di Kota Batu sekarang. Pola tanam yang didominasi tanaman semusim berisiko bencana.
Banjir bandang yang melanda beberapa titik di delapan desa di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, Kamis (4/11/2021), membuat sejumlah pihak mengarahkan pandangan ke hulu Daerah Aliran Sungai Brantas. Salah satu masalah yang menjadi perhatian adalah alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian minim tegakan.
Banjir bandang di Kota Batu menewaskan tujuh orang, melukai warga, lebih dari 100 ekor ternak mati, 35 rumah rusak, dan 33 rumah terendam lumpur, serta beberapa kendaraan ikut terdampak.
Bencana ini mengejutkan publik, termasuk Pemerintah Kota Batu. Mereka tidak menyangka muncul bencana di luar daerah rawan bencana yang telah dipetakan sebelumnya. Selama ini, longsor kecil (di turap dan tebing jalan) memang kerap terjadi di sejumlah titik di Batu. Misalnya, di kawasan Payung, Kelurahan Songgokerto dan Brau di Desa Gunungsari, Kecamatan Batu. Tanah bergerak di Brau mengakibatkan sejumlah warga mengungsi ke lokasi evakuasi sementara (2020) dan pemda berupaya merelokasi mereka.
Di Batu utara (Kecamatan Bumiaji), bencana juga kerap terjadi, tetapi skalanya kecil-kecil. Luberan lumpur ke jalan raya di Desa Sumberbrantas kerap terjadi kala hujan deras turun. Banjir bandang cukup besar di Sumberbrantas juga pernah terjadi 2004.
Baca juga: Bendung Alam di Hulu Jadi Penyebab Banjir di Batu
Sementara badai pasir beberapa hari terjadi pada 2019 di Sumberbrantas. Peristiwa ini terjadi bersamaan dengan saat hutan di kawasan Taman Hutan Raya R Soerjo di lereng Arjuno terbakar.
Kala itu, sejumlah pihak termasuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur mengingatkan dampak dari kebakaran hutan (kayu kering) bisa berpotensi memicu longsor dan banjir bandang saat hujan deras.
Pengamat Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Mangku Purnomo, Sabtu (6/11/2021), mengatakan, selain perubahan iklim, ada juga alih fungsi lahan hutan menjadi kawasan pertanian, serta kebijakan pemerintah daerah yang dianggap kurang pas.
Sebelum 1998, menurut Mangku, lahan di kawasan kaki Arjuno (yang kini menjadi lahan pertanian) masih relatif ada tutupannya meski saat itu juga sudah mulai dieksplorasi oleh korporasi. Ada sejumlah korporasi, salah satunya PT Asparagus Nusantara.
”Residu lama sebenarnya itu. Dulu kawasan itu lahan land reform milik TNI AU. Karena kurang begitu dirawat, akhirnya 1998 masyarakat naik. Tidak menjadi hak milik, saat itu yang penting mereka menanam secepat-cepatnya. Dieksploitasi, kalau (masyarakat) diusir, ya, pergi,” katanya.
Namun, seiring perjalanan waktu, setelah 1998, warga terus menggarap. Keberadaan mereka semakin kuat dan sekarang mulai diakui statusnya dengan keluar sertifikat. ”Ini bisa (sertifikat), sebagian sudah ada karena ada mekanismenya,” tuturnya.
Mangku juga menyoroti strategi pembangunan Batu yang dinilai njomplang antara pertanian dan wisata. Sebelum wisata berkembang pesat, pemerintah daerah tidak melindungi lebih dulu kawasan pertaniannya, khususnya di daerah bawah. Akibatnya, harga tanah di Batu melambung.
Dan, tidak semua warga Batu bisa mengikuti peningkatan harga tersebut. Begitu mereka butuh uang dan menjual lahan, bukan saudara sendiri yang membeli, tetapi orang luar daerah dan investor. Warga yang tidak punya lahan garapan kemudian naik ke daerah yang lebih tinggi, mencari tanah-tanah konflik dan lahan Perhutani.
”Mereka semakin tergeser. Siklus ekonomi wisata di Batu ini tidak serta-merta petani bisa masuk (ikut jadi pemain wisata). Mereka tidak punya modal, keterampilan, dan pengetahuan. Akhirnya, mereka hanya bisa menanam sayur dan hortikultura. Ternyata, sektor itu lebih menguntungkan dibanding bekerja di sektor wisata,” ujarnya.
Dampaknya, lahan yang sudah telanjur terbuka menahun dengan kemiringan 40-50 derajat menjadi riskan. Apalagi, jenis tanahnya vulkanik berpasir. Tutupan yang minim membuat air tidak bisa terserap dengan baik. Sementara jenis tanaman yang dibudidayakan petani umumnya semusim, beberapa bulan sekali panen dan tanah digemburkan lagi untuk tanaman berikutnya. ”Jadi kompleks masalahnya,” ucapnya.
Baca juga: Petaka Pilu di Kota Wisata Batu
Jika diamati, lahan-lahan pertanian di lereng Arjuno yang berada di antara Desa Sumberbrantas-Tulungrejo berupa hamparan tanah dengan kontur tidak rata. Tanah-tanah itu hanya ditanami kentang, wortel, dan kubis dengan jumlah tegakan yang sangat minim. Kalaupun ada tanaman apel, itu pun sekarang banyak yang tidak dirawat akibat biaya tinggi.
Kondisi itu juga terjadi di lereng-lereng sungai yang kemiringannya cukup curam. Dari pengamatan Kompas, pasir dan tanah halus dari lahan pertanian itu menghambur ke permukiman saat badai pasir 2019 lalu sehingga ratusan warga harus diungsikan ke desa lain di bawah selama beberapa hari.
Kondisi lahan pertanian yang demikian sangat memungkinkan bagi terjadinya erosi atau pengikisan tanah. Pada akhirnya sedimentasi itu akan menumpuk di dasar sungai. Longsor juga mudah terjadi bisa hujan deras turun.
Kurangnya tutupan lahan diakui pihak Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I yang mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Direktur Utama Perum Jasa Tirta I Raymond Valiant, beberapa waktu lalu, mengatakan, tutupan lahan di hulu DAS Brantas tinggal 20 persen dari luas wilayah hulu.
Sisanya, yang 80 persen, terbagi berupa permukiman, lahan terbuka, dan lainnya. Lahan terbuka berwujud pekarangan, persawahan, tegalan, perkebunan yang tutupan lahannya fluktuasi—hijau saat musim hujan, tetapi berubah meranggas saat kemarau.
Luas kawasan hulu DAS Brantas dari Sumberbrantas sampai Bendungan Sengguruh di Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, mencapai 2.050 kilometer persegi.
”Data 2008-2010 sampai dua tahun terakhir menunjukkan saat kemarau tegakan atau tutupan lahan yang bisa dianggap sebagai hutan lantaran kerapatan vegetasinya signifikan hanya sekitar seperlima,” kata Raymond.
Baca juga: Berantas Ancaman di Bengawan Brantas
Akibatnya, air hujan juga tidak bisa masuk ke dalam tanah dengan baik dan potensi sedimentasi menjadi besar karena air hujan tidak lagi tertahan oleh vegetasi.
Laju sedimentasi di Sengguruh mencapai 1,1 juta meter kubik per tahun. Kondisi ini mengakibatkan daya tampung waduk berkurang dari 21,5 juta meter kubik pada awal beroperasi (1989) menjadi 900.000 meter kubik atau tinggal 5-6 persen.
Wakil Wali Kota Batu Punjul Santoso, Jumat (5/11/2021), mengakui, lahan pertanian yang ada di sisi utara Kota Batu punya kontur miring dan curam. Dinas Pertanian Kota Batu, menurut dia, sudah menyosialisasikan kepada petani untuk mengelola lahan yang lebih ramah lingkungan (terasering).
”Dalam rapat dengan Kapolda (Kepala Polda Jatim) dan Kasdam (Kepala Staf Kodam V Brawijaya), Bu Wali Kota (Dewanti Rumpoko) menyampaikan minta bantuan TNI untuk bareng menyosialisasikan kepada warga (buat terasering). Kalau perlu hutan yang sudah terbuka ditanami, misalnya kopi, untuk mengurangi dampak banjir,” ujarnya.
Punjul membenarkan bahwa pembabatan hutan marak di lereng Arjuno pada masa reformasi lalu. Namun, kini aktivitas itu sudah sangat jauh berkurang setelah pihak Perhutani merangkul masyarakat melalui komunitas Lembaga Masyarakat Desa Hutan. ”Pada masa reformasi, kayu yang ditebang tidak langsung dibawa pulang, melainkan dibuat untuk media tanam (ditimbun),” katanya.
Akhir-akhir ini, beberapa lembaga pemberhati lingkungan, seperti Walhi Jawa Timur dan kawan-kawan, menyoroti perubahan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Batu yang dianggap menurunkan kualitas ekologi. Masalah yang disorot, antara lain, terkait pemanfaatan dan perlindungan mata air dan penurunan fungsi Kecamatan Bumiaji sebagai wilayah konservasi.
Perda sebelumnya (Perda Nomor 7 Tahun 2011) menyebut kawasan perlindungan mata air yang meliputi seluruh wilayah di Kota Batu yang memiliki mata air. Namun, dalam rancangan perda baru kawasan perlindungan sumber air diubah menjadi kawasan lindung biologi yang dibatasi 18-19 desa dari total 25 desa/kelurahan di Batu.
Disinggung terkait perubahan RTRW itu, Punjul mengatakan, saat ini draf usulan tersebut masih ada di tangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Draf itu pun belum tentu disetujui. Dia menampik anggapan semua wilayah di Bumiaji akan dijadikan lokasi wisata buatan.
”Perda RTRW belum selesai. Apakah semua diloloskan, kami belum tahu. Itu persentase (wisata buatan) tidak semua wilayah. Sejak dulu Bumiaji untuk kepentingan pertanian,” ucapnya.