Banjir Datang, Ladang Tak Ditanami
Banjir tak hanya merendam pemukiman warga Kalimantan Tengah, tetapi juga menerjang ladang padi. Kini, warga tak hanya khawatir air merendam rumah, tetapi juga beras yang kian menipis.
Banjir menjadi pukulan berat bagi sebagian warga Katingan di tengah keterbatasan akses dan ketersediaan sumber daya yang mereka miliki. Bahkan, untuk menanam padi agar bertahan hidup pun tak bisa dilakukan.
Sunarti (41), warga Kuluk Bali, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, menemani anaknya belajar membaca, Kamis (4/11/2021). Meski penuh senyum, ia tak bisa menutupi kekhawatiran menipisnya beras ladang. Tahun ini banjir merusak ladang yang jadi tumpuan hidupnya.
Waktu menunjukkan pukul 12.30, tetapi langit sudah sendu. Awan putih bergeser menjadi abu, rintik tak tertahan. Sunarti ditemani dua tetangganya, Srimilance (38) dan Indrayani (45), beberapa kali melongok ke seberang sungai. Mereka berbincang serius saat melihat ibu-ibu lain dengan lanjung atau tas rotan khas Dayak pulang dari ladang.
”Cepatnya mereka pulang (dari ladang). Pasti hujan di sana,” ujar Sunarti.
Hujan lebat yang mengakibatkan banjir di areal ladang dan permukiman cukup meresahkan warga. Apalagi, banjir menimbulkan sejumlah kerusakan.
”Ladang punyaku pun belum dibersihkan, habis banjir rusak semua,” kata Indrayani.
Baca juga: Bersiaplah Bila Badai Seroja Datang Lagi
Ladang milik ketiga warga itu memang sudah hampir tak bisa lagi ditanam. Tidak hanya terendam banjir, tetapi juga menjadi tumpukan sampah-sampah material banjir.
Banjir di kampung itu melanda tiga kali dalam setahun. Dalam catatan Kompas, banjir melanda pada Juli 2021, lalu surut. Banjir kembali terjadi pada Agustus dan September.
Banjir bisa datang berkali-kali tergantung curah hujan di bagian hulu Sungai Katingan. Menurut warga, banjir pada September hingga awal Oktober merupakan yang terburuk dalam puluhan tahun terakhir.
Sunarti merasakan itu. Ia menunjuk ke arah bekas batas air banjir pada dinding rumah panggungnya. Jika diukur dari tanah, tingginya lebih dari 1,5 meter.
Selama lebih dari seminggu mereka sekeluarga tinggal dengan memasang kayu melintang di tengah dinding agar bisa tidur dan menyimpan barang-barang.
”Kami tidak bisa mengungsi. Baru bangun tidur, air sudah naik. Mau keluar rumah lebih parah lagi,” katanya.
Rumah Sunarti berjarak sekitar 300 meter dari bibir Sungai Katingan. Sungai yang meluap merendam 67 desa di 12 kecamatan di Kabupaten Katingan, Kalteng. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng, setidaknya 16.230 warga terdampak banjir tersebut.
”Kami tak punya beras lagi, harus beli,” ujar Indriyani.
Saat banjir, rumah kepala desa menjadi dapur umum. Namun, untuk menuju ke rumah itu, baik Sunarti maupun Indriyani, harus berjalan kaki di tengah banjir dengan jarak lebih kurang satu kilometer.
Kedua tetangga itu memilih untuk tetap di rumah selama banjir dan berharap air tidak kembali naik. Mereka bertahan dengan beras dan membuat tungku api di dalam rumah. Beras itu merupakan beras sisa berladang tahun lalu yang kini sudah habis.
”Sekarang beli beras harus menunggu suami pulang ’menyedot’ emas,” tutur Sunarti.
Baca juga: Banjir Bandang Mitologi Jawa dan Penanda yang Kita Lupakan
Bulan Oktober ini seharusnya mereka sudah selesai menanam padi ladang. Bahkan, padi seharusnya mulai tumbuh di bulan itu. Namun, saat ini manugal atau menanam padi dengan memprediksi cuaca juga belum bisa dilakukan.
Biasanya, di lahan lebih kurang satu hektar bisa dihasilkan 1,5 ton gabah kering giling (GKG). Jumlah itu bisa bisa dikonsumsi keluarga Sunarti untuk satu tahun penuh. Bahkan, saat tidak banjir mereka bisa menjual sebagian berasnya untuk tambahan memenuhi kebutuhan keluarga.
”Kini cuaca tidak bisa kami prediksi lagi. Sekarang menanam saja belum, jadi harus menunggu sampai cuaca baik. Yang kami khawatirkan, banjir datang lagi,” ungkap Sunarti.
Meski didera banjir, mereka tak berharap banyak mendapatkan bantuan. Apalagi, menuju ke desa itu memerlukan waktu 1,5 jam dari Kasongan, ibu kota Katingan, mesti melewati akses jalan rusak dan berlumpur. Jarak dari Palangkaraya, ibu kota Kalteng, sejauh 140 kilometer untuk bisa ke kampung dengan jumlah penduduk lebih kurang 1.100 orang itu.
Dampak bencana
Kabupaten Katingan memiliki luas lahan padi 18.860 hektar di 13 kecamatan. Sebagian besar wilayah itu terendam banjir pada Agustus hingga September lalu.
Adapun di Kabupaten Kotawaringin Timur, setidaknya 3.500 hektar lahan sawah terendam banjir. Kerugian sampai saat ini masih didata oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah setiap kabupaten.
Khusus di Kuluk Bali, yang terdampak tidak hanya lahan padi, tetapi juga kebun durian. Tahun ini hujan turun saat pohon durian berbunga. Bunga itu pun luruh, begitu juga harapan menjual durian Kasongan yang terkenal.
Data BPBPK Kalteng menyebutkan, banjir melanda 23 kecamatan, 123 kelurahan dan desa, dengan sebanyak 12.006 keluarga atau 17.759 orang terdampak di seluruh Kalteng. Banjir juga membuat 109 keluarga mengungsi ke poskoposko darurat yang disiapkan pemerintah kecamatan.
Pemerintah mengklaim tak ada korban jiwa karena banjir. Namun, terdapat dua pengungsi yang meninggal di tenda pengungsian, yakni Yaya (5) dan Naning (62). Keduanya berasal dari Desa Asem Kumbang, Kamipang, Katingan.
Baca juga: Banjir Luwu, Kini dan Dulu
Yaya menderita leukemia dan meninggal di tenda pengungsian, sedangkan Naning belum diketahui pasti penyebab kematiannya. Naning sempat demam tinggi saat tinggal di pengungsian. Sekretaris Desa Asem Kumbang Hendra Susanto menjelaskan, dua warganya meninggal karena mengidap penyakit sejak lama.
Meskipun mereka memiliki penyakit penyerta, banjir memperburuk kedua korban meninggal itu. Keduanya sempat hendak dievakuasi dan dibawa ke rumah sakit, tetapi mereka menolak dan memilih bertahan di tenda pengungsian.
Penyebab
Banyak pihak menganalisis kejadian banjir di Kalteng kian buruk dari tahun ke tahun. Namun, terdapat perbedaan mendasar tentang cara melihat penyebab banjir tahun ini.
Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Pelaksana BPBPK Kalteng Erlin Hardi menjelaskan, banjir kali ini disebabkan cuaca ekstrem yang melanda bahkan sebelum musim hujan dimulai. Intensitas hujan tinggi menyebabkan debit air di sungai kian tinggi hingga akhirnya meluap ke permukiman warga.
Upaya Pemerintah Provinsi Kalteng adalah memantau tinggi muka air, sosialisasi ke setiap wilayah untuk selalu waspada, hingga evakuasi korban banjir. Selain itu, mereka juga berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota mendistribusikan bantuan.
”Katingan dan Kotawaringin Timur jadi wilayah yang cukup parah terendam banjir kali ini,” kata Erlin.
Menurut Erlin, dalam menghadapi dan mengantisipasi banjir pihaknya berkoordinasi dengan berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah, agar mereka lebih siap dan waspada terhadap segala potensi bencana di wilayahnya. Adapun pemprov sifatnya hanya memberi dukungan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono tidak menampik terjadi cuaca ekstrem. Namun, hal itu hanya pemicu. Deforestasi, alih fungsi lahan, dan pertambangan legal ataupun ilegal menjadi masalah utama yang belum usai.
”Daya dukung dan daya tahan alam terus menurun karena kerusakan di hulu sampai hilir. Hilangnya hutan membentuk erosi sehingga tak ada lagi yang menahan,” katanya.
Dampak banjir sudah dirasakan warga hingga aktivitasnya terganggu. Mereka tak lagi bisa berladang, bahkan yang terburuk mereka sulit memprediksi cuaca. Sayangnya, sampai saat ini belum ada solusi untuk mencari penyebab banjir dan menanggulanginya.