Lima Penyuap Bupati Nganjuk Dituntut 2 Tahun Penjara dan Denda Rp 200 Juta
Lima pejabat daerah Kabupaten Nganjuk, Jatim, dituntut hukuman masing-masing dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta karena dinilai terbukti menyuap Bupati Nganjuk Novi Rahman untuk mendapatkan jabatan yang diinginkan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Lima pejabat daerah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dituntut hukuman masing-masing dua tahun penjara karena dinilai terbukti menyuap Bupati Nganjuk Novi Rahman untuk mendapatkan jabatan yang diinginkan. Para terdakwa juga dituntut pidana denda masing-masing Rp 100 juta.
Lima terdakwa tersebut adalah Camat Berbek Haryanto, Camat Pace Dupriono, Camat Loceret Bambang Subagio, Camat Tanjunganom Edie Srijanto, dan mantan Camat Sukomoro Tri Basuki Widodo. Tuntutan disampaikan oleh jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Nganjuk dalam sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya yang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai I Ketut Suarta, Senin (1/11/2021).
”Menuntut majelis hakim yang memimpin sidang agar menjatuhkan hukuman penjara selama dua tahun kepada terdakwa. Selain itu, menjatuhkan pidana denda Rp 100 juta, subsider enam bulan kurungan,” ujar Jaksa Andie Wicaksono.
Andie mengatakan, kelima terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kedua, yakni Pasal 5 Ayat 1 UU Tipikor juncto Pasal 55 KUHP. Terdakwa Haryanto, Dupriono, Bambang, Edie, dan Tri merupakan aparatur sipil negara (ASN) Pemkab Nganjuk.
Berdasarkan fakta persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, termasuk saksi ahli, pengakuan terdakwa sendiri, dan alat bukti, jaksa berkesimpulan perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 5 UU Tipikor. Haryanto, misalnya, menawarkan jabatan Camat Loceret kepada Bambang Subagio yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bagian Pemerintahan Pemkab Nganjuk.
Sebagai imbalan, Bambang diminta menyetorkan uang Rp 25 juta kepada Novi Rahman melalui ajudannya, Izza Muhtadi. Sementara Dupriono menyerahkan uang Rp 50 juta sebagai imbalan atas pelantikannya menjadi Camat Pace.
”Bupati Nganjuk Novi Rahman mengadakan kegiatan mutasi dan promosi pejabat di lingkungan pemda pada Februari 2021. Kegiatan itu tidak sesuai prosedur, bahkan pengajuan pejabat yang akan dilantik kepada tim penilai dilakukan beberapa hari setelah pelantikan,” kata Andie.
Andie menambahkan, beberapa hal yang memberatkan terdakwa, sebagai aparatur sipil negara mereka dinilai tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Selain itu, ada terdakwa yang dinilai tidak memberikan keterangan secara jujur atau berbelit.
Bupati Nganjuk Novi Rahman mengadakan kegiatan mutasi dan promosi pejabat di lingkungan pemda pada Februari 2021. Kegiatan itu tidak sesuai prosedur, bahkan pengajuan pejabat yang akan dilantik kepada tim penilai dilakukan beberapa hari setelah pelantikan.
Adapun hal yang meringankan, para terdakwa belum pernah dihukum. Mereka juga bersikap kooperatif selama menjalani proses hukum dan memiliki tanggungan terhadap keluarga. Oleh karena itu, jaksa meminta majelis hakim yang mengadili perkara tersebut mengabulkan tuntutannya.
Menanggapi tuntutan jaksa, para terdakwa berencana menyusun pembelaan yang dilakukan oleh kuasa hukum mereka. Hanya terdakwa Haryanto yang akan mengajukan dua pembelaan, yakni secara pribadi dan pembelaan yang disusun oleh kuasa hukum.
Lima terdakwa menjalani proses hukum setelah ditangkap oleh tim gabungan Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan, Minggu (9/5/2021). Mereka ditangkap bersama Bupati Nganjuk Novi Rahman dan ajudannya, M Izza Muhtadin.
Novi Rahman ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan menerima hadiah atau janji berupa uang dari sejumlah camat dan kepala desa. Uang itu sebagai imbalan agar mereka mendapatkan promosi jabatan yang diinginkan. Dalam OTT tersebut, barang bukti yang disita berupa uang Rp 647,900 juta dari brankas pribadi Novi.
Novi dan ajudannya, Izza Muhtadin, saat ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya dalam berkas perkara terpisah. Selain menerima imbalan dari para camat, Novi juga didakwa menerima imbalan dari kepala desa saat melakukan pengisian seleksi perangkat desa.
Terdakwa selaku Bupati Nganjuk memaksa para kepala desa melakukan seleksi perangkat desa. Dalam proses seleksi itu mereka diminta menyerahkan uang masing-masing Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Dupriono, misalnya, selaku Camat Pace melaporkan bahwa perangkat desa di wilayahnya sanggup memberikan Rp 10 juta hingga Rp 15 juta per orang.
Selain itu, kepada Camat Prambon Kuwadi, terdakwa Novi meminta agar 35 jabatan perangkat desa diisi dengan kompensasi Rp 15 juta untuk jabatan kepala seksi (kasi), Rp 20 juta untuk kepala urusan (kaur), dan Rp 30 juta untuk jabatan sekretaris desa. Namun, para kepala desa tidak menyanggupi karena nilai uangnya dianggap terlalu besar.
Atas perbuatannya itu, Novi didakwa dengan dakwaan berlapis yakni melanggar Pasal 12 Huruf e UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, didakwa melanggar Pasal 5 Ayat 1 Huruf a dan Pasal 11 UU Tipikor.