Tewasnya Siswa di Ende Akibat Gigitan Anjing Rabies Ancam Pariwisata Flores
Kasus rabies yang sudah berlangsung sejak 1996 di Sikka menyebar ke seluruh Flores dan Lembata. Sampai saat ini penanganannya tak menyeluruh.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
RUTENG, KOMPAS — Ferdy Paty (9), siswa kelas IV SD di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, tewas setelah digigit anjing rabies. Kasus ini perlu segera diatasi agar tak terulang karena bisa mengancam pariwisata di Flores-Lembata, temasuk pariwisata superpremium di Labuan Bajo.
Ketua Forum Penanggulangan Rabies Flores-Lembata drh Maria Geong di Ruteng, Minggu (31/10/2021), mengatakan, kasus gigitan anjing rabies di Flores memang tidak marak seperti Covid-19. Setiap tahun terjadi beberapa kejadian gigitan anjing rabies yang menyebabkan kematian korban di salah satu dari sembilan kabupaten di Flores-Lembata.
”Menurut laporan, tahun ini ada tujuh kasus gigitan anjing rabies di Flores. Kasus terakhir, Senin, 25 Oktober 2021 di Ende dengan korban seorang siswa SD bernama Ferdi, 9 tahun. Korban meninggal dunia Kamis, 28 Oktober 2021, setelah dirawat di rumah sakit setempat. Korban mengalami gejala suspek rabies seperti panas, berkeringat banyak, takut pada air, dan cahaya,” kata Maria.
Sejak 1996-2021, terjadi 587 kasus gigitan anjing rabies di Ende, sebagian besar terselamatkan setelah korban gigitan dilarikan ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Namun, warga di desa-desa pedalaman sebagian besar belum paham dengan situasi ini sehingga saat ada kasus, mereka diamkan saja, yang berakibat pada kematian yang sia-sia.
Paling dikhawatirkan apabila kasus ini terjadi di destinasi pariwisata superpremium di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Manggarai, dan Manggarai Timur. ”Terjadi satu kasus gigitan saja terhadap turis asing, geger seluruh dunia. Kabar segera beredar, yang tentunya sangat mengancam pariwisata setempat. Turis enggan datang ke sana,” kata Maria.
Wakil Bupati Manggarai Barat (2015-2020) ini mengatakan, turis asing kebanyakan mengenakan celana pendek, berjalan ke desa-desa, mencari sesuatu yang masih asli di desa itu. Anjing peliharaan warga dibiarkan berkeliaran di desa. Situasi ini cukup mengancam keselamatan wisatawan, apalagi jika anjing tidak divaksin.
Terjadi satu kasus gigitan saja terhadap turis asing, geger seluruh dunia. Kabar segera beredar, yang tentunya sangat mengancam pariwisata setempat. Turis enggan datang ke sana.
Sejumlah desa di Manggarai Barat dan desa-desa di Flores ditetapkan menjadi desa wisata. Jika kasus Covid-19 melandai sampai angka nol, kemungkinan jumlah wisatawan ke desa-desa wisata di Flores-Lembata meningkat. Penataan desa-desa wisata selama masa pandemi pun terus meningkat. Desa wisata harus memberi rasa aman dan nyaman pengunjung dari luar.
Rabies ini hanya berkembang di Flores-Lembata. Sejak 2001, atau lima tahun setelah kasus itu ditemukan di Maumere, ada kebijakan dari Pemprov NTT untuk tidak mengantarpulaukan anjing-anjing dari Flores-Lembata ke Timor, Sumba, Alor, Rote, dan Sabu melalui kapal laut. Sampai hari ini, wilayah itu masih bebas rabies.
Guna mengatasi rabies, pada tahun 2013 ada kebijakan share anggaran pengadaan vaksin antirabies (VAR), yakni 50 persen pemerintah pusat, 25 persen provinsi, dan 25 persen bagi sembilan kabupaten di Flores-Lembata. Tetapi kebijakan itu berjalan hanya satu tahun, itu pun tidak sesuai kesepakatan, kemudian macet sampai hari ini. Pemkab di Flores pun tidak mengalokasikan anggaran pengadaan VAR kecuali Pemda Sikka, tahun 2014-2019 meski jumlahnya terbatas.
Vaksin antirabies (VAR) pada anjing, kelelawar, kucing, dan kera semestinya disubsidi pemerintah seperti juga vaksin Covid-19. Pemilik anjing atau petugas kesehatan hewan harus dengan mudah mengakses VAR tersebut. Selama ini kesulitan yang dihadapi di Flores-Lembata adalah keterbatasan VAR.
Jumlah populasi anjing di Flores-Lembata sesuai data 2017 sebanyak 350.000 ekor. Rata-rata kenaikan populasi anjing per tahun 5.000 ekor per kabupaten sehingga populasi anjing saat ini diperkirakan sekitar 530.000. Anjing-anjing ini harus divaksin sehingga tidak membahayakan keselamatan manusia sekitar.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Pertanian Kabupaten Sikka drh Margaretha Siko mengatakan, sejak 1996-2021 atau 25 tahun terakhir Pemkab Sikka selalu berupaya menangani rabies. Alokasi anggaran untuk pengadaan VAR selalu ada meski jumlahnya terbatas.
Pemkab Sikka memiliki 21 kecamatan, ternak anjing di 10 kecamatan telah diberi VAR, sementara 11 kecamatan masih menunggu giliran tahun berikut. Populasi anjing di 21 kecamatan itu sekitar 58.000 ekor, mendapat vaksin 25.000 ekor, 33.000 ekor sisa masih menunggu giliran.
Kegiatan VAR difokuskan di daerah rawan rabies seperti di Maumere, tempat wisatawan datang dan pergi. Tetapi jika ada kasus gigitan di wilayah tertentu, petugas kesehatan segera bergerak mengisolasi wilayah itu dengan pemberian VAR bagi semua ternak anjing di wilayah itu sehingga virus rabies tidak menyebar ke kecamatan atau desa lain. Tahun ini tidak ada kasus gigitan anjing rabies di Sikka, antara lain karena VAR tetap diberikan di daerah-daerah rawan penyebaran anjing rabies.
Jika semua desa di Sikka masing-masing mengalokasikan anggaran dana desa minimal Rp 15 juta untuk mengatasi rabies di desa itu, jika ditambah dengan APBD Provinsi, APBD Kota/Kabupaten, dan APBN, kasus rabies di Sikka bisa diatasi. Besaran dana desa Rp 800 juta-Rp 2 miliar per desa, tidak sulit mengeluarkan Rp 15 juta per desa, ”Tinggal kemauan dan kepedulian terhadap ternak anjing saja,” kata drh Margaretha.
Agus Ola Samon, warga Desa Beloto Flores Timur, pemilik lima ekor anjing di rumah itu, mengatakan, anjing dimanfaatkan untuk menjaga rumah saat rumah ditinggal pemilik. Selain itu ia bisa berburu, menemani pemilik di rumah dan di kebun, menjadi teman bermain anak-anak, serta memiliki kemampuan mendeteksi pencuri dan kuasa jahat. Anjing juga meningkatkan ekonomi rumah tangga jika dijual. Harga anjing sampai Rp 700.000 per ekor, berbobot sekitar 30 kg.
”Jangan lagi ada wacana pemerintah membasmi anjing di Flores-Lembata hanya karena kesulitan mereka menagani rabies. Jika ada kemauan mengalokasikan anggaran VAR, kasus ini dapat diatasi,” kata Samon.