Empat Terdakwa Kasus Dugaan Korupsi Pembangunan Masjid Raya Sriwijaya Dituntut 19 Tahun Penjara
Empat terdakwa kasus dugaan korupsi dana pembangunan Masjid Raya Sriwijaya dituntut 19 tahun penjara dan membayar uang pengganti. Para kuasa hukum terkejut dengan tuntutan ini karena kliennya hanya pekerja.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS — Keempat terdakwa kasus korupsi Masjid Raya Sriwijaya Palembang, Sumatera Selatan, dituntut dengan hukuman 19 tahun penjara dan membayar uang pengganti dengan nilai beragam mulai dari Rp 684 juta hingga Rp 22,4 miliar. Tuntutan ini disampaikan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan lantaran uang yang dikorupsi seharusnya digunakan untuk pembangunan rumah ibadah.
Adapun para terdakwa tersebut adalah Mantan Ketua Panitia Pembangunan Masjid Sriwijaya Eddy Hermanto, Ketua Panitia Divisi Lelang Pembangunan Masjid Sriwijaya Syarifudin, Project Manager PT Brantas Abipraya-PT Yodya Karya Yudi Arminto, dan Kuasa Kerja sama Operasi (KSO) PT Brantas Abipraya-PT Yodya Karya Dwi Kridayani.
Keempatnya dituntut hukuman pidana yang sama, yakni kurungan penjara selama 19 tahun dan denda sebesar Rp 750 juta subsider 6 bulan penjara. Adapun untuk uang pengganti yang dibayar beragam. Untuk Eddy, dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 684 juta, Syarifudin sebesar Rp 1,039 miliar, Yudi sebesar Rp 22,4 miliar, dan Dwi dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 2,5 miliar.
Jika mereka tidak bisa membayar uang pengganti dalam jangka waktu satu bulan setelah keputusan hukum tetap, harta benda keempat terdakwa akan disita lalu dilelang. Jika hasil lelang tidak sepadan dengan nilai pergantian maka terdakwa akan dikenakan pidana penjara tambahan selama 9 tahun 6 bulan.
Tuntutan ini disampaikan secara bergantian oleh Tim Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, antara lain Roy Riayadi, M Naimullah, dan Indra Bangsawan. Persidangan dipimpin Majelis Hakim yang diketuai Sahlan Efendi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang, Jumat (29/10/2021) . Adapun keempat terdakwa mendengarkan tuntutan secara daring.
Tuntutan tersebut mempertimbangkan perbuatan keempat terdakwa yang dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi pada pembangunan Masjid Raya Sriwijaya di Palembang. Pembangunan itu menggunakan dana hibah yang bersumber dari APBD Sumatera Selatan tahun anggaran tahun 2015-2017.
”Ada upaya dari terdakwa untuk memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun korporasi," ucap Roy.
Dari sidang tuntutan itu, jaksa menyampaikan atas persetujuan Eddy, Syarifudin mengatur proses lelang yang tidak sesuai prosedur. Mulai dari aktivitas pelelangan yang tidak dilakukan secara daring dan panitia lelang pun tidak diikutkan dalam proses tersebut. Padahal, saat tahap pendaftaran sudah ada empat perusahaan yang ikut serta. Pada akhirnya KSO PT Brantas Abipraya-PT Yodya Karya menjadi pemenang tender konstruksi pembangunan Masjid Raya Sriwijaya.
Setelah pemenang tender sudah ditentukan, lanjut jaksa, dilakukan perjanjian dengan penandatanganan kontrak kerjasama antara Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya yang diwakili oleh Eddy Hermanto selaku Ketua Panitia Pembangunan Proyek dan KSO PT Brantas Abipraya-PT Yodya Karya, Dwi Kridayani. Proses tender seperti ini, menurut jaksa, sudah melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Isi kontrak pun dinilai bermasalah karena sudah disebutkan besaran biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan yakni sebesar Rp 668,6 miliar. Tahapan pembayaran pun telah diatur sedemikian rupa. Pada anggaran tahun pertama 2015, pihak yayasan akan membayar sebesar Rp 70 miliar, tahun 2016 sebesar Rp 270 miliar, dan tahun ketiga sebesar Rp 323,6 miliar.
Dalam Perpres yang sama, sudah ada larangan untuk menandatangani kontrak apabila anggaran belum tersedia atau belum cukup. Jika itu tetap dilanjutkan dikhawatirkan akan melampaui batas anggaran yang disediakan APBD maupun APBN.
Penetapan biaya di luar anggaran yang tersedia itu juga dinilai melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD. Dalam aturan tersebut disebutkan pemberian dana hibah sifatnya tidak wajib, tidak mengikat, dan tidak terus-menerus atau dibayarkan setiap tahun anggaran kecuali ditentukan oleh perundang-undangan.
Tidak menyangka
Di luar persidangan, kuasa hukum keempat terdakwa menyatakan tidak menyangka tuntutandari jaksa akan setinggi ini. Fuadi Helmy, kuasa hukum dari Syarifudin, menyatakan, banyak kasus yang melibatkan dana hibah atau bantuan sosial yang lebih parah dari ini, tapi hukumannya tidak setinggi ini.
Jika melihat dari fakta persidangan, ia juga melihat tidak ada satu pun alat bukti yang menunjukkan jika Syarifudin terlibat dalam pengaturan proses pelelangan atau pun aliran keuangan. ”Klien kami hanya menjalankan perintah yang sudah disampaikan oleh atasan. Dia hanya pelaksana,” ucap Faudi.
Dalam sidang tersebut, jaksa juga menyebutkan bahwa keempatnya ikut serta dalam kasus ini. Adapun pelaku utamanya adalah kepala daerah yakni Gubernur Sumsel saat itu Alex Noerdin. Dia mengatur bahkan menentukan orang-orang yang masuk dalam kepanitiaan pembangunan.
Hal serupa juga disampaikan oleh Eko Takari, kuasa hukum Dwi dan Yudi. Ia menyatakan, kliennya hanya menjalankan tugas sebagai kontraktor, tidak lebih. Berdasarkan fakta persidangan juga belum dibuktikan apakah pembangunan sudah sesuai rencana atau belum. ”Pembelaan terhadap tuntutan ini akan kami sampaikan pada pledoi minggu depan,” ungkap Eko.