Transaksi Narkoba di Sumsel Meningkat Selama Pandemi, Anak-anak Jadi Kurir
Berdasarkan hasil pemeriksaan urine di sebuah perusahaan perkebunan, 80 persen buruh yang bekerja di perkebunan itu merupakan pemakai.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
Kompas
Polda Sumatera Selatan mengungkap pengedaran sabu seberat 16 kilogram dari Aceh, Jumat (23/8/2019). Sumsel menjadi kawasan strategis penyaluran narkoba.
PALEMBANG, KOMPAS — Di masa pandemi Covid-19, peredaran narkoba di Sumatera Selatan cenderung meningkat dan kian meresahkan. Benda haram ini sudah merasuk hingga ke semua lini, terutama pekerja, mulai dari nelayan, buruh perkebunan, petambang liar, hingga aparat desa. Jaringan narkoba bahkan menggunakan anak-anak sebagai kurirnya.
Hal itu terungkap dalam Rapat Tim Terpadu Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (26/10/2021).
Direktur Reserse Narkoba Polda Sumsel Komisaris Besar Heri Istu Hariono menjabarkan, di masa pandemi Covid-19, kasus kejahatan narkotika di Sumsel cenderung meningkat. ”Banyak orang yang mencari jalan pintas untuk mendapatkan uang, salah satunya dengan berbisnis narkoba, baik menjadi bandar maupun kurir narkoba,” katanya.
Tahun ini, gabungan barang bukti yang disita Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Sumsel dan Polda Sumsel mencapai 149 kilogram (kg), meningkat dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya 84 kg.
Jumlah tersangka narkoba yang ditangkap juga meningkat. Pada 2019, jajarannya menangkap 2.071 tersangka, sedangkan tahun 2020 jumlah tersangka narkoba meningkat menjadi 2.370 orang. Adapun hingga September 2021, sudah ada 2.208 tersangka yang ditangkap. ”Mungkin saja hingga akhir tahun akan ada tambahan tersangka lagi,” ujarnya.
Badan Narkotika Nasional (BNN) Sumsel menangkap tiga kurir narkoba dari dua jaringan asal Malaysia, Senin (20/7/2020). Sebanyak 4 kilogram sabu dan 7.000 ekstasi disita.
Dari hasil pemeriksaan, sebagian besar tersangka berusia produktif, yakni di atas 30 tahun dan bekerja sebagai buruh atau pengangguran. ”Ini menandakan faktor ekonomi bisa menjadi pemicu utama mereka terjerumus ke dunia narkoba,” kata Heri.
Selain itu, faktor lingkungan juga sangat berpengaruh. Di sejumlah kawasan, transaksi narkoba seakan sudah lumrah dilakukan di tempat umum. ”Bahkan, di acara organ tunggal, sembari mendengar musik, mereka berjoget, mereka menggunakan narkoba,” katanya.
Aktivitas ini sangat berbahaya, apalagi jika itu dilihat oleh anak kecil yang juga mengikuti acara tersebut. Aktivitas ilegal itu akan terekam kuat di ingatan mereka dan terbawa sampai mereka dewasa.
Masuk ke desa
Dalam melakukan aksinya, jaringan narkoba melakukan beragam modus untuk mengelabui petugas. Mulai dengan menggunakan perusahaan logistik hingga menggunakan agen perjalanan.
”Pangsa pasar mereka tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di wilayah desa,” ucap Heri. Mereka masuk ke sejumlah lini, salah satunya buruh perkebunan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petani mengangkut kelapa sawit yang akan disetor ke pengepul di Desa Gunungkembang, Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, Selasa (7/4/2015).
Kepala Seksi Rehabilitasi Korban Napza dan Perdagangan Orang Dinas Sosial Sumsel M Fadly mengisahkan pengalamannya ketika datang menyambangi dua desa perkebunan kelapa sawit, yakni Desa Sungai Ceper, Kecamatan Sungai Menang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin. Kedua daerah itu memang kawasan rawan narkoba.
Dari hasil pengamatan selama dua bulan pada 2019, peredaran narkoba di sana sangat masif. Bahkan, menggunakan sabu di depan umum terbilang lumrah. Berdasarkan hasil pemeriksaan urine di sebuah perusahaan perkebunan, 80 persen buruh yang bekerja di perkebunan tersebut merupakan pemakai.
Jadi, di satu meja, ada bandar, bendahara, dan pekerja.
Untuk mendapatkan narkoba pun terbilang mudah. Bandar narkoba akan menyediakan sabu bagi pekerja kebun di hadapan bendahara perusahaan perkebunan (petugas pemberi upah). ”Jadi, di satu meja, ada bandar, bendahara, dan pekerja. Jadi, upah dari pekerja itu langsung diberikan kepada bandar, kemudian bandar memberikannya (narkoba) kepada buruh tani,” tuturnya.
Pengawasan di desa, apalagi di kawasan perkebunan, jauh lebih lengang dibandingkan dengan di perkotaan. Di situasi itulah peredaran narkoba semakin menjalar secara leluasa.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumsel mengungkap jaringan internasional yang membawa 23 kilogram sabu dan ribuan butir ekstasi, Senin (12/8/2019). Jaringan membawa sabu dari Malaysia dan disalurkan melalui Batam, Pekanbaru, Sumsel, dan diedarkan di Mesuji Lampung.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi Sumatera Selatan Wilson mengatakan, maraknya peredaran narkoba di desa karena kebanyakan aparatnya juga pemakai. ”Tidak sedikit kepala desa yang ternyata juga pemakai,” katanya. Selama kebiasaan itu masih berlangsung, jangan harap peredaran narkoba di desa bisa hilang.
”Karena itu, pemberantasan narkoba harus dimulai dari jajaran atas dulu,” ucap Wilson. Selain itu, perlu komitmen dari seluruh jajaran untuk memberantas narkoba mulai dari diri sendiri.
Kepala BNN Provinsi Sumatera Selatan Brigadir Jenderal (Pol) Joko Prihadi mengatakan, peredaran narkoba di Sumsel tergolong sangat mekhawatirkan. ”Bisa dibilang, Sumsel itu kritis. Mereka (para pemakai) menjadikan narkoba sebagai doping penyemangat kerja,” ucap Joko.
Bahkan, untuk mengelabui petugas, kurir narkoba menggunakan anak-anak mulai usia 12 tahun. Tujuannya agar ketika mereka tertangkap, proses dan sanksi hukumnya akan lebih ringan dibandingkan dengan orang dewasa.
Dari hasil pemetaan sementara, ada 14 kawasan di Sumatera Selatan yang rawan narkoba. ”Mungkin jumlahnya bisa bertambah setelah kami melakukan pemetaan lanjutan,” ujarnya.
Melihat kondisi ini, Joko menginisiasi dibentuknya tim terpadu dari semua instansi terkait untuk memetakan kawasan yang berisiko disusupi sindikat narkoba, baik dari sisi pencegahan maupun pemberantasannya. Pemberatasan yang dimaksud bukan sekadar menangkap, melainkan juga membina dan merehabilitasi pengguna agar mereka tidak lagi terjerumus dalam kejahatan serupa.
Jika hanya berkutat pada pemenjaraan, ungkap Joko, penjara di Sumsel sudah melebihi kapasitas. Dari sekitar 15.000 narapidana di Sumsel, 51 persen di antaranya adalah terpidana kejahatan narkotika.
Dalam waktu dekat, ungkap Joko, pihaknya akan membuat peta jalan dan rencana aksi yang akan dijalankan dalam satu tahun ke depan agar penanganan masalah narkoba dapat dilakukan secara lebih terintegrasi dan tuntas. Kerja dari tim ini diharapkan ada payung hukumnya, termasuk anggaran untuk pelaksanaannya.
”Karena kegiatan ini sangat berkaitan untuk membangun kapabilitas sumber daya manusia di Sumsel,” ucapnya.