Tidak sedikit yang ragu saat proyek Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Sidrap pertama kali digagas pada 2012. Namun, keyakinan dan kolaborasi semua pihak membuat proyek ini berlanjut.
Oleh
RENY SRI AYU
·5 menit baca
Sebanyak 30 turbin berkapasitas masing-masing 2,5 megawatt pada akhirnya berdiri di perbukitan di Desa Mattirotasi dan Desa Lainungan, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Pembangkit listrik bertenaga bayu atau PLTB ini dibangun mulai 2015- 2016. Presiden Joko Widodo meresmikan PLTB Sidrap pada Juli 2018. Dengan kapasitas 75 megawatt, PLTB Sidrap menjadi pembangkit bertenaga bayu terbesar di Indonesia.
Dalam waktu hampir bersamaan, investor lain juga membangun pembangkit serupa di Kabupaten Jeneponto, Sulsel. Saat ini PLTB Tolo di Jeneponto pun sudah beroperasi. Ada 20 turbin berkapasitas masing-masing 3,6 megawatt (MW) atau total 72 MW yang berdiri berjejer di areal persawahan di Kecamatan Binamu, Jeneponto. Di PLTB Jeneponto, tiang turbin berukuran tinggi 133 meter dengan panjang bilah 63 meter. Pembangkit ini tercatat menjadi yang terbesar kedua di Indonesia.
Dengan kata lain, dari dua PLTB yang ada di Sulsel, total dayanya jika berproduksi penuh bisa mencapai 147 MW. Walau demikian, kontrak penjualan tenaga listrik dari dua pembangkit itu kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tidak penuh. Di Sidrap, misalnya, kontraknya sebesar 70 MW dan di Jeneponto sebanyak 60 MW.
Saat Kompas bersama tim dari PLN Unit Induk Pembangkitan dan Penyaluran (UIKL) Sulawesi berkunjung ke PLTB Sidrap, Selasa (12/10/2021), angin bertiup tak begitu kencang. Bilah sepanjang 57 meter yang terpasang pada poros baling-baling setinggi 80 meter tampak berputar mengikuti irama angin. Beberapa turbin hari itu sengaja dikunci karena petugas tengah melakukan perawatan rutin.
Menjadi pembangkit berbasis angin, PLTB Sidrap memang acap kali menghadapi musim angin kencang dan saat angin rendah. Ini kondisi yang lumrah. Biasanya, musim angin kencang terjadi pada bulan Mei sampai Oktober. Puncaknya adalah bulan Juli hingga September.
Presiden Joko Widodo meresmikan PLTB Sidrap pada Juli 2018. Dengan kapasitas 75 MW, PLTB Sidrap menjadi pembangkit bertenaga bayu terbesar di Indonesia.
Meski demikian, bukan berarti semua turbin tak bergerak sama sekali saat kecepatan angin rendah. Hanya saja putaran dan energi yang dihasilkan tak sama saat puncak musim angin. Biasanya masa seperti ini berada di musim peralihan. Saat tiupan angin rendah, pengelola memanfaatkannya untuk merawat turbin.
”Pergantian musim adalah kondisi terendah angin. Jika kecepatan angin belum sampai 3 meter per detik, turbin belum bisa berputar. Di sini rata-rata kecepatan angin 10-12 meter per detik. Kalau lagi bagus-bagusnya, bisa 12-20 meter per detik,” kata Manajer Operasi PLTB Sidrap Pribadhi Satriawan.
Pemilihan Sidrap sebagai lokasi PLTB sudah melalui penelitian dan pengkajian panjang. Awalnya, PT UPC Renewables Indonesia (UPC) dan mitra lokalnya, PT Binatek Energi Terbarukan (Binatek), mendapatkan laporan yang disusun Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang memberikan indikasi pendahuluan adanya kelayakan untuk memanfaatkan sumber daya angin di Sidrap untuk pembangkit listrik.
Saat itu UPC melihat potensi pasar di Indonesia yang masih terbuka serta adanya teknologi desain turbin baru yang dapat memanfaatkan sumber daya angin di daerah-daerah tropis seperti Indonesia. Informasi ini ditindaklanjuti pada tahun berikutnya dengan memasang tiga menara meteorologi di daerah perbukitan di Desa Mattirotasi dan Desa Teppo di Kabupaten Sidrap. Setelah mendapatkan data angin selama tiga bulan, pada April 2013 UPC menyusun studi pra-kelayakan untuk PLN.
Selanjutnya, data angin selama setahun kembali dikumpulkan, dan pada Februari 2014 UPC melanjutkan penyusunan studi kelayakan lengkap untuk PLN. Pada Agustus 2015, perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreement) PLTB Sidrap 75 MW ditandatangani bersama oleh PLN dan UPC.
Sejak proyek ini rampung dan dinyatakan layak setelah menjalani berbagai uji coba, PLTB Sidrap masuk dalam sistem transmisi PLN di Sulawesi bagian selatan (Sulbagsel). Di Sulawesi, sistem kelistrikan dan interkoneksi terbagi atas dua bagian, yakni Sulawesi bagian utara (Sulbagur), yang meliputi Sulawesi Utara, Gorontalo, dan sebagian Sulawesi Tengah, serta Sulbagsel meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan sebagian Sulawesi Tengah.
Pergantian musim adalah kondisi terendah angin. Jika kecepatan angin belum sampai 3 meter per detik, turbin belum bisa berputar.
Senior Manager Operasi Sistem PLN UIKL Sulawesi Anton Sugiarto mengatakan, sumber energi terbarukan adalah salah satu kekayaan alam di sistem Sulbagsel. Sejauh ini, berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, setidaknya masih ada potensi tenaga bayu untuk listrik lebih dari 400 MW, yang terdiri dari 350 MW di Sulsel dan masing-masing 30 MW di Sulbar dan Sulut.
Di luar potensi angin, Sulawesi juga punya potensi air yang cukup besar. Saat ini yang sudah dimanfaatkan untuk pembangkit di antaranya PLTA Sulewana di Poso, Sulawesi Tengah, yang dibangun oleh PT Poso Energi. Sekitar 315 MW sudah masuk dalam sistem Sulbagsel dan dalam beberapa bulan ke depan, pembangunan tahap ketiga akan rampung dengan kapasitas lebih dari 200 MW. Artinya, PLTA Sulewana akan menyalurkan listrik sebanyak 515 MW ke PLN.
Di Sulsel ada pula PLTA Bakaru dengan kapasitas 130 MW. Sejumlah PLTA lain juga masuk ke dalam sistem PLN Sulbagsel dengan kapasitas masing-masing bervariasi dari belasan hingga puluhan MW.
Anton mengatakan, potensi sumber energi terbarukan di Sulawesi, terutama Sulbagsel, memang cukup besar. Dua jenis yang paling berpotensi dikembangkan adalah bayu dan air. Potensi hidro bahkan mencapai 5.400 MW dan yang dimanfaatkan baru sekitar 700 MW.
”Khusus untuk Sulawesi, energi terbarukan ini ada yang berasal dari hidro, ada yang dari panas bumi (geotermal), kemudian bayu dan surya. Saat ini total bauran energinya hampir 30 persen atau setara 860 MW. Artinya, ini sudah melampaui target bauran nasional yang 23 persen untuk tahun 2025,” kata Anton.
Sementara pada bayu, selain soal cuaca, ada masalah saat musim angin kencang dan angin rendah serta peralatan yang saat ini belum dilengkapi kompensator.
Anton tak memungkiri pembangkit berbasis energi terbarukan ini masih memiliki kendala dan keterbatasan di sana-sini. Pada PLTA, misalnya, kondisi lingkungan, hulu, dan daerah aliran sungai, pembukaan lahan, hingga cuaca sangat berpengaruh pada ketersediaan air. Sementara pada bayu, selain soal cuaca, ada masalah saat musim angin kencang dan angin rendah serta peralatan yang saat ini belum dilengkapi kompensator.
”Karena alatnya tergantung angin, jadi ketika angin tiba-tiba berhenti, fluktuasi beban dari pembangkit ini cepat sekali drop. Kondisi drop ini bisa mengganggu stabilitas sistem. Itulah salah satu strateginya harus dilengkapi dengan kompensator, seperti baterai atau pembangkit respons cepat,” katanya.
Menurut Anton, di tengah keterbatasan tersebut, PLTB tetap diperlukan karena masa depan energi adalah energi hijau. Energi dari bayu masih diperlukan hingga bauran energi terbarukan bisa mencapai 50 persen. Dalam RUPTL 2021-2030, PLTB tetap masuk dalam program pembangunan kelistrikan. Di Sulawesi Selatan, pada 2024 bakal dibangun PLTB berkapasitas 60 MW dan pada 2026 berkapasitas 70 MW.