Belum semua jenis pembangkit listrik dari energi terbarukan mampu beroperasi 24 jam. Keandalan pasokan dan keterjangkauan tarif listrik masih menjadi pertimbangan utama pelanggan listrik PLN.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Optimalisasi sumber energi terbarukan menjadi tenaga listrik masih terkendala teknologi penyimpanan lewat baterai. Pasalnya, belum semua pembangkit listrik dari energi terbarukan bisa beroperasi selama 24 jam. Pengembangan energi terbarukan juga harus mempertimbangkan kondisi pasokan dan permintaan tenaga listrik di suatu wilayah.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan, pemerintah tetap berkomitmen menetapkan emisi nol karbon pada 2060 dengan mengoptimalkan sumber energi terbarukan. Namun, pemerintah juga menyadari adanya pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang memiliki kontrak panjang dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). ”Kami menghormati kontrak yang ada. Oleh karena itu, kami mengembangkan apa yang disebut sebagai transisi energi,” kata Suahasil saat menjadi pembicara kunci dalam webinar bertajuk ”Energi Terbarukan: Sudut Pandang Supply-Demand, Keterjangkauan Tarif, dan Keandalan Pasokan”, Kamis (21/10/2021).
Hadir sebagai narasumber dalam webinar ini Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov, dan Tenaga Fungsional Peneliti Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto.
Darmawan mengatakan, dilema pemanfaatan sumber energi terbarukan sejauh ini adalah sifatnya yang intermiten. Belum semua pembangkit listrik energi terbarukan mampu beroperasi 24 jam sehingga pasokan dari jenis energi lain atau penyimpan daya listrik (baterai) diperlukan.
Pemerintah tetap berkomitmen menetapkan emisi nol karbon pada 2060 dengan mengoptimalkan sumber energi terbarukan.
”Ongkos baterai yang digunakan untuk menyimpan energi masih tinggi, sekitar 30 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh). Apabila ada teknologi baterai baru dan biayanya lebih rendah, hal itu akan membantu. Meski pembangkit listrik dialihkan ke energi terbarukan, permintaan konsumen terhadap listrik tetap dan mungkin malah naik,” ucap Darmawan.
Keterjangkauan harga
Sementara itu, Abra mengingatkan bahwa target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 dan menjadi 31 persen tahun 2050 dapat terwujud sepanjang faktor keekonomiannya terpenuhi. Hal ini berarti, upaya pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan tak sekadar menaikkan persentasenya setiap tahun.
”Komitmen transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan harus menyejahterakan warga dan meningkatkan daya saing produksi, seperti pelaku industri manufaktur. (Pemanfaatannya) harus realistis dan pragmatis yang berarti mempertimbangkan kesehatan anggaran negara dan PLN sebagai pelaku pengusahaan listrik,” kata Abra.
Fenomena krisis energi yang terjadi di sejumlah negara di Eropa dan China, lanjut Abra, merupakan pelajaran bagi Indonesia. Negara-negara itu sebenarnya mengalami gangguan pasokan listrik dari sumber energi terbarukan sehingga membuat mereka kembali memanfaatkan energi fosil. ”Harus memperhatikan kondisi pasokan, intermitennya, dan kemampuan pelaku pengusahaan EBT,” ucapnya.
Negara-negara itu sebenarnya mengalami gangguan pasokan listrik dari sumber energi terbarukan sehingga membuat mereka kembali memanfaatkan energi fosil.
Berdasarkan survei YLKI, warga yang menjadi responden survei bersedia beralih menggunakan listrik dari pembangkit listrik energi terbarukan. Namun, faktor harga listrik dari sumber energi terbarukan masih menjadi pertimbangan utama responden untuk membuat keputusan dan hanya sedikit responden mau beralih ke energi terbarukan meskipun harganya lebih mahal daripada listrik energi fosil.
”Hal terpenting adalah pemerintah harus memberikan insentif, baik fiskal maupun nonfiskal, terhadap investasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Hal ini akan mampu menjaga aspek keterjangkauan harga listrik energi terbarukan kepada konsumen,” kata Tulus.
Sementara itu, menurut Joko, pemerintah sudah menjalankan sejumlah skema pembiayaan dan investasi untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa belanja pemerintah sudah mengarah ke subsidi bauran energi. Kemudian, skema kerja sama pemerintah dan badan usaha yang diterapkan ke beberapa proyek infrastruktur dan bisa pula dipakai untuk proyek pembangkit listrik energi terbarukan. ”Sejak 2016, pemerintah juga menerbitkan skema-skema pembiayaan ataupun insentif berbasis inovasi. Misalnya, sukuk hijau,” ujarnya.