Listrik Penerang Hadirkan ”Mendung Gelap” Petani di Danau Poso
Uji coba pembangkit listrik milik swasta di Poso dengan membendung badan air malah merendam ratusan hektar sawah produktif sejak Mei 2020. Petani terdampak dan menuntut keadilan yang proporsional.
Rerumputan berdaun runcing tumbuh menguasai petak sawah di Desa Meko, Pamona Barat, Poso, Sulawesi Tengah. Dalam 1,5 tahun terakhir, petak-petak sawah itu kalah oleh rerumputan yang tergenang air dengan kedalaman 5-30 sentimeter. Air berubah warna kecoklatan karena akar rumput sebagian telah membusuk.
Tiga bulan lalu, pemilik sawah, Berlin Madjanggo (61), menyemprotkan herbisida di petak-petak tersebut. Seiring waktu dan terus tergenangnya air, rumput kembali menjejali petak sawah. ”Saya masih semprot dengan herbisida dengan harapan airnya surut dan tak masuk ke petak lagi sehingga sawah bisa segera diolah. Ternyata air kembali masuk dan sawah ini tak pernah kering lagi,” tutur petani sekaligus Ketua Dewan Adat Desa Meko, Sulawesi Tengah, Sabtu (2/10/2021).
Lahan Berlin yang tak bisa diolah seluas 93 are, hampir 1 hektar. Ia tak bisa mengolah lahannya sejak pertengahan 2020 karena pasang air Danau Poso. Sawah dengan produksi tak kurang dari 3 ton padi itu ditelantarkan. Padahal, jika keadaan normal, hati Berlin saat ini berbunga karena padi akan segera dipanen, seperti di sawah-sawah lainnya di Meko. Ia hanya bisa menggelengkan kepala sambil menelan ludah melihat hamparan rumput liar.
Sekitar 3 kilometer dari petak sawah Berlin, genangan air dengan kedalaman 20-50 cm juga merendam petak sawah Runtulembah Tumatio (57) di Desa Toinasa. Delapan petak sawah dengan ukuran 10 meter x 40 meter tak tersisa tanaman padinya. Padahal, jika kondisi normal, padi di sawah Runtulembah tinggal 1,5 bulan lagi dipanen, seperti padi di lima petak lainnya yang masih bisa ditanami.
”Saya masih tabur benih padi di delapan petak yang tergenang ini 2,5 bulan lalu. Tetapi, air masuk dan tetap tergenang, jadi benih mati,” ujar bapak enam anak tersebut yang menanami padi dengan tabur benih di petak.
Jika digabung dengan lahan milik anggota keluarga yang diolah Runtulembah, tak sampai separuh dari 1,5 hektar sawah yang ditanami padi. Padahal, dari sawah seluas itu ia bisa mendapatkan minimal 3 ton beras. ”Kami pusing. Biasa pergi ke sawah setiap hari, sekarang ini lebih banyak duduk bengong di rumah,” ujar Ambrawati Rantelore (61), istri Runtulembah.
Pemerintah dan PT Poso Energy belum pernah menggelar musyawarah di Desa Meko. (Berlin Madjanggo).
Petak sawah Berlian dan Runtulembah serta sejumlah petani lain di sekitar Danau Poso mulai teredam sejak Mei 2020. Di bulan tersebut, pasang danau menjangkau hingga 300 meter dari bibir pantai dengan ketinggian air sampai 1,5 meter. Lahan Berlin berjarak sekitar 200 meter dari garis pantai Danau Poso, sawah Runtulembah hanya 50 meter dari bibir pantai.
Berlin dan Runtulembah awalnya mengira pasang danau itu biasa. Pasang fenomena yang sering terjadi pada April-Mei hampir saban tahun karena debit sungai—termasuk Sungai Meko yang mengalir ke Danau Poso—bertambah seiring curah hujan tinggi. Sungai tersebut pun sering meluap. Pada Juni, air kembali surut seiring berkurangnya curah hujan sehingga sawah kembali bisa diolah agar bisa dipanen pada Oktober-November dan setelahnya ditanami lagi pada akhir November atau paling lambat awal Desember untuk nantinya diketam pada Maret. Dengan pengetahuan itu, umumnya petani bisa menghindari pasang pada April-Mei meski ada saja yang tak mengikuti siklus.
Namun, pada Juni 2020, air yang menggenangi sawah tak lagi lekas surut. Malah dalam periode-periode tertentu air kembali pasang, seperti terjadi di sawah Berlin dan Runtulembah, 2,5 bulan hingga 3 bulan lalu.Para petanibelakangan mengetahui ada uji coba operasi bendungan PLTA Poso 1 di Desa Saojo, Kecamatan Pamona Puselemba, sekitar 30 kilometer dari Desa Meko, sejak April 2020.
”Kami menduga terendamnya sawah karena bendungan PLTA Poso 1. Air dibendung otomatis ada genangan sehingga terjadi kenaikan muka air danau yang akibatnya muncul pasang di mana-mana,” tutur Berlin yang mengolah sawah sejak 1987.
Bendungan PLTA Poso 1 yang dioperasikan PT Poso Energy di Sungai Poso diuji coba April 2020 hingga saat ini. Bersama dengan PLTA Poso 2, perusahaan itu menghasilkan 415 megawatt daya listrik yang dialirkan atau dijual ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Bendungan PLTA Poso 1 berjarak 13 kilometer dari Danau Poso. Bendungan satu hamparan datar dengan Danau Poso sebagai sumber air sungai, beda dengan bendungan PLTA Poso 2 yang berada di kemiringan. Saat Kompas bersama rombongan Komisi VII DPR mengunjungi PLTA Poso pada Jumat (1/10/2021), muka air bendungan PLTA Poso 1 berada di elevasi 511 meter di atas permukaan laut (mdpl). Angka tersebut lebih tinggi daripada level terendah dalam keadaan normal muka Danau Poso, yakni 509.2 mdpl.
Pasang Danau Poso masuk ke sawah-sawah warga, antara lain melalui titik atau alur pembuangan dari irigasi, seperti terlihat di Desa Toinasa, Kecamatan Pamona Barat. Alur tersebut sulit dikenali lagi karena ditumbuhi rumput. Jalan masuk pasang danau ke sawah hampir rata dengan posisi muka air. Sementara di titik-titik lain, air dari danau terhalang gundukan tanah atau tanggul beton. Hal itu seperti terlihat di sawah-sawah Kelurahan Pamona yang tak terimbas pasang.
Baca juga: Kebutuhan Listrik untuk Industri Pengolahan Nikel di Sulteng Disiapkan
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman warga, garis pantai di sejumlah titik memang bergeser jauh ke darat. Di Pantai Siuri, salah satu kawasan wisata di pinggir Danau Poso, air mengintrusi darat hingga 20 meter.
Putus sekolah
Dinas Pertanian Poso mencatat, 266 hektar sawah terdampak pasang yang diduga karena uji coba bendungan PLTA Poso 1. Jika dihitung dengan produktivitas sawah di pinggir Danau Poso yang dalam catatan pemkab 1,5 ton padi per hektar dengan harga Rp 8.000 per kilogram, maka secara akumulatif adalah potensi kehilangan senilai Rp 3,19 miliar per musim panen.
Total 13 desa terdampak pasang tersebar di empat kecamatan. Selain Desa Meko dan Toinasa, juga terdampak sawah di Desa Peura, Dulumai, Tindoli, Tokilo, Salukaia, dan Buyumpandoli. Tak hanya sawah, di sejumlah desa, padang penggembalaan kerbau juga turut terendam yang mengakibatkan kematian massal tahun lalu dan kompensasinya sementara diurus.
Warga mulai merasakan kehilangan penghasilan. Banyak anak putus sekolah atau tak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya karena masalah biaya.
Berlin, misalnya, menghentikan pendidikan Jenly (19), anak keempatnya, di semester dua. Saat ini, ia bekerja untuk mendapatkan penghasilan sehingga bisa ditabung guna melanjutkan kuliahnya nanti.
Atas dasar kerugian itu, warga menuntut tanggung jawab PT Poso Energy. Sejumlah desa sudah menerima kompensasi yang ditawarkan perusahaan yang menjadi bagian dari Kalla Group karena tak diolahnya sawah. Itu diterima petani Salukaia di Pamona Barat dan Desa Tokilo, Tolambo, serta Tindoli di Kecamatan Pamona Tenggara. Petani lainnya masih menolak kompensasi 10 kilogram beras per are tersebut. Mereka beralasan angka itu jauh dari fakta. ”Sepuluh kilogram beras itu kategori gagal panen,” tutur Berlin.
Berlin dan sejumlah petani punya kalkulasi lain. Mereka menghitung biaya pengolahan sawah dan panenannya. Untuk sawahnya seluas 93 are, biaya pengolahan, antara lain ongkos pekerjaan, pembelian pupuk, dan pestisida, sekitar Rp 3,9 juta. Dari segi hasil, ditaksir 4,2 ton yang kalau diuangkan dengan harga Rp 9.000 per kilogram menjadi Rp 37,8 juta. Hasil semusim tanam Rp 33,9 juta.
Perhitungan itu juga yang dipakai petani Desa Meko dalam gugatan warga di Pengadilan Negeri Poso yang akhirnya dicabut untuk membuka dialog dengan para pihak. Angka tersebut hampir empat kali lipat dari kompensasi yang ditawarkan Poso Energy. ”Ini, kan, perhitungan dari kami. Kita harus duduk bersama mencari titik temunya,” tutur Berlin yang menyebut pemerintah dan PT Poso Energy belum pernah menggelar musyawarah di desanya.
Cari solusi
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Poso Suratno mengakui terendamnya sawah di pinggir Danau Poso akibat bendungan PLTA Poso 1. Selama ini memang ada pasang-surut karena curah hujan tinggi, tetapi warga bisa menyiasatinya. ”Nah, setelah ada pintu PLTA Poso 1 rupanya air tidak cepat surut mungkin karena memang (muka air) lebih tinggi daripada biasanya. Itu harus kita akui. Kami mendesak mau tidak mau harus diselesaikan agar masalah tak lanjut terus,” tuturnya.
Suratno menyampaikan, secara teknis angka ideal untuk kompensasi 15 kg hingga 17,5 kg beras per are. Perhitungan tersebut diakuinya telah disampaikan ke perusahaan.
Manajer Lingkungan, Kehutanan, dan Corporate Social Responsibility PT Poso Energy Irma Suriani menyatakan, pihaknya tak bisa memungkiri dampak terendamnya sawah karena uji coba bendungan PLTA Poso 1. ”Memang ada andil, tetapi tidak 100 persen juga dari Poso Energy. Karena ada hujan. Itu pun sampai Juni, ya. Setelah itu normal,” tuturnya.
Ia mengakui elevasi danau pada saat uji coba dinaikkan dalam batas yang diizinkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Level tertinggi saat uji coba 511.7 mdpl meski izin hingga 512.2 mdpl. Naiknya elevasi itu, ditambah curah hujan tinggi pada April-Mei, mengakibatkan meluapnya sungai-sungai yang bermuara ke danau, seperti Sungai Meko dan Sungai Salukaia.
Khusus Meko disebutkan sungai itu sudah rusak karena sedimentasi. ”Itulah yang meluap sampai ke sawah-sawah warga yang jaraknya jauh dari danau. Maka itulah yang diklaim (terendam),” ujarnya.
Irma menegaskan, pihaknya bertanggung jawab atas terendamnya sawah para petani. Namun, ada proses untuk memastikan sawah-sawah terdampak dengan mengacu pada peta dampak kenaikan muka air danau dan penggunaan pesawat nirawak (drone). Hasil itu pun perlu divalidasi tim di lapangan. Itu dilakukan di sejumlah desa yang telah menerima kompensasi satu musim tanam. Luas sawah terdampak versi PT Poso Energy sama dengan pengukuran Dinas Pertanian Poso, yakni 266 hektar.
Terkait kompensasi kerugian tanam 10 kg per are, Irma menuturkan sejauh ini tak ada warga yang menolak karena angka itu ditanyakan ke mereka. ”Kalau warga bilang 9 kg per are, kami jadiin 10 kg. Kalaupun ada isu-isu seperti itu (kompensasi ditolak), kami cuek saja. Biasalah ada yang kembangkan itu,” katanya.
Direktur Institut Mosintuwu Lian Gogali yang juga menginisiasi pembentukan Aliansi Penjaga Danau Poso, termasuk mengadvokasi warga yang sawahnya terdampak, menyatakan, masalah kompensasi terhadap petani harus dihitung secara adil. Titik tolaknya dari kerugian petani, bukan kalkulasi perusahaan. Kompensasi pun harus sah. Semua pihak memiliki informasi yang cukup dalam menentukan kompensasi.
Wakil Bupati Poso Yasin Mangun mengakui adanya masalah sosial di pinggir Danau Poso. Pemerintah tengah memediasi penyelesaian yang baik untuk masyarakat dan perusahaan. Hak-hak masyarakat bisa dikembalikan dalam arti ada kompensasinya dan pihak PT Poso Energy tidak dirugikan atau bisa beroperasi dengan baik. Harapannya, setelah ini selesai semua bisa berjalan normal.
Semua pihak harus mengutamakan solusi yang adil dan jangka panjang agar terang yang dialirkan Sungai dan Danau Poso melalui PLTA untuk banyak orang tak menjadi gelap bagi kehidupan masyarakat yang sudah lama mendiami sekitar danau. Terang listrik tak sepatutnya mengalir dengan menghadirkan gelap bagi warga di sekitar sumbernya.
Baca juga: Upaya Menuju Energi Bersih