Meski tidak mudah, upaya menuju energi bersih tidak boleh berhenti. COP26 menjadi ujian, apakah masyarakat dunia berani berkorban untuk masa depan yang lebih baik.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Menjelang Konferensi Para Pihak atau COP26 di Glasgow bulan depan, isu energi bersih semakin mengemuka terkait pemanasan Bumi dan perubahan iklim.
Tantangan terbesar COP26 adalah membangun solidaritas negara kaya terhadap negara miskin agar kenaikan suhu tidak melebihi titik kritis 1,5° celsius. Ini berarti mengendalikan emisi karbon lebih banyak dan lebih cepat, menyepakati dukungan finansial kepada negara berkembang untuk pembangunan rendah emisi karbon, sekaligus beradaptasi terhadap perubahan iklim untuk mengembangkan model ekonomi baru.
Meski demikian, tidak mudah mengonversi energi fosil, terutama minyak bumi dan batubara, menjadi energi baru terbarukan yang bersih, tidak mencemari atmosfer. Selain cadangan di alam masih banyak tersedia, energi fosil juga murah. Enam tahun setelah Kesepakatan Paris, upaya penurunan emisi karbon masih belum signifikan.
Oleh karena itu, sukses COP26 amat ditentukan dari keberhasilan ”memaksa” negara-negara anggota mengendalikan emisi karbon. COP adalah ajang pertemuan tahunan 197 anggota Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Pertemuan pada 31 Oktober-12 November 2021 di Glasgow, Inggris, adalah yang ke-26.
Emisi karbon yang terjebak di atmosfer menghalangi pantulan sinar Matahari sehingga meningkatkan suhu Bumi. Dibandingkan dengan rata-rata suhu pada tahun 1850-1900 sebelum Revolusi Industri, saat ini suhu Bumi sudah meningkat 1,06-1,26° celsius.
Menurut para peneliti, untuk mencegah kenaikan suhu 1,5° celsius, emisi harus dikurangi 45 persen dari level emisi tahun 2010. Peningkatan suhu Bumi telah memicu perubahan iklim dan cuaca ekstrem. Selain pelbagai bencana alam, peningkatan suhu Bumi akan merusak pola tanam dan mengancam ketersediaan pangan dunia.
Selain pelbagai bencana alam, peningkatan suhu Bumi akan merusak pola tanam dan mengancam ketersediaan pangan dunia.
Hingga sekarang, baru Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, dan Inggris, dari 110 negara maju, yang sudah memasukkan perbaikan rencana pengurangan karbon. Sementara China, India, dan Arab Saudi tenang-tenang saja. Australia, salah satu dari 15 negara penghasil karbon terbesar dunia, juga hanya mengafirmasi komitmen lama. Sementara Brasil malah menurunkan target komitmennya.
Di sisi lain, penggunaan energi bersih memang masih sangat mahal. Kalau di Belgia dan Belanda saja masih mengombinasikan gas alam dengan batubara, bisa dibayangkan bagaimana kondisi di negara-negara berkembang yang listriknya bahkan belum merata di semua wilayah.
Indonesia pun, meski ada berbagai kebijakan penerapan energi bersih, penggunaan energi fosil masih mendominasi. Bahkan, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 masih menyebut pemanfaatan energi fosil hingga tahun 2050.
Maka, meski tidak mudah, upaya menuju energi bersih tidak boleh berhenti. COP26 menjadi ujian, apakah masyarakat dunia berani berkorban untuk masa depan yang lebih baik.