Tingkat ketergantungan energi fosil di Indonesia masih tinggi. Perhitungan emisi sementara tahun 2020 masih 579 juta ton karbon dioksida. Energi baru terbarukan perlu didorong pemerintah untuk dapat mencapai nol emisi.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat ketergantungan energi fosil di Indonesia masih tinggi. Walaupun terjadi penurunan emisi akibat dari pandemi Covid-19 yang mengurangi mobilitas masyarakat serta kegiatan sektor industri dan komersial, jumlah perhitungan emisi sementara tahun 2020 masih mencapai 579 juta ton karbon dioksida. Jumlah ini memang menurun dibandingkan dengan dominasi penggunaan energi fosil pada tahun 2019 yang mencapai 638 juta ton karbon dioksida.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto dalam webinar nasional ”Transisi Energi Net Zero Emission: Tantangan Ketahanan Energi dan Transformasi Sektor” di Jakarta, Senin (27/9/2021), mengatakan, ”Saat ini, tingkat ketergantungan energi fosil di Indonesia masih tinggi. Padahal, cadangan energi fosil makin menipis, khususnya minyak bumi. Untuk itu, percepatan transformasi penggunaan energi fosil menuju pemanfaatan EBT dan energi rendah karbon merupakan sesuatu yang mutlak perlu dilakukan.”
Transisi energi dinilai sangat krusial, terutama untuk menjaga ketahanan energi dan keberlanjutan penyediaan energi pada masa mendatang. Strategi energi secara bertahap dan terukur diperlukan mengingat peran energi fosil masih diperlukan sebagai transisi.
Menurut Djoko, Indonesia berkomitmen terhadap kesepakatan Paris Agreement untuk menurunkan gas rumah kaca sebesar 29 persen dari business as usual atau dengan kemampuan sendiri. Atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030 dari total emisi business as usual sebesar 2,869 juta ton karbon dioksida.
Dewan Energi Nasional mencatat, bauran energi primer tahun 2020 masih didominasi energi fosil. Batubara mencapai sebesar 38 persen, minyak bumi 31,6 persen, dan gas bumi 19,2 persen. Sementara bauran energi baru terbarukan (EBT) baru mencapai 11,2 persen. Untuk itu, pemanfaatan sumber EBT harus dioptimalkan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Tren arah kebijakan global ataupun nasional saat ini adalah menuju pembangunan rendah karbon dan energi bersih pada 2039. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai target tujuan pembangunan berkelanjutan, khususnya energi bersih dan aksi perubahan iklim. Inisiatif Indonesia, antara lain, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, mempercepat teknologi inovatif, dan memobilisasi pembiayaan yang cukup untuk pelaksanaan program-program pemerintah.
Menurut Djoko, dalam berbagai forum internasional, pernyataan Indonesia pada Leaders Summits on Climate, 22 April 2021, di antaranya, akan membuka investasi transisi energi melalui pembangunan bahan bakar nabati, industri baterai litium, dan kendaraan listrik. Pada pertemuan G-20, Indonesia akan terus berupaya mengatasi isu-isu terkait dengan akses energi, teknologi cerdas dan bersih, serta pembiayaan di sektor energi.
Transisi energi menuju energi baru terbarukan dan energi rendah karbon merupakan komitmen nasional sesuai dengan PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang rencana umum energi nasional, yaitu untuk mencapai bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun 2025, penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 34,8 persen, dan penghematan energi final dari skenario business as usual 17 persen pada 2025.
Berdasarkan temuan DEN, emisi terbesar berasal dari sektor pembangkit listrik yang menyumbang 48 persen dari total emisi. Disusul, sektor transportasi 23 persen dan industri 17 persen. Adapun penurunan emisi dari kegiatan mitigasi tahun 2020 mencapai 64,4 juta ton karbon dioksida, yang sebagian besar berasal dari penggunaan pembangun EBT, biodiesel, dan efisiensi energi.
Satya Widya Yudha, pakar geopolitik dan ekonomi energi, mengatakan, dalam kebijakan energi nasional, definisi yang telah disepakati adalah kondisi terjaminnya ketersediaan energi, akses masyarakat teradap energi, dan harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan lingkungan hidup.
Hal ini dicapai dengan beberapa hal, yakni sumber energi sebagai modal pembangunan bangsa. Tidak bisa hanya menggunakan revenue pemerintah atau pendapatan negara saja, tetapi harus sebagai modal pembangunan. Kemandirian dicapai di dalam pengelolaan energi, ketersediaan energi dalam negeri, pengelolaan sumber daya energi secara optimal, pemanfaatan energi secara efisien di semua sektor, dan akses masyarakat terhadap energi secara adil dan merata, serta pengembangan kemampuan teknologi dan sebagainya.
”Bisa dibayangkan, kebijakan energi nasional, khususnya ketahanan energi, Dewan Energi Nasional melihat ketahanan energi dalam beberapa aspek dan memberikan suatu penilaian. Hal ini tentu akan disempurnakan dari waktu ke waktu,” ujar Satya.
Kebijakan energi nasional menjadikan energi tetap sebagai modal pembangunan. Diharapkan, tahun 2035 tidak ada lagi ekspor gas. ”Kita memaksimalkan gas untuk penggunaan dalam negeri. Begitu pula batubara, tidak boleh ada ekspor lagi pada tahun 2046,” ujar Satya.
Dia meminta sejumlah pemangku kepentingan bersabar karena kebijakan energi nasional dibuat pada 2014. Tentunya, perlu dilakukan penyesuaian dengan berbagai indikator perubahan global. Dalam hal ini, gas lebih menjadi penyangga dari energi karena relatif rendah karbon dibandingkan dengan batubara. Terlebih, saat ini juga ada pendapatan yang digunakan untuk mengembangkan EBT, mulai dari cukai bahan bakar minyak (BBM), premi pengurasan hulu migas, insentif fiskal dan anggaran pemerintah.
Satya mengatakan, emisi nol atau net zero emission lebih mengarah pada proses yang mengacu pada permesinan (motor). Skema untuk mencapai NZE, Indonesia harus menentukan dulu puncak emisi sebelum meramal menuju NZE.
”Negara maju sudah mencapai puncak emisi sebelum tahun 2021 karena pertumbuhan konsumsi energi sangat kecil atau zero growth. Misalnya, UK menentukan puncak emisi pada tahun 1973, Uni Eropa tahun 1979, Amerika tahun 2007, dan Jepang tahun 2004,” kata Satya.
Sementara, menurut Satya, negara-negara berkembang (berpendapatan menengah-rendah) masih mengalami pertumbuhan konsumsi energi sebagai penggerak untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Diperkirakan, jika melihat pendekatan yang dilakukan China yang dikategorikan negara maju, puncak emisi akan terjadi sekitar tahun 2030. India memperkirakan tahun 2030-2050.
Bappenas memperkirakan, dengan asumsi pertumbuhan sebesar 6 persen pascapandemi Covid-19, baru akan membawa Indonesia menjadi negara maju atau lepas dari middle income trap tahun 2043. Di sinilah kunci menentukan puncak emisi Indonesia yang diharapkan sekitar tahun 2040 sehingga bisa diperkirakan NZE.
”Tidak bisa kita membandingkan dengan Eropa dan negara-negara lain karena Indonesia memiliki kekhususan dibandingkan dengan setiap negara,” kata Satya.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi mengatakan, untuk mendorong NZE, konversi sepeda motor listrik perlu dilakukan melalui peralihan bengkel. Selain itu, Kemenhub melakukannya melalui pengujian fisik kendaraan bermotor dengan penggerak motor listrik.
”Kami juga sudah menyiapkan pengujian tipe fisik kendaraan bermotor listrik yang berbasis baterai,” ujar Budi.
Budi mengatakan, Perpres Nomor 55 Tahun 2019 juga sudah terkait dengan adanya insentif fiskal ataupun nonfiskal kendaraan berbasis listrik. Sebagai wujud komitmen, beberapa kementerian mengeluarkan sejumlah peraturan menteri sehingga ada percepatan dan kemudahan bagi pelaku industri. Tidak hanya proses manufakturnya, tetapi juga proses penggunaannya yang terkait dengan pajak dan relaksasi lainnya.
Menurut Budi, beberapa gubernur juga sudah menyelesaikan peraturan gubernur terkait dengan insentif fiskal, di antaranya ditujukan untuk insentif kendaraan bermotor listrik. Selain sudah berada di beberapa pemerintah daerah, Kemenhub sedang menginisiasi kembali dengan mempertemukan pihak agen pemegang merek (APM) atau asosiasi sepeda motor listrik Indonesia dan pemda sehingga nantinya pajak kendaraan listrik akan berbeda dari sisi besaran biayanya dibandingkan dengan kendaraan bermotor konvensional berbahan bakar minyak dari fosil.