Kebutuhan Listrik untuk Industri Pengolahan Nikel di Sulteng Disiapkan
Pembangunan pembangkit dan transmisi untuk memenuhi kebutuhan listrik di Sulawesi Tengah, termasuk kebutuhan industri pengolahan nikel, terus dilakukan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·5 menit baca
PALU, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) terus membangun pembangkit dan transmisi untuk memenuhi kebutuhan listrik di Sulawesi Tengah, termasuk kebutuhan industri pengolahan nikel. Listrik dari energi baru dan terbarukan yang besar potensinya di Indonesia saat ini menjadi keharusan sebagai komitmen menyiapkan energi bersih demi mengurangi dampak perubahan iklim.
Direktur Megaproyek dan Energi Baru Terbarukan PT PLN Wiluyo Kusdhiharto menyatakan, pihaknya telah menandatangani perjanjian jual beli listrik 300 megawatt (MW) dengan sejumlah perusahaan pengolahan nikel (smelter) di Sulteng.
Hal itu dikemukakannya saat kunjungan kerja bersama Komisi VII DPR di pembangkit listrik tenaga air (PLTA) milik PT Poso Energy di Desa Sulewana, Kecamatan Utara, Kabupaten Poso, Sulteng, Jumat (1/10/2021). Selain ketua rombongan Komisi VII Sugeng Suparwoto, hadir juga Wakil Presiden periode 2004-2009 dan 2014-2019 Jusuf Kalla, yang juga pemilik Kalla Group, perusahaan induk PT Poso Energy.
”Listrik dari PLTA Poso III sangat bermanfaat karena banyak sekali industri pengolahan nikel yang masuk ke Sulawesi, terutama Sulteng, di Kawasan Ekonomi Khusus Palu di Kota Palu dan Bungku (di Kabupaten Morowali),” ujarnya.
PLTA Poso sejauh ini telah menghasilkan daya 415 MW dari PLTA Poso I dan PLTA Poso II. PLTA Poso memanfaatkan Sungai Poso yang berasal dari Danau Poso sebagai sumber energi. Air sungai dibendung untuk kepentingan pembangkit. Dari bendungan, air dialirkan dengan pipa pesat besar menuju turbin.
Wiluyo menerangkan, saat ini pihaknya membangun transmisi untuk mendukung kebutuhan listrik di Sulawesi, termasuk Sulteng untuk kebutuhan industri nikel sebagai bagian dari jejaring industri bahan baku baterai kendaraan listrik. Transmisi dibangun dengan sistem interkoneksi dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Saat ini, transmisi sudah dibangun sampai ke Sulawesi Barat. Transmisi menuju Sulteng sementara dibangun untuk selanjutnya diteruskan ke Gorontalo dan Sulawesi Utara. Transmisi tersebut penting segera diselesaikan karena sudah banyak pembangkit yang dibangun.
Direktur PT Poso Energy Achmad Kalla menyatakan, untuk PLTA Poso III, pihaknya tengah membangun infrastrukturnya. Tak menyebutkan waktu spesifik, ia menyatakan rampungnya pembangunan PLTA III masih lama.
Energi baru terbarukan
Sugeng menuturkan, energi baru terbarukan (EBT) dengan sifat dapat diperbarui dan bersih untuk Indonesia, seperti PLTA, sudah menjadi keharusan. ”Kita tak bisa lagi balik ke energi fosil yang terbukti polutif dan terbatas. PLTA Poso ini salah satu contoh energi yang dapat diperbarui,” katanya.
Sejumlah industri pengolahan nikel di Sulteng, terutama di Morowali dan Morowali Utara, sejauh ini membangun pembangkit sendiri dengan sumber eneregi fosil dari batubara.
Sugeng menyebutkan, di Indonesia, potensi energi dari PLTA mencapai 420 gigawatt. Potensi itu harus dimanfaatkan meskipun tak mudah untuk membangun PLTA dengan berbagai masalah yang muncul, seperti masalah lingkungan dan persediaan, serta permintaan listrik pada umumnya.
Tahun ini, target dari EBT 400 MW telah terbangun 270 MW. Sisanya akan dipercepat (pembangunannya).
Saat ini, pemerintah menyiapkan rancangan undang-undang (RUU) EBT. DPR telah menerimanya melalui Badan Legislatif. Sugeng menyatakan, RUU tersebut ditargetkan bisa selesai pada akhir tahun ini.
Wiluyo menyatakan, pemanfaatan EBT terus dikebut. Target bauran EBT pada 2025 mencapai 23 persen harus dipenuhi dari saat ini sekitar 11 persen. ”Langkah-langkahnya membangun pembangkit baru (dari EBT). Tahun ini, target dari EBT 400 MW, telah terbangun 270 MW. Sisanya akan dipercepat (pembangunannya),” ujarnya.
Langkah lainnya untuk mempercepat pencapaian bauran EBT yakni dengan melakukan co-firing dari sumber energi batubara ke biomassa. Selain itu, ada juga upaya hibrid energi diesel dengan EBT, seperti tenaga angin (bayu).
Diduga terdampak
Terkait operasi bendungan PLTA Poso I, dalam setahun terakhir, sejumlah masyarakat di sekitar Danau Poso menggelar berbagai unjuk rasa atas dasar dugaan dampak negatif bendung dalam uji coba operasi pada 2020. Diduga bendungan tersebut mengakibatkan banyak sawah di pinggir danau terendam air. Hal itu diduga karena uji coba bendungan mengakibatkan muka air danau naik. Bendungan PLTA Poso I berjarak sekitar 13 kilometer dari Danau Poso.
Di Desa Meko, Kecamatan Pamona Barat, seperti dituturkan Ketua Adat Berlin Modjanggo (61), seluas 90 hektar sawah terendam pada Mei 2020 atau selepas uji coba operasi bendungan. Pasang air danau di sawah sekitar 1 meter. Saat ini, air masih juga masuk ke sawah dalam bentuk pasang-surut. Sawah tersebut tak diolah lagi.
Sejumlah petani sempat menanami sawah dengan tanaman jangka pendek, tetapi saat pasang, air masuk lagi. Luas sawah Berlin yang terdampak 93 are, yang kalau ditanami padi bisa menghasilkan 3 ton beras. Sawah berjarak sekitar 200 meter dari garis tepi Danau Poso.
”Ketika dilakukan pembangunan PLTA Poso I yang mendekati pintu air sungai, secara otomatis aliran sungai terhambat sehingga diduga (sawah terendam itu) akibat pembangunan itu (bendungan),” ujar Berlin saat dihubungi.
Berlin menyatakan, selama ini belum pernah terjadi hal seperti itu, termasuk pada saat hujan lebat. Danau memang bisa meluap merendam sawah, tetapi setelah itu air surut lagi sehingga sawah tetap bisa diolah. Pun pada saat beroperasinya bendungan untuk PLTA Poso II, dampak negatif tak terjadi karena bendungan itu lebih jauh dan berada di kemiringan.
Menanggapi hal itu, Achmad Kalla menyatakan, uji coba bendungan tahun lalu kebetulan terjadi bersamaan dengan banjir besar. ”Lagi coba (operasikan bendungan), bersamaan dengan hujan lebat, banjir besar. Ada daerah tertentu yang kebanjiran. Itu saja. Itu tahun lalu, sudah lama dan sekarang tidak ada lagi,” ujarnya.
Saat ditanya apakah dalam analisis dampak lingkungan ada potensi untuk dampak negatif, termasuk sawah di sekitar danau bisa terendam, Achmad menegaskan, bendungan tersebut bisa diatur, maksimum dan minimum penampungan airnya. ”Jadi, waktu itu ada percobaan untuk minimum dan maksimumnya. Pas maksimum dicoba, terjadilah itu,” ujarnya.
Sugeng menyampaikan, dampak sekecil apa pun terkait pembangunan, termasuk dalam konteks PLTA Poso, harus diselesaikan dengan duduk bersama. ”Saya juga sudah dengar itu (sawah terendam). Kami sudah sepakat dengan Wakil Gubernur Sulteng Ma’mun Amir, Bupati Poso Verna Inkiriwang, bahkan dengan Pak JK (Jusuf Kalla). Intinya, kami cari solusi terhadap dampak itu. Kami tak menafikan itu,” ujarnya.
Wakil Bupati Poso Yasin Mangun mengakui adanya masalah sosial tersebut. Ia menyatakan, saat ini pemerintah tengah memediasi penyelesaian yang baik untuk masyarakat dan perusahaan. Hak-hak masayarakat bisa dikembalikan dalam arti ada kompensasinya dan pihak PT Poso Energy tidak dirugikan atau bisa melaksanakan operasinya dengan baik. Harapannya, setelah ini selesai semua bisa normal.