Warga Surabaya boleh bangga karena ibu kota Jawa Timur ini mendapat penghargaan sebagai kota dengan udara terbersih di Asia Tenggara. Namun, di sisi lain, pencemaran air dan tanah perlu mendapat perhatian dan penanganan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Surabaya, ibu kota Jawa Timur, mendapat penghargaan kategori udara terbersih kota besar dari ASEAN Environmentally Sustainable City (ESC). Penghargaan itu merupakan yang pertama kali diraih Surabaya sepanjang sejarah. Dengan penghargaan itu Surabaya diakui sebagai kota dengan udara terbersih di Asia Tenggara saat ini.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menerima penghargaan itu di Jakarta, Kamis (21/10/2021). Anugerah diberikan dalam acara bertajuk ”The 5 ASEAN ESC Award and the 4 Certificate of Recognition”. Penghargaan terdiri dari kategori clean air (udara bersih), clean land (tanah bersih), dan clean water (air bersih).
”Dari penghargaan ini, Surabaya dinilai mampu mengatasi emisi dan polusi,” kata Eri.
Eri mengatakan, cara yang ditempuh Surabaya dalam menekan emisi dan polusi udara ialah memperbanyak dan merawat ruang terbuka hijau. Dalam situasi pandemi Covid-19, penurunan mobilitas masyarakat karena pembatasan sosial juga turut berkontribusi terhadap kebersihan udara. Pengurangan aktivitas berarti berkurang kepadatan lalu lintas sehingga linier dengan penurunan polusi dari gas buang kendaraan.
Di sisi lain, perawatan jalur hijau, taman, dan penambahan ruang terbuka hijau, lanjut Eri, dipandang sebagai cara yang efektif untuk meningkatkan kualitas udara perkotaan. Penurunan mobilitas dan penambahan ruang terbuka hijau menjadi penting jika suatu kota ingin mendapatkan kualitas udara yang bersih dan baik bagi warganya.
Sebelumnya Surabaya juga meraih penghargaan Program Kampung Iklim dari Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam anugerah secara virtual, Selasa (19/10/2021), ada 10 kampung di Surabaya yang mendapat piala dan sertifikat. Kampung yang meraih penghargaan Kampung Proklim Lestari adalah RW 003 Jambangan (Jambangan). Peraih piala Proklim Utama ialah RW 006 Sambikerep (Sambikerep) dan RW 006 Menur Pumpungan (Sukolilo).
Tujuh kampung mendapat sertifikat Proklim Utama. Masing-masing adalah RW 001, RW 002, RW 004, dan RW 005 Jambangan. Selanjutnya, RW 003 Perak Barat (Krembangan), RW 001 Banjar Sugihan (Tandes), dan RW 002 Bringin (Sambikerep).
Eri mengklaim penghargaan itu sebagai salah satu bukti bahwa iklim di Surabaya cukup baik dan nyaman bagi warga. Kampung-kampung berprestasi tersebut dinilai mampu menciptakan permukiman yang baik bagi warga dengan penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon, pengelolaan sampah, dan kelestarian lingkungan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Surabaya Suharto Wardoyo menambahkan, keberhasilan 10 RW meraih penghargaan terutama sebagai kelanjutan program Surabaya Smart City. Program ini terus dijalankan dan menjadi ikhtiar kehidupan di kalangan masyarakat Surabaya melalui pengurus kampung. ”Surabaya Smart City bertujuan mendorong kebutuhan warga untuk memiliki dan menjaga kampung agar beriklim sehat dan nyaman,” katanya.
Keberhasilan kampung-kampung itu menunjukkan bahwa masyarakat Surabaya masih peduli dan berkeinginan besar menjadikan kotanya sebagai tempat tinggal yang aman dan nyaman. Keberhasilan ini perlu didorong agar menginspirasi kampung-kampung lainnya di Surabaya. ”Bukan untuk penghargaan, melainkan memenuhi kebutuhan warga sendiri akan tempat tinggal yang nyaman, bersih, indah, dan aman,” ujar Suharto.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi menanggapi bahwa Surabaya belum menjadi kawasan yang terbebas dari polusi. Dalam hal ini, pencemaran di perairan, yakni sungai-sungai. Penelitian pada awal Oktober di sembilan lokasi di Kalimas memperlihatkan kualitas air tercemar atau tidak layak bagi perkembangan biota dan makhluk hidup, apalagi dikonsumsi.
Prigi mengemukakan, Ecoton rutin meneliti kualitas air di sungai-sungai di Jatim, terutama di Surabaya, sebagai bentuk tanggung jawab sosial kepada publik. Penelitian terkini pada akhir September-awal Oktober untuk menguji kualitas air sungai di Pintu Air Gunung Sari, Ngagel, dan Monumen Kapal Selam, lalu depan Museum Pendidikan, Jalan Girikan, Semampir, Pasar Kempyeng, Rumah Pompa Tambak Wedi, dan Rangkah.
Dari penelitian terhadap sampel-sampel air di sembilan lokasi itu, Ecoton mendapat kesimpulan bahwa kandungan foskat 1,5-13,2 partikel per juta (ppm), pH air 6,71-6,9, total padatan terlarut atau TDS 233-709 ppm, dan oksigen terlarut atau DO 0,5-6. ”Kualitas air di Kalimas buruk karena angka-angkanya melebihi baku muku kualitas air kelas 3,” kata Prigi.
Ecoton mengingatkan, adanya Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Air Limbah. Di sini, Wali Kota Surabaya berwenang memantau, mengendalikan, membina, dan mengawasi pengelolaan kualitas air sungai di daerah. Dari penelitian Ecoton, Eri dianggap belum memenuhi kewajiban sesuai regulasi tersebut.