Pandemi Covid-19 meningkatkan sampah, termasuk dari bekas produk kesehatan, yang kian mengancam kelestarian lingkungan dan sungai, terutama pemanfaatan air untuk kelangsungan kehidupan manusia.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 2019) memaksa warga Surabaya, Jawa Timur, meningkatkan konsumsi produk kesehatan. Situasi itu berkonsekuensi meningkatkan sampah medis yang berisiko terhadap pelestarian lingkungan di masa depan.
Pandemi Covid-19 akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) telah berlangsung 18 bulan atau sejak Maret 2020. Situasi belum mereda, apalagi tertangani, mengingat varian atau mutasi Alpha, Beta, Gamma, dan Delta meningkatkan risiko penularan.
Karena pandemi, masyarakat terpaksa menambah pengeluaran rutin untuk produk kesehatan, terutama masker dan alat pelindung diri (APD), yakni sarung tangan dan pakaian khusus, penyanitasi, vitamin, obat-obatan, dan bahan kimia untuk memelihara kebersihan. Peningkatan pengeluaran rata-rata hingga dua kali lipat itu sebagai bagian mandiri masyarakat untuk menekan risiko penularan.
”Selama pandemi, pengeluaran keluarga meningkat Rp 500.000 dalam sebulan khusus untuk produk kesehatan, terutama masker, hand sanitizer, vitamin, dan obat-obatan,” ujar Setiadi (40), warga Gayungsari, Minggu (22/8/2021).
Setiadi bekerja sebagai penjual sate untuk menafkahi istri dan dua anak lelaki yang duduk di sekolah dasar. Pengeluaran juga bertambah untuk pembelian pulsa guna mendukung anak-anak mengikuti persekolahan dalam jaringan (online).
Setiadi mengatakan, dalam sebulan dirinya menghabiskan rata-rata dua kotak penuh masker. Masing-masing kotak berisi 50-60 masker seharga Rp 1.000-Rp 2.000 per masker. Harga produk ini naik turun bergantung pada ketersediaan di apotek, toko, atau layanan online.
Warga Surabaya, termasuk Setiadi, jelas membuang limbah, termasuk masker atau kemasan produk kesehatan. Di Surabaya, ibu kota Jatim, hampir seluruh warganya terjangkau oleh layanan pengangkutan sampah. Dari rumah-rumah, sampah diambil oleh petugas untuk dibawa ke tempat penampungan sementara (TPS). Di TPS, sampah dipilah dan yang masih bisa diolah akan diolah atau didaur ulang. Yang tidak bisa lagi dimanfaatkan akan dibawa ke Benowo untuk pengolahan.
Menurut catatan Pemerintah Kota Surabaya, sampah masker dari warga bisa mencapai 900 kilogram (kg) per bulan. Dalam kenyataannya, jumlahnya amat mungkin lebih besar karena masih terbuka peluang sampah medis dibuang sembarangan ke sungai atau lahan yang belum terkelola atau kurang terjangkau oleh layanan pengangkutan.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Surabaya Anna Fajriatin mengungkapkan, sampah masker menyumbang 44 persen dari limbah spesifik lainnya. Sampah yang juga termasuk limbah spesifik ialah baterai bekas, kaleng semprotan, lampu, dan sampah elektronik. ”Jadi memang sampah masker penyumbang terbanyak di antara jenis limbah spesifik,” ujarnya.
Anna mengakui peningkatan limbah medis terkait dengan konsumsi masyarakat yang naik selama masa pandemi untuk menekan risiko penularan Covid-19. Namun, pemerintah telah menjalani beberapa tahapan untuk penanganan sampah medis, terutama masker.
Jadi, memang sampah masker penyumbang terbanyak di antara jenis limbah spesifik.
Di TPS, petugas kebersihan memilah sampah masker untuk ditimbang dan didata. Selanjutnya, didisinfeksi dengan direndam di larutan sabun atau klorin setidaknya 15 menit. Masker kemudian dicacah dan diangkut ke pembuangan akhir di Benowo untuk pemusnahan atau masuk dalam proses pengolahan.
Anna mengklaim, limbah cairan dari proses disinfeksi diolah kembali di instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sebelum dibuang ke sungai. Seluruh proses pengolahan sampah medis, termasuk masker, dikatakan telah sesuai dengan Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengelolaan Limbah B3 dan Sampah dari Penanganan Covid-19.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologis dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Prigi Arisandi mengatakan, dari penelitian terhadap sampel air di sepanjang Kali Surabaya dan Kalimas diketahui adanya peningkatan pencemaran air. ”Jelas terkait dengan peningkatan konsumsi produk kesehatan yang limbahnya sebagian dibuang sembarangan ke sungai sehingga mencemari airnya yang dipakai untuk bahan baku PDAM,” katanya.
Dari penelitian di dekat Jembatan Petekan, sebelum Pelabuhan Tanjung Perak, muara Kalimas, April lalu, diketahui kandungan klorin dalam air sungai 0,17 ppm (partikel per sejuta). Klorin adalah bahan utama disinfektan, cairan pembersih lantai, dan pemutih pakaian. Pada Juli, kandungan klorin dalam air sungai menjadi 0,2 ppm.
Sampel air di Petekan juga memperlihatkan cemaran logam berat dari kandungan ion atau materi padat terlarut atau TDS (total dissolved solid) dengan satuan ppm. Dari penelitian pada April dan Juli ini di Petekan, TDS pada sampel airnya mencapai 3.100 ppm. Padahal, menurut standar kesehatan internasional, TDS air sungai seharusnya tidak boleh melebihi 500 ppm.
Kandungan oksigen terlarut atau DO (dissolved oxygen) di Petekan ternyata 1,68 ppm. Angka ini juga berada di bawah standar air kelas 2 yang tidak boleh kurang dari 4 ppm. Dalam 1 liter air dari Petekan diketahui kandungan mikroplastiknya 2,9 partikel. Jumlah ini tertinggi di antara seluruh lokasi pengambilan sampel di sepanjang Kali Surabaya dan Kalimas. Sebagai perbandingan, untuk sampel dari lokasi lain Kalimas di Joyoboyo, kandungan mikroplastiknya 2,5 partikel per liter.
Menurut Prigi, dalam kegiatan jelajah sungai Nusantara di mana di Jatim dilaksanakan di sepanjang Brantas, terutama dari seksi Mojokerto sampai muara di Surabaya dan Sidoarjo, mereka juga menemukan lebih dari 500 lokasi timbunan sampah di tepi sungai. Selain itu, pohon-pohon yang terendam menjadi tempat tersangkutnya sampah, termasuk masker. ”Di bagian muara, kawasan mangrove, misalnya di Wonorejo dan Gununganyar, juga masih banyak ditemukan tersangkutnya sampah medis di pohon-pohon,” katanya.
Ecoton mengingatkan, menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan warga untuk peduli terhadap pelestarian lingkungan. Salah satunya dalam pengelolaan sampah. Limbah medis jangan dibuang sembarangan atau harus melalui proses pengolahan sampai pemusnahan sesuai metode penanganan limbah B3. Jika dibiarkan, masa depan lingkungan terancam yang berdampak terhadap kehidupan manusia di dalamnya.
”Dalam catatan kami, di Jatim hanya Pamekasan (dari 38 kabupaten/kota) yang telah memiliki peraturan pembatasan sampah plastik sekali pakai,” kata Prigi. Jatim dianggap belum peduli terhadap pengelolaan sampah plastik, apalagi sampah medis yang memerlukan penanganan lebih rumit.