Tidak Ada Sertifikat Vaksin, Polisi Banda Aceh Tolak Laporan Korban
Alasan polisi menolak laporan korban karena korban tidak mempunyai sertifikat vaksin menghambat pemenuhan hak keadilan hukum bagi warga negara.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Seorang mahasiswi yang berdomisili di Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, menjadi korban percobaan pencabulan oleh seorang laki-laki yang tidak dia kenal. Namun, saat melaporkan kasus itu ke Kepolisian Resor Kota Banda Aceh, laporannya ditolak lantaran korban tidak memiliki sertifikat vaksinasi Covid-19.
Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Muhammad Qodrat dalam konferensi pers, Selasa (19/10/2021), mengatakan, peristiwa percobaan pencabulan terjadi pada Minggu (17/10/2021) sore sekitar pukul 16.30. Saat itu korban sedang sendiri di rumah, sedangkan ibu dan adik korban sedang bepergian. Adapun ayah korban bekerja di Malaysia.
Seseorang mengetuk pintu, tanpa curiga korban membuka pintu. Pelaku langsung membekap mulut korban dan menyeret ke kamar. Korban melawan dan berteriak minta pertolongan. Saat korban berteriak, pelaku kabur dengan cepat. Bahkan, korban tidak sempat melihat muka pelaku.
Pada Senin (18/10/2021) korban didampingi kuasa hukum dan perangkat desa melaporkan ke Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banda Aceh. Sebelum melaporkan ke polisi, korban mengadu ke LBH untuk mendapatkan pendampingan hukum. Namun, laporan mereka ke polisi ditolak karena korban tidak dapat memperlihatkan sertifikat vaksin.
”Petugas di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) menolak laporan karena korban tidak ada sertifikat vaksin. Kami mempertanyakan, ini kebijakan instituasi atau bukan,” ujar Qodrat.
Qodrat mengatakan, akibat penolakan itu, hak korban untuk mendapatkan keadilan terbaikan. Sertifikat vaksin bukan syarat administrasi dalam pembuatan laporan. ”Sertifikat vaksin tidak dapat menafikan hak warga negara untuk memperoleh keadilan hukum. Ini pelanggaran hak asasi manusia,” kata Qodrat.
Sertifikat vaksin tidak dapat menafikan hak warga negara untuk memperoleh keadilan hukum.
Qodrat melanjutkan, petugas juga mempertanyakan mengapa korban menyimpulkan menjadi sasaran percobaan kejahatan seksual. ”Apakah pelaku memegang payudara korban. Mungkin saja ini penganiayaan,” ujar Qodrat mengulangi pernyataan petugas.
Menurut Qodrat, itu pertanyaan aneh, seharusnya terima dulu laporannya. Selanjutnya menjadi tugas penyidik untuk mendalami tindak pidana apa yang dialami korban.
Setelah ditolak di Polresta Banda Aceh, korban dan kuasa hukum kemudian melaporkan kasus percobaan pencabulan itu ke Kepolisian Daerah (Polda) Aceh. Di sana mereka tidak diminta sertifikat vaksin.
Berbeda perlakuan dengan di Polresta Banda Aceh. Di Polda Aceh, kehadiran mereka diterima, tetapi petugas tidak bersedia mengeluarkan surat tanda bukti lapor (STBL).
Qodrat mengatakan, alasan polisi tidak mau menerbitkan STBL karena korban tidak mengenali ciri-ciri pelaku. ”Selama STBL tidak dikeluarkan, kami menganggap secara formal laporan kami belum diterima,” ujar Qodrat.
Dihubungi terpisah, Kepala Polresta Banda Aceh Komisaris Besar Joko Krisdiyanto belum bersedia memberi keterangan terhadap persoalan tersebut. ”Silakan koordinasi dengan Kepala Bagian Operasi yang akan menjelaskan,” kata Joko.
Kepala Bagian Operasi Polresta Banda Aceh Ajun Komisaris Iswahyudi mengatakan, pihaknya akan mengundang jurnalis untuk meluruskan informasi tersebut.