Sudarman Melestarikan Kopi Kamojang untuk Ekologi
Diuji banyak tantangan, kopi Wanaka asal Kamojang, Kabupaten Bandung, menjadi jawara nasional. Keberadaannya membuka jalan warga sejahtera, menjaga alam, dan ikut menopang listrik nasional.
Pasang surut semangat mewarnai perjalanan Sudarman (55) menanam pohon kopi di Kamojang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dalam 18 tahun terakhir. Kegagalan demi kegagalan pernah menamparnya. Namun, tiada satu pun berhasil mematahkan tekadnya.
Kini, dia menikmati kerja kerasnya. Pohon-pohon kopi yang ditanam di lahan 50 hektar bersama sejumlah petani lainnya itu tidak hanya memberikan manfaat ekologi, tetapi bernilai ekonomi untuk membuka jalan kesejahteraan.
Tangan kekar Sudarman mematahkan dahan pohon kopi di kebun seluas dua hektar milik PT Indonesia Power Kamojang POMU di Desa Laksana, Ibun, Kabupaten Bandung, Sabtu (30/9/2021). Dahan-dahan kering dipangkas untuk mengoptimalkan pertumbuhan kopi di masa berbunga.
Ia menyambut tamu dengan menuangkan kopi arabika varietas USDA 762 ke beberapa gelas. Aroma tajamnya menguar, merayu untuk segera diseruput. ”Kopi ini kami tanam, rawat, panen, dan olah sendiri. Rasanya jadi lebih nikmat karena diminum di kebun asalnya,” ujarnya.
Niat awal Sudarman menanam kopi di Kamojang bukan untuk memproduksi dan menjual hasil panennya. Namun, memulihkan kawasan resapan air di perbatasan Kabupaten Bandung dan Garut tersebut.
Kegelisahannya memuncak seiring maraknya perambahan hutan di Kamojang pada 2003. Pohon-pohon ditebang untuk membuka kebun sayur. Cara ini dianggap paling gampang untuk mendulang uang, tetapi berisiko buruk babi kelestarian lingkungan.
Ia marah, tapi belum bisa berbuat banyak. Potensi bencana seperti longsor semakin mengintai jika alih fungsi lahan terus meluas sehingga menurunkan daya dukung lingkungan.
Tidak mau sekadar mengutuk keadaan, Sudarman mulai menanam kopi di Kamojang. Ia mengajak sejumlah petani lainnya menghijaukan lahan kritis. ”Tujuan awal menanam kopi hanya untuk penghijauan. Hal ini terinspirasi karena banyak pohon ditebang. Jadi, ketika itu belum ada niat memproduksi kopi,” ujarnya.
Karena belum berpengalaman menanam kopi, pertumbuhan pohonnya tidak maksimal. Bahkan, beberapa di antaranya kering dan mati. Imbasnya, semangat sebagian petani untuk menanam dan merawat kopi sempat turun.
Kebun pun tidak terurus. Pohon-pohon kopi yang masih tumbuh tenggelam di antara alang-alang dan rumput liar.
Kegagalan itu membuatnya merenung. Ia mulai belajar cara mengelola kebun kopi, mengatur jarak tanam, dan perawatan rutin.
”Belajarnya otodidak karena saat itu belum ada gurunya. Jadi, saya coba-coba saja. Sampai saya pernah ’diskusi’ dengan pohon kopi,” ujarnya disambung tawa.
Setelah melalui berbagai percobaan, kopi yang ditanam tumbuh dan berbuah. Petani sempat merasa senang. Hasil panen membuka peluang untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
Baca Juga: Asep Supriadi, Kembali Berdaya di Jatigede
Akan tetapi, perasaan itu berubah 180 derajat. Hasil panen buah ceri kopi pada 2011 hanya dihargai sekitar Rp 2.500 per kilogram. ”Karena harganya murah, banyak petani enggak mau panen. Buah ceri dibiarkan berjatuhan dan pohonnya enggak keurus,” ucapnya.
Bahkan, beberapa petani mengganti kopi dengan sayur. Dengan masa panen yang lebih singkat, menanam sayur dinilai lebih praktis dan menguntungkan.
Kejadian itu menyadarkan Sudarman. Untuk mendorong petani konsisten menanam kopi dan menghijaukan Kamojang, harga jual kopi mesti stabil tinggi. Dengan begitu, petani harus menguasai proses pascapanen.
Hal itu membutuhkan keterampilan dan peralatan pengolahan memadai. Selama ini, petani hanya bergelut di kebun tanpa memahami proses setelah masa panen. Akibatnya, mereka bergantung pada pengepul yang menentukan harga ceri kopi.
”Kuncinya, kopi harus diolah. Jadi, jangan jual dalam bentuk ceri. Masalahnya, kami belum tahu caranya dan tidak punya alatnya,” ujarnya.
Kemitraan
Petani tidak memiliki modal untuk membeli peralatan itu. Mereka juga belum punya ilmu untuk mengolahnya.
”Kalau mau konsumsi sendiri, biasanya kopi diinjak-injak untuk menghilangkan lendir pada biji kopi. Penggilingannya juga manual,” katanya.
Kendala tersebut menemukan jalan keluar tiga tahun lalu. Melalui Kelompok Tani Gunung Kamojang, Sudarman dan 35 petani lainnya bermitra dengan PT Indonesia Power Kamojang POMU dalam mengelola kopi.
Petani diberi berbagai pelatihan, mulai dari cara menanam kopi hingga proses pascapanen. Mereka juga mendapatkan bantuan beberapa alat pengolahan, seperti mesin pengupas kulit basah atau pulper, pengupas kulit kering atau huler, grinder, dan mesin sangrai.
Imbasnya, hasil panen dari kebun seluas dua hektar meningkat dari 4 ton menjadi 8 ton. Selain itu, petani dapat mengolah kopi sehingga menjualnya berbentuk beras kopi (green bean) dan bubuk. Bahkan, kulit kopi diolah menjadi teh kaskara sehingga bernilai ekonomi.
Saat ini, produksi beras kopi dijual seharga Rp 125.000 per kg untuk kategori spesial dan Rp 100.000 per kg untuk reguler. Sementara bubuk kopi full wash dihargai Rp 50.000 per kemasan 150 gram. Kelompok ini telah menjual kopi dengan merek sendiri bernama Wanaka Kopi ke berbagai kota, seperti Bandung, Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta.
Pemesanan kopi dari berbagai daerah itu bukannya tanpa alasan. Aroma dan kegurihan kopi asal Kamojang sudah tak diragukan. Tahun lalu, Sudarman meraih juara pertama pada Kontes Kopi Spesialti Indonesia (KKSI) pada untuk kategori arabika full wash dan semi wash.
Prestasi itu seharusnya mengantarkan Sudarman untuk mengikuti kontes kopi di Paris, Perancis. Namun, kesempatan ini tertunda karena terkendala pandemi Covid-19.
Selain mengikuti ajang KKSI, tahun ini kopi asal Kamojang juga disertakan dalam kompetisi Cup of Excellence (COE). ”Sampel kopinya sudah dikirim, tinggal menunggu hasilnya. Semoga dapat penilaian bagus sehingga Wanaka Kopi semakin dikenal,” ujarnya.
Keberlanjutan panas bumi
Di Kamojang terdapat puluhan sumur eksplorasi yang dimanfaatkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Operasinya telah berlangsung sejak 39 tahun lalu. Bahkan, potensi panas bumi di sana ditemukan oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak 1918.
Menurut Sudarman, operasi PLTP berdampak terhadap lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, penanaman pohon sangat penting untuk mereduksi zat -zat beracun.
Pohon juga membantu tanah menyerap air yang dimanfaatkan oleh PLTP untuk diolah menjadi energi lstrik. ”Jadi, warga dan PLTP sama-sama perlu menjaga kawasan resapan air karena berguna untuk semuanya,” ujarnya.
Manajer Operasi dan Pemeliharaan PT Indonesia Power Kamojang POMU (Power Generation and O&M Services Unit) Wahyu Somantri mengatakan, operasional PLTP sangat membutuhkan dukungan ketersediaan air. Oleh sebab itu, penanaman pohon akan membantu menyimpan air untuk digunakan menghasilkan uap panas.
Uap tersebut dipakai oleh tiga unit pembangkit PLTP Kamojang dengan total kapasitas 140 megawatt (MW). Listrik yang dihasilkan dihubungkan secara pararel dengan sistem interkoneksi Jawa-Bali.
Hampir dua dekade menanam kopi di Kamojang, perjalanan Sudarman bersama petani lainnya dalam menjaga kelestarian lingkungan masih panjang. Dampak buruk dari pemanfaatan lahan mesti diantisipasi sejak dini dengan menjalankan fungsi ekologi dan ekonomi secara beriringan.
Baca Juga: Kopi Melawan Sepi
Sudarman
Lahir: Kamojang, 2 September 1966
Profesi: Ketua Kelompok Tani Gunung Kamojang
Prestasi: Juara pertama Kontes Kopi Spesialti Indonesia (KKSI) pada 2020 kategori arabika full wash dan semi wash.