Pontang-panting Warga Miskin Brebes Hidup dengan Rp 340.000 Per Bulan
Warga miskin ekstrem di Brebes, Jawa Tengah, pontang-panting mengupayakan agar bisa hidup dengan penghasilan tak lebih dari Rp 340.000 per bulan. Pemerintah akan membantu mereka mendapat penghidupan yang layak.
Bagi sebagian orang, uang sebesar Rp 340.000 hanya cukup untuk makan sepekan, bahkan sehari. Namun, oleh ratusan ribu orang di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, uang Rp 340.000 tersebut diatur sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, membayar tagihan listrik, serta untuk membiayai sekolah anak-anak mereka.
Wamad (45), warga Desa Cipelem, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, duduk termenung di atas satu-satunya kursi yang ada di rumahnya. Ia sedang memikirkan tabungannya yang sudah tipis. Sudah sepekan terakhir, ia tidak mendapat pemasukan karena belum ada lagi yang membutuhkan jasanya sebagai buruh bangunan ataupun buruh tani. Padahal, sejumlah kebutuhan sudah mengantre untuk dipenuhi.
Dua pekan lalu, Wamad diminta mengolah lahan seluas seperempat hektar. Wamad menyelesaikan pekerjaan itu dalam waktu empat hari, kemudian ia mendapat upah sebesar Rp 200.000. Uang itu sudah ia gunakan untuk membeli bahan pangan sehari-hari. Sisa uangnya pada Jumat (8/10/2021) sebesar Rp 25.000. Adapun keluarganya membutuhkan uang sedikitnya Rp 30.000 untuk membayar iuran listrik.
”Kami belum punya meteran listrik sendiri, masih menumpang di rumah (tetangga) sebelah. Setiap bulan, kami bayar iuran listrik supaya bisa menyalakan satu lampu berukuran 45 watt, satu kipas angin, dan satu radio untuk hiburan keluarga,” kata Wamad saat ditemui, Jumat petang.
Selama ini, Wamad tinggal bersama dengan istri dan dua anaknya. Mereka tinggal di sebuah bangunan semipermanen berukuran 1,5 meter x 6 meter yang menempel dengan rumah tetangga. Udara di dalam rumah yang berlantai tanah, beratap asbes, dan tak memiliki ventilasi udara itu lembab. Jika kebanyakan rumah dilengkapi dengan pintu, rumah milik Wamad hanya ditutup gorden merah.
Supaya hemat, saya dan suami makan dengan sayur tanpa lauk.
Keluarga Wamad belum memiliki kamar mandi, jamban, ataupun sumber air. Jika ingin mandi dan buang air, mereka harus menumpang di rumah tetangga. ”Jangankan mau bikin kamar mandi atau jamban, buat makan saja sulit,” ujarnya.
Pendapatan Wamad dan istrinya sebagai buruh serabutan tidak pasti. Yang jelas, pendapatan mereka tak pernah lebih dari Rp 340.000 per bulan.
Sekitar 900 meter dari rumah Wamad, ada Dewi (34) yang kondisi rumahnya tak jauh berbeda dari rumah Wamad. Sudah empat tahun terakhir, Dewi tinggal di sebuah rumah semipermanen berukuran 4 meter x 7 meter yang menempel dengan rumah ibunya. Di rumah berdinding papan fiber semen dan berlantai tanah itu, Dewi tinggal bersama suami, dua anaknya, serta ibu mertuanya.
Di rumah Dewi, banyak ember dan stoples yang dibiarkan berserak. Ember dan stoples itu dipasang di tempat-tempat yang biasanya bocor saat hujan. Penghasilan Dewi dan suaminya yang pas-pasan tak cukup untuk membeli atap asbes yang baru.
Baca juga : Ratusan Ribu Warga Miskin Ekstrem, Brebes Siapkan Program Padat Karya
Setiap bulan, Dewi mendapat upah sebanyak Rp 200.000 dari hasil menjaga warung buah milik ibunya. Adapun suaminya yang bekerja sebagai buruh serabutan tak selalu membawa pulang uang. Penghasilan suami Dewi paling banyak sekitar Rp 100.000 setiap bulan.
”Kalau sehari kira-kira saya bisa habis sekitar Rp 20.000. Biasanya, untuk membeli sayur, seperti labu siam, terung, atau bayam. Terus beli lauk untuk anak-anak, seperti tempe, tahu, atau telur. Supaya hemat, saya dan suami makan dengan sayur tanpa lauk,” tutur Dewi.
Ia menambahkan, keluarganya kerap kehabisan uang dan tidak bisa membeli lauk untuk makan anak-anaknya. Untuk menyiasati hal itu, suami Dewi kerap memancing ikan di sungai untuk lauk keluarganya. Jika masih ada sisa ikan, biasanya mereka jual ke tetangga.
Di masa pandemi, Dewi dan suaminya mendapat tambahan ”beban” berupa pembayaran kuota internet untuk anaknya belajar daring. Dalam sebulan Dewi harus mengeluarkan sedikitnya Rp 60.000 untuk membeli kuota.
Tak hanya itu, mereka juga masih harus mengeluarkan uang tambahan untuk membeli kertas berwarna, lem kertas, pensil warna, dan buku gambar untuk anak bungsunya yang duduk di bangku taman kanak-kanak. Sejak pembelajaran tatap muka untuk tingkat TK dihentikan, anak bungsu Dewi yang belajar dari rumah kerap mendapat tugas membuat hasta karya. Biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan tersebut setidaknya Rp 20.000 per bulan.
Beruntung, Dewi dan suaminya tak harus membayar listrik dan air setiap bulan. Mereka boleh ikut membayar uang listrik dan air ketika ada uang lebih. Selama ini, keluarga Dewi mendapat pasokan listrik dan air dari rumah ibu Dewi. Untuk mandi dan buang air, mereka juga menumpang di rumah ibu Dewi.
Dewi mengakui, pengeluaran bulanannya kerap kali lebih besar dari pemasukan keluarga. Untuk menutup kekurangannya, Dewi biasanya meminjam uang dari koperasi atau meminjam uang saudaranya. Terkadang, ada keluarga atau tetangganya yang iba, lalu memberi uang atau bahan makanan kepadanya.
”Sebenarnya malu juga harus berutang. Tapi mau bagaimana lagi? Cari kerja dengan ijazah SD susah. Saya dan suami sudah coba cari cara supaya dapat uang tambahan dengan berjualan gorengan, tapi tidak laku malah merugi,” ucapnya.
Berharap pekerjaan
Selama ini, Dewi yang memiliki anak kelas XI SMA mendapat bantuan dari Program Keluarga Harapan Kementerian Sosial. Bantuan yang diterima berupa uang tunai sebesar Rp 2 juta per tahun. Kendati sudah mendapat bantuan berupa uang tunai, Dewi berharap, dirinya bisa mendapatkan bantuan berupa modal usaha dan pelatihan kewirausahaan.
Sejak setahun terakhir, Dewi sudah berencana menjual buah dan makanan secara daring. Namun, ia mengaku tak punya ilmu yang cukup mengenai pemasaran daring sehingga ia kerap gagal.
”Saya pengin banget bisa jualan online biar bisa dapat tambahan pemasukan. Apalagi, anak saya yang kecil tahun depan sudah masuk SD, pasti butuh biaya lebih besar,” katanya.
Hal yang sama diungkapkan Wamad. Ia berharap bisa diberi bantuan supaya bisa menyewa lahan pertanian dan menggarapnya.
”Seandainya punya uang Rp 2,5 juta, saya akan menyewa lahan tanam seluas seperempat hektar, kemudian mencoba menanam bawang merah. Dengan begitu, saya bisa kerja tanpa harus menunggu orang lain membutuhkan tenaga saya,” ujar Wamad.
Kondisi keluarga Wamad dan Dewi yang memiliki rata-rata penghasilan di bawah Rp 340.000 per bulan membuat mereka masuk kategori miskin ekstrem. Selain penghasilannya di bawah ambang batas kemiskinan, mereka juga digolongkan sebagai warga miskin ekstrem karena belum punya akses listrik, air, dan jamban secara mandiri.
Selain Wamad dan Dewi, di Desa Cipelem ada sekitar 8.000 orang yang tergolong miskin ekstrem. Jumlah itu sekitar 71 persen dari jumlah total warga sekitar 11.200 orang. Pejabat Kepala Desa Cipelem Widodo menuturkan, mayoritas warga yang masuk kategori miskin ekstrem bekerja sebagai buruh tani dan buruh bangunan. Selain itu, ada juga perempuan kepala keluarga dan lansia.
”Pemerintah desa, dibantu oleh Pemerintah Kabupaten Brebes dan Pemerintah Provinsi Jateng, akan mengadakan pelatihan keterampilan bagi warga yang masih produktif, tetapi masuk kategori miskin ekstrem. Pelatihan keterampilannya adalah keterampilan menukang, mendaur ulang sampah, mengolah kain perca, dan budidaya jangkrik,” kata Widodo.
Khusus di Kabupaten Brebes akan ada 1.488 keluarga yang menjadi prioritas pengentasan kemiskinan ekstrem tahun ini.
Tak hanya itu, dalam waktu dekat, di desa itu akan ada proyek pembangunan embung. Pembangunan embung itu akan dikerjakan dengan sistem padat karya, memberdayakan warga sekitar. Selain untuk menampung air, embung itu nantinya juga difungsikan sebagai tempat wisata yang bisa dikelola warga. Melalui pariwisata, diharapkan usaha mikro, kecil, dan menengah bisa tumbuh.
Dengan upaya-upaya tersebut, Widodo berharap bisa mengurangi angka kemiskinan ekstrem di Desa Cipelem. Ia menargetkan, pada akhir 2021, angka kemiskinan ekstrem di wilayahnya berkurang, setidaknya menjadi 60 persen atau sekitar 6.700 orang.
Berdasarkan data yang telah diverifikasi dan divalidasi Pemerintah Kabupaten Brebes, ada 197.522 orang yang masuk kategori miskin ekstrem. Jumlah tersebut sebanyak 10,34 persen dari total penduduk Brebes yang berkisar 1,8 juta orang.
”Khusus di Kabupaten Brebes akan ada 1.488 keluarga yang menjadi prioritas pengentasan kemiskinan ekstrem tahun ini. Mereka akan mendapatkan bantuan berupa akses listrik, jamban, air minum, dan renovasi rumah tidak layak huni,” ucap Bupati Brebes Idza Priyanti seusai rapat penanganan kemiskinan ekstrem di Gedung Gradhika Bhakti Praja, Kota Semarang, Kamis (7/10/2021).
Menurut Idza, pihaknya akan melakukan sejumlah upaya sampai angka kemiskinan ekstrem di wilayahnya mencapai 0 persen tahun 2024. Upaya itu, antara lain, renovasi rumah-rumah tidak layak huni oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, pembuatan jamban di rumah-rumah keluarga miskin ekstrem oleh Dinas Kesehatan, pemberian akses air bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Baribis, serta akses listrik murah oleh Perusahaan Listrik Negara. Anggaran yang dikucurkan untuk pengentasan kemiskinan ekstrem tersebut Rp 260 miliar.
Sebelumnya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengimbau wilayah-wilayah yang jadi proyek percontohan penanganan kemiskinan ekstrem tahun 2021 di Jateng, seperti Kabupaten Banyumas, Banjarnegara, Kebumen, Pemalang, dan Brebes, untuk memetakan potensi daerahnya. Hal itu diharapakan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan keluarga miskin ekstrem (Kompas, 8/10/2021).
”Beberapa kabupaten yang hari ini dijadikan sasaran (penanganan) kemiskinan, produk-produknya sudah bagus, bahkan sudah diekspor. Potensi ini ingin terus dikembangkan sehingga kemiskinan secara menyeluruh segera diatasi,” ucap Wakil Presiden.
Sebanyak 212 kabupaten di Indonesia jadi target penanggulangan kemiskinan ekstrem. Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, kemiskinan ekstrem di Indonesia ditargetkan 0 persen pada 2024. Percepatan dimulai pada 2021 dengan target 35 kabupaten di tujuh provinsi.
Baca juga : Atasi Kemiskinan Ekstrem, Produktivitas Warga Lima Daerah di Jateng Dipacu