Jadikan Pandemi Covid-19 Momentum Dekatkan Akses Layanan Kesehatan Jiwa
Aksesibilitas layanan kesehatan jiwa perlu didorong supaya lebih merata. Pandemi Covid-19 yang berpotensi memicu fenomena depresi di kalangan warga diharapkan jadi momentum mendekatkan layanan kesehatan jiwa.
Oleh
Nino Citra Anugrahanto
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Aksesibilitas layanan kesehatan jiwa perlu didorong supaya lebih merata. Aksesibilitas layanan kesehatan jiwa penting diketahui publik dari berbagai lapisan mengingat ada potensi peningkatan warga yang mengalami depresi akibat pandemi Covid-19.
Menurut hasil survei dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, pada 2020, sebanyak 63 persen responden mengalami cemas dan 66 persen responden mengalami depresi akibat pandemi Covid-19. Ditemukan pula 80 persen responden memiliki gejala stres pascatrauma psikologis setelah mengalami kejadian tak mengenakkan akibat Covid-19.
Sementara itu, dari Riset Kesehatan Dasar 2018, terdapat lebih dari 20 juta atau setara dengan 9,8 persen penduduk mengalami gangguan mental emosional. Sebanyak 12 juta orang atau setara dengan 6,1 persen warga mengalami gangguan depresi.
”Cukup banyak rakyat Indonesia yang mengalami gangguan jiwa, baik itu depresi, anxiety, bahkan yang lebih parah seperti skizofrenia. Umumnya mereka kesulitan untuk memperoleh perawatan,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin lewat telekonferensi daring dalam perayaan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, dengan tema ”Mental Health in an Equal World”, di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (10/10/2021).
Di sisi lain, lanjut Budi, sejumlah kalangan masyarakat memiliki akses yang terbatas untuk memperoleh penanganan akan gangguan jiwa. Pihaknya mendorong agar akses layanan kejiwaan semakin dibuka seluas-luasnya. Dengan demikian, aksesibilitas terhadap layanan kejiwaan akan kian merata.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan, tidak meratanya aksesibilitas layanan kejiwaan terjadi di berbagai belahan dunia. Namun, kondisi tersebut cenderung terjadi di negara-negara berkembang. Menurut data yang dihimpunnya, baru 20-25 persen warga yang mengalami gangguan jiwa mendapat kemudahan mengakses layanan.
”Oleh karena itu, kesetaraan menjadi penting untuk mengingatkan kita semua. Apalagi ada kecenderungan peningkatan angka gangguan jiwa selama pandemi Covid-19,” kata Maxi.
Maxi mengharapkan agar pandemi Covid-19 justru melahirkan inovasi bagi layanan kesehatan jiwa. Sebisa mungkin akses layanan gangguan jiwa itu didekatkan kepada masyarakat. Misalnya, Kementerian Kesehatan telah membuat aplikasi Sehat Jiwa. Lewat aplikasi tersebut, ada psikiater dan psikolog klinis yang ditugaskan mendampingi dan mendeteksi dini gangguan kejiwaan bagi masyarakat yang mengaksesnya.
Pandemi Covid-19 diharapkan justru melahirkan inovasi bagi layanan kesehatan jiwa.
Pemasungan
Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah Yulianto Prabowo menyatakan, pemasungan menjadi salah satu problem yang terus coba ditangani di daerah tersebut. Menurut rekapitulasi pada 2020, pemasungan terjadi pada 515 orang yang mengalami gangguan jiwa. Pembebasan sudah sempat dilakukan. Namun, terjadi pemasungan kembali terhadap 390 orang.
”Diharapkan, peringatan hari kesehatan jiwa dunia ini menjadi titik balik kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya kesehatan jiwa. Ini jadi momentum untuk kampanye secara masif bagi seluruh stakeholder yang bekerja pada isu-isu tersebut untuk berupaya mencari solusi,” kata Yulianto.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surakarta Siti Wahyuningsih menyampaikan, pihaknya telah berupaya menyediakan layanan kesehatan jiwa pada setiap puskesmas di kota tersebut. Dibentuk pula kader-kader kesehatan jiwa yang bertugas melakukan deteksi dini gangguan jiwa di setiap kelurahan. Kebijakan itu menunjukkan upaya mendekatkan layanan kesehatan jiwa kepada masyarakat.