Totalitas Lakon Gunawan Maryanto hingga Babak Terakhir
Sejak kecil, Gunawan Maryanto sudah terjun ke dunia teater. Pengaruh sang ayah yang juga seniman ketoprak lekat dalam jiwanya. Pemeran Wiji Thukul dalam film ”Istirahatlah Kata-kata” itu adalah cermin totalitas seniman.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Meninggalnya aktor dan penulis Gunawan Maryanto, Rabu (6/10/2021) malam, mengejutkan banyak pihak. Sebelum meninggal, dia masih terlibat dalam sejumlah pertunjukan kesenian dan berdiskusi dengan rekan-rekan di Teater Garasi. Totalitas lakonnya di dunia seni peran dan teater ditunjukkan hingga babak terakhir.
Pada Rabu siang hingga sore, Gunawan Maryanto mengikuti rapat di studio Teater Garasi di Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam rapat itu, Gunawan beserta rekan-rekannya membahas rencana produksi podcast yang melibatkan para aktor teater yang telah berusia lanjut.
”Dia sedang rapat untuk menyiapkan program yang dia gagas. Dia bikin program podcast untuk aktor-aktor sepuh,” ujar salah seorang pendiri Teater Garasi, Yudi Ahmad Tajudin, saat ditemui di rumah duka di Kabupaten Sleman, Kamis (7/10/2021).
Yudi menuturkan, di akhir rapat, Gunawan mengeluh sesak napas dan mual, kemudian muntah-muntah. Sekitar pukul 16.00, pria yang kerap dipanggil Cindhil itu dibawa teman-temannya ke Rumah Sakit Ludira Husada, Yogyakarta. Di rumah sakit itu, Gunawan dirawat selama beberapa jam.
Namun, sekitar pukul 20.00, Gunawan dinyatakan meninggal. Seniman kelahiran 10 April 1976 itu meninggal pada usia 45 tahun. Berdasarkan informasi dari pihak keluarga, dokter mendiagnosis Gunawan mengalami serangan jantung.
Pada Rabu malam, jenazah Gunawan dibawa ke Studio Teater Garasi untuk disemayamkan. Selanjutnya, Kamis pagi, jenazah seniman kelahiran Yogyakarta itu dibawa ke rumah duka di Dusun Karangmalang, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman. Pada Kamis siang, jenazah Gunawan dimakamkan di pemakaman di Karangmalang.
Gunawan beserta rekan-rekannya sedang membahas rencana produksi podcast yang melibatkan para aktor teater yang telah berusia lanjut.
Yudi menuturkan, kepergian Gunawan Maryanto sangat mengejutkan. Sebab, selama beberapa waktu terakhir, Gunawan tidak menunjukkan tanda-tanda sakit. Bahkan, pada 29 September 2021, dia masih terlibat dalam sebuah pertunjukan di Studio Teater Garasi.
”Itu adalah peristiwa panggung terakhir saya sama dia. Kami membuat pertunjukan kecil di Teater Garasi dengan penonton sedikit dan direkam. Pertunjukan itu merefleksikan perjalanan Teater Garasi,” kata Yudi.
Beberapa waktu sebelumnya, Gunawan juga berkolaborasi dengan kelompok musik Alamanda Music Corner dalam Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY). Dalam pertunjukan yang ditayangkan secara daring pada 25 September 2021 itu, Gunawan membacakan sejumlah lirik lagu dengan pendekatan seperti membaca puisi.
Menurut Yudi, Gunawan Maryanto bergabung ke Teater Garasi pada 1994 atau setahun setelah kelompok teater itu berdiri. Di Teater Garasi, Gunawan terlibat sebagai aktor, sutradara, dan penulis skenario. ”Dia merupakan generasi pertama di Teater Garasi,” tuturnya.
Sebagai seniman, Yudi menuturkan, Gunawan memiliki dedikasi dan disiplin tinggi. ”Dedikasi dan disiplin dia sebagai seniman itu sangat tinggi. Begitu dia terlibat proyek, ya, dia akan sepenuhnya di sana,” tuturnya.
Dedikasi tinggi itulah yang membuat Gunawan mampu menghasilkan karya-karya yang berkualitas. Yudi menyebut, salah satu karya pertunjukan Gunawan Maryanto yang berjudul Repertoar Hujan (2001) merupakan karya penting dalam sejarah teater Indonesia. Dalam pertunjukan itu, Gunawan selaku sutradara dan penulis naskah mengolah puisi-puisi pendek yang belum sepenuhnya selesai menjadi sebuah pertunjukan.
Dari segi bentuk, Repertoar Hujan juga mengolah elemen sejumlah kesenian lain, misalnya tari Jawa, gerakan silat Bangau Putih, dan Butoh yang merupakan teater tari asal Jepang. ”Kalau dalam sejarah teater Indonesia, Repertoar Hujan itu harus dibicarakan karena memberi alternatif estetika yang baru,” kata Yudi.
Selain itu, Gunawan juga mengadaptasi lakon Yerma karya penyair dan dramawan Spanyol, Federico García Lorca, menjadi sebuah lakon berjudul Sri (1999). Dalam lakon tersebut, Gunawan secara berani mengadaptasi cerita Yerma yang aslinya berlatar belakang Spanyol menjadi berlatar belakang kultur Jawa. Gunawan juga pernah bereksperimen dengan membuat pertunjukan musikal berjudul Krontjong Mendoet (2012).
Selain terlibat aktif di teater, Gunawan juga merupakan penulis cerpen dan puisi. Beberapa kumpulan cerpennya antara lain Bon Suwung (2005), Galigi (2007), dan Usaha Menjadi Sakti (2009).
Sementara itu, kumpulan puisinya semisal Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya (2008), Sejumlah Perkutut buat Bapak (2010), dan Sakuntala (2018). Pada 2010, Sejumlah Perkutut buat Bapak memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award.
”Sebagai penulis, dia menulis lakon, puisi, dan cerpen. Yang belum kesampaian itu menulis novel. Dia beberapa kali ngobrol sama saya dan bilang belum menemukan waktu dan konsentrasi untuk menulis novel. Padahal, dia punya keinginan untuk menulis novel,” tutur Yudi.
Di dunia film, Gunawan juga meraih sejumlah penghargaan, misalnya Pemeran Utama Pria Terbaik dalam Usmar Ismail Awards 2017 melalui film Istirahatlah Kata-kata. Dalam film tersebut, Gunawan berperan sebagai penyair Wiji Thukul. Selain itu, Gunawan juga meraih penghargaan Pemeran Utama Pria Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2020 melalui film Hiruk-pikuk Si Al-Kisah.
Ayah Gunawan sangat menggemari kesenian ketoprak, bahkan kerap terlibat dalam pentas ketoprak di kampungnya.
Sejak kecil
Kakak sepupu Gunawan Maryanto, Agus Basuki (52), mengatakan, sejak kecil Gunawan sudah akrab dengan kesenian tradisional. Sebab, ayah Gunawan sangat menggemari kesenian ketoprak, bahkan kerap terlibat dalam pentas ketoprak di kampungnya.
”Orangtuanya memang suka teater tradisional, seperti ketoprak. Kalau di kampung ada pementasan ketoprak, beliau (ayah Gunawan) menjadi salah satu tokoh,” ujarnya.
Agus menambahkan, sejak kecil, Gunawan juga sudah tertarik dengan teater. Mulanya, Gunawan bergabung dengan kelompok teater di kampungnya di Sleman. ”Mas Gunawan ini sosok yang semenjak kecil sudah menghidupkan teater di kampung. Nama kelompok teaternya pada waktu itu Teater Lasamba,” katanya.
Menurut Agus, saat kelas V SD, Gunawan sudah menjadi sutradara pentas Teater Lasamba yang beranggotakan anak-anak di kampungnya. Kelompok teater itu biasa menggelar pentas di masjid kampung dan sekolah.
”Saat kelas V SD, Mas Gunawan sudah menjadi seorang sutradara teater. Biasanya pentas dari sekolah ke sekolah saat ada perpisahan murid atau kadang-kadang di masjid saat peringatan hari besar Islam. Jadi, memang dari kecil dedikasinya betul-betul untuk teater,” kata Agus.
Salah seorang kerabat Gunawan, Muryanto (49), mengatakan, saat remaja, Gunawan bergabung ke Teater Rambutan yang didirikan oleh sutradara teater asal Belgia yang tinggal di Yogyakarta, Rudi Corens. Saat bergabung di Teater Rambutan, Gunawan sempat mengikuti pentas teater di sejumlah tempat, termasuk Kedutaan Besar Belgia di Jakarta.
”Saat bergabung di Teater Rambutan pimpinan Rudi Corens, sempat pentas di Kedutaaan Belgia di Jakarta dan tempat-tempat lain. Itu saat Mas Gunawan SMP,” tutur Muryanto.
Kini, Gunawan Maryanto telah berpulang. Meski begitu, karya-karyanya bakal tetap dikenang oleh banyak orang. Lakon hidup Gunawan juga menjadi cermin totalitas berkarya seorang seniman.