Sungguh tragis ketika upaya memotret gagasan tentang rasa takut dan kecemasan baru untuk disajikan ke dalam pementasan teater yang digagas sejak 2017 itu kini nyata mewujud di masa pandemi ini.
Oleh
NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 tak terelakkan. Elegi akan panggung pentas tak terbendung. Sebuah kelompok teater asal Yogyakarta, Teater Garasi, yang sedang melangsungkan program Kolaborasi Lintas-Asia dalam Multitude of Peer Gynts akhirnya berdamai dengan situasi, lalu menciptakan panggung virtual.
Sebelumnya, hasil kolaborasi teater yang melibatkan pegiat teater asal Jepang, Sri Lanka, dan Vietnam ini sudah dipentaskan di Larantuka, Flores Timur, pada 6 Juli 2019. Pertunjukannya diberi judul ”Peer Gynts di Larantuka” (Kisah Para Pengelana dari Asia). Pementasannya di Taman Kota Larantuka, sebelah barat Taman Doa Mater Dolorosa, Lohayong-Larantuka.
Para kolaborator mempersiapkan pementasan dan bersinergi dengan seniman lokal di Larantuka selama dua pekan. Berikutnya, mereka beralih ke Tokyo untuk presentasi karya dan berlanjut pada pementasan di Shizuoka Arts Theater, Shizuoka Performing Arts Center, Jepang, November 2019.
Dari Jepang, direncanakan pementasan di Jakarta dan Yogyakarta pada bulan Juni-Juli 2020. Namun, rencana itu urung terjadi. Memasuki masa pandemi Covid-19 menjadi tidak memungkinkan untuk membuat pementasan teater yang berdampak terciptanya kerumunan orang.
Takut dan kecemasan
Hasrat mementaskan karya kolaborasi teater berbasis naskah drama Peer Gynt di tengah pandemi Covid-19 ternyata tak terhentikan. Dalam suatu perbincangan daring, ”Teater dan Wabah: Kolaborasi Lintas-Asia dalam Multitude of Peer Gynts”, Rabu (12/8/2020), diluncurkan pembuatan panggung virtual untuk pementasan Kolaborasi Lintas-Asia dalam Multitude Peer Gynts berikutnya pada Oktober 2020.
”Sejak 2017 akhir, Teater Garasi memulai kolaborasi ini dengan melibatkan seniman asal Jepang, Sri Lanka, dan Vietnam. Kami berbagi tema tentang rasa takut dan kecemasan baru ketika menghadapi mobilitas dan imobilitas dunia makin intensif,” ujar Yudi Ahmad Tajudin, sutradara Teater Garasi sekaligus sutradara Kolaborasi Lintas-Asia dalam Multitude of Peer Gynts.
Naskah drama Peer Gynt karya penyair Denmark-Norwegia, Henrik Ibsen (1828-1906), disebut sebagai lensa baca atas rasa takut dan kecemasan baru itu. Henrik Ibsen menulis naskah drama Peer Gynt dan dipublikasikan pada tahun 1867.
Ibsen mengisahkan sosok Peer Gynt sebagai pemuda penyair yang terlahir dari keluarga petani kaya, yang kemudian jatuh miskin ketika kekayaan mereka dihambur-hamburkan oleh ayahnya. Drama disajikan ke dalam lima babak.
Ibsen menyuguhkan pengelanaan Peer Gynt ke belahan dunia lain.
Beberapa referensi menyebutkan, drama Peer Gynt memiliki asal-usul romantis yang kemudian memunculkan fragmentasi modernisme. Naskahnya sinematik, memadukan puitik dan satir sosial, kemudian memadukan adegan realis dan surealis.
Ibsen menyuguhkan pengelanaan Peer Gynt ke belahan dunia lain. Ada beragam tragedi di situ. Ini mobilitas yang ditangkap memiliki keterhubungan di masa sekarang.
Yudi Ahmad Tajudin menyebut Peer Gynt sebagai lensa baca fenomena sekarang. Lensa baca untuk melihat rasa takut dan kecemasan baru masyarakat dalam menghadapi mobilitas dunia yang kian mudah. Manusia makin mudah menjelajahi dunia secara fisik, sekaligus secara imobilitas atau penjelajahan dunia tanpa harus berpindah lokasi lewat saluran dunia maya internet.
Sungguh tragis ketika upaya memotret gagasan tentang rasa takut dan kecemasan baru untuk disajikan ke dalam pementasan teater yang digagas sejak 2017 itu kini nyata mewujud. Wabah Covid-19 jelmaan rasa takut dan kecemasan baru yang harus dihadapi masyarakat dunia sekarang.
Berdialog
Pementasan Kolaborasi Lintas-Asia dalam Multitude of Peer Gynts berlanjut dengan rencana pementasan daring. Format barunya melanjutkan tema pementasan ”Peer Gynts di Larantuka” dan pementasan ”Peer Gynts: Asylum’s Dreams” di Jepang.
Pertunjukan teater secara daring ini upaya berdialog dengan situasi wabah Covid-19. Digagas dengan ada interaksi dengan penonton secara digital.
”Kami merancang pementasan karya pertunjukan yang bisa melampaui tantangan tak bisa bertemu secara fisik di bulan Oktober 2020,” ujar dramaturg Teater Garasi, Ugoran Prasad, yang mendampingi Yudi Ahmad Tajudin dalam perbincangan daring.
Pementasan teater Kolaborasi Lintas-Asia dalam Multitude of Peer Gynts berikut berbasis internet dengan judul ”UrFear: Huhu and the Multitude of Peer Gynts”.
Seniman Mess 56 di Yogyakarta, Woto Wibowo, atau dikenal sebagai Wok the Rock, yang selama ini banyak bekerja dengan medium internet dan dunia digital dilibatkan sebagai kolaborator baru. Selain Wok the Rock, kolaborator baru dari proyek ini adalah Nyak Ina Raseuki atau Ubiet, Darlene Litaay, Abdi Karya, dan Andreas Ari Dwiyanto.
Seniman luar negeri yang dilibatkan sejak awal masih terus berpartisipasi, di antaranya Takao Kawaguchi dan Yasuhiro Morinaga asal Jepang, Nguyen Manh Hung (Vietnam), dan Venuri Perera (Sri Lanka).
Sedikit tentang Venuri Perera. Ia seorang koreografer, seniman performans, dan pendidik asal Colombo, Sri Lanka, yang memiliki catatan prestasi cukup panjang. Karya-karyanya menyoal berbagai isu, seperti nasionalisme yang penuh kekerasan, patriarki, perbatasan-perbatasan, kelas sosial, dan neokolonialisme.
Venuri berlatar belakang tari klasik Kandyan, pada tahun 2008 menyelesaikan studi pascasarjana di bidang tari di LABAN Centre, London. Di situ Venuri menerima Michelle Simone Award untuk ”Outstanding Achievement in Choreography”.
Karya-karya tunggal Venuri sejak 2009 telah dihadirkan di beberapa festival papan atas dunia, seperti Art Basel, Zurich Theatre Spektakel, Asia Triennal Manchester, Singapore International Festival of Arts, TPAM Japan, International Theatre Festival of Kerala, Tanztage, Berlin, Dhaka Art Summit, Colomboscope, Colombo Art Biennale, Attakkalari Biennale Bangalore, La Villette Paris, IGNITE! Delhi, Summerhall Edinburgh Fringe Festival, dan Resolutions London.
Kolaborasi ini mendapat penghargaan internasional Ibsen Awards.
Begitu pula seniman lain asal Jepang dan Vietnam itu juga memiliki catatan prestasi yang panjang. Melalui Kolaborasi Lintas-Asia dalam Multitude of Peer Gynts, mereka masih berpegang teguh pada hasrat berbagi dan berefleksi tentang rasa takut dan kecemasan baru yang timbul akibat arus mobilitas dunia yang makin intensif.
Kolaborasi ini mendapat penghargaan internasional Ibsen Awards, lembaga di Denmark yang didedikasikan untuk pengembangan dan aktualisasi karya serta pemikiran-pemikiran Henrik Ibsen. Dalam dunia sastra Eropa, Ibsen diakui memberi kontribusi besar, setara dengan William Shakespeare dari Inggris yang lebih populer di Indonesia.
Pandemi Covid-19 boleh membatasi ruang gerak. Ekspresi di panggung virtual memberikan jawaban berikutnya dan yang jauh lebih berharga dari momentum ini ketika hasrat berbagi dan berefleksi terhadap rasa takut dan kecemasan baru di tengah pandemi Covid-19 itu bisa saling menguatkan satu sama lain.